Artikel
10 AKAR SEJARAH KONFLIK KEKERASAN NEGARA DI PAPUA
(Separatis, makar, OPM, teroris bukan akar konflik, tapi ini semua mitos yang diproduksi penguasa Indonesia)
Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman,MA
“…sikap merasa tak pernah bersalah dari pemerintah Indonesia juga akan memjauhkan orang Papua dari Indonesia” (Amiruddin, al Rahab, 2010: 64).
Melalui artikel ini, penulis tegaskan dan sampaikan kepada seluruh rakyat dan bangsa Papua dan juga seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, bahwa AKAR SEJARAH KONFLIK antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua, BUKAN Seperatis, makar, OPM, KKB dan Teroris. Itu semua adalah mitos, hoax, label dan stigma yang diproduksi penguasa Indonesia, TNI dan Polri sebagai TOPENG atau TAMENG untuk menyembuyikan AKAR SEJARAH KONFLIK yang sesungguhnya.
Karena itu, marilah semua penggemar pembaca artikel: ikutilah, nikmatilah, kecaplah, renungkanlah dan bersuaralah setelah mengetahui dan mengerti akar sejarah konflik antara Indonesia dan Papua yang sebenar-benarnya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah menemukan dan memetakkan empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Dari sepuluh akar konflik, empat akar konflik sudah berhasil dirumuskan LIPI, masih ada 6 akar kekerasan Negara yang tidak diungkap atau dipetakkan oleh LIPI. Enam akar sejarah konflik berdarah yang terpanjang atau terlama di Asia yang tidak pernah diselesaikan, sebagai berikut:
1. KOLONIALISME
Akar konflik kekerasan yang paling utama di Papua ialah kolonialisme, yaitu Indonesia sebagai kolonial modern menduduki dan menjajah serta menindas rakyat dan bangsa Papua Barat sejak 1 Mei 1963.
Berbagai bentuk penjajahan yang dilakukan oleh kekuatan militer Indonesia, salah satu contohnya ialah penghilangan dan pembakaran buku-buku, dokumen-dokumen, sejarah yang berhubungan dengan identitas bangsa Papua.
Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Juli 2020 menyatakan: “Begitu mendapat tempat di Papua (setelah UNTEA tanggal 1 Mei 1963), para elit Indonesia yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal dan semua tulisan tentang Sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan; semua dibakar di depan orang banyak di halaman Kantor DPRP sekarang di Jayapura” (Lihat, Acub Zainal dalam memoarnya: I Love the Army).
“Pembakaran besar-besaran tentang semua buku-buku teks dari sekolah, sejarah dan semua simbol-simbol nasionalisme Papua di Taman Imbi yang dilakukan ABRI (sekarang:TNI) dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Mrs.Rusilah Sardjono.”
Pastor Frans Leishout,OFM melayani di Papua selama 56 tahun sejak tiba di Papua pada 18 April 1969 dan kembali ke Belanda pada 28 Oktober 2019. Pastor Frans dalam surat kabar Belanda De Volkskrant ( Koran Rakyat) diterbitkan pada 10 Januari 2020, menyampaikan pengalamannya di Tanah Papua.
” Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.”
“Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.” (Gembala Dan Guru Bagi Papua, 2020: hal. 593).
Fakta lain ialah pada bulan April 1963, Adolof Henesby Kepala Sekolah salah satu Sekolah Kristen di Jayapura ditangkap oleh pasukan tentara Indonesia. Sekolahnya digebrek dan cari simbol-simbol nasional Papua, bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu, sesuatu yang berhubungan dengan budaya orang-orang Papua diambil. Adolof Henesby dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa dia masih memelihara dan menimpan lambang-lambang Papua” (TAPOL, Buletin No.53, September 1982).
Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno mengeluarkan Surat Larangan pada Mei Nomor 8 Tahun 1963.
“Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumulan, penyebaran, perdagangan atau artikel, pemeran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden.”
2. KAPITALISME
Kolonialisme/pendudukan dan penjajahan wilayah selalu hadir karena daya tarik sumber daya alam yang melimpah. Jadi, Kolonialisme di Papua karena adanya kapitalisme. Sumber Daya Alam (SDA) Papua yang kaya raya seperti susu dan madu menjadi motivasi pendudukan dan penjajahan Indonesia yang ditopang oleh kepetingan ekonomi Amerika Serikat di Papua. Kepentingan Kapitalisme di Papua mengorbankan tiga tokoh penting, yaitu: (a) Sekretaris Jenderal PBB, Dag Hammarkskjold di Kongo pada 17/18 September 1961; (b) Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963; Presiden John F Kennedy tewas ditembak oleh Lee Harvey Oslwald. (c) Dilengserkan Ir. Soekarno sebagai Presiden Indonesia, pada tahun 1965 dengan tuduhan pendukung Komunis.
Tiga orang yang diangggap penghambat kepentingan ekonomi di Papua ini dikorbankan. Para pemilik modal dengan secapatnya membuat perjanjian kontrak kerja PT Freeport McMoran dengan Soeharto pada 7 April 1967 untuk tambang dan uranium di Namangkawi/Ndugu-Ndugu (Tembagapura). Perjanjian kontrak kerja ini dibuat dua tahun sebelum Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata melalui rekayasa Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral yang melawan standard kaidah-kaidah atau hukum Internasional
3. MILITERISME
Militerisme memperkuat dan memperkokoh serta melindungi kolonialisme dan kapitalisme. Kolonialisme identik dengan militerisme. Kapitalisme identik dengan militerisme. Ini disebut gabungan kekuatan Triplet atau kembar tiga. Artinya kolonialisme, kapitalisme dan militerisme itu satu nyawa dan satu roh yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lain.
Dengan tepat Amiruddin al Rahab menyatakan: “Semakin menghujamnya cengkeraman militer terhadap kehidupan sosial politik di Papua juga tidak terlepas dari potensi ekonomi daerah ini yang begitu besar. Hal itu terlihat ketika PT Freeport mulai menanamkan investasinya di Papua, untuk melindungi PT Freeport, militer di Papua mulai mengembangkan pengaruh dalam politik lokal dengan cara yang lebih keras. Selain itu, militer juga memperbesar kekuasaannya dengan menempatkan diri sebagai pelindung dari menggalirnya ribuan para imigran dan transmigrasi dari luar Papua.” (Heboh Papua: Perang Rahasia-Trauma Dan Separatisme: al Rahab: 2010:46).
Khusus di Papua, moncong senjata menjadi satu-satu solusi yang dipakai Negara selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini untuk menjaga kapitalisme dan memperkokoh kolonialisme. Orang-orang asli Papua yang bersuara kritis untuk melindungi hak atas Tanah mereka dan memperjuangkan keadilan serta martabat kemanusiaan dituduh separatis, makar, opm dan kkb dan dibantai seperti hewan dan binatang. Pelakunya kejahatan yang mengorbankan nyawa manusia orang asli Papua tidak pernah dihukum, bahkan disebut seperti pahlawan nasional.
Amiruddin al Rahab dengan tepat mengatakan: “Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan satu sikap yang khas Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan…
Orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya dalam pandangan orang Papua, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI” (2010:43).
Kekerasan Negara di Nduga (2018), di Intan Jaya (2019), di Puncak Ilaga (2020), di Yahukimo (2021) di Maybrat tidak terlepas dari kepentingan kapatalisme dan kolonialisme. TPN-PB atau OPM yang tidak berdaya (powerless) selalu dikambing-hitamkan untuk operasi-operasi militer dengan tujuan penguasaan wilayah yang berpotensi ada tambang emas dan sumber daya alam yang lain.
4. RASISME
Pandangan dan keyakinan rasisme menjadi landasan atau dasar pendudukan dan penjajahan serta penindasan penguasa Indonesia atas penduduk orang asli Papua. Penguasa Indonesia dan sebagian besar orang Indonesia memandang orang asli Papua adalah manusia kelas dua. Karena dianggap manusia kelas dua, maka dengan mudah disebut monyet, gorila, dan kata-kata negatif yang lain.
Ada diskriminasi rasial, etnis, agama dan golongan yang berlandung lama dalam sistem kenaikan pangkat dalam tubuh TNI-Polri, yaitu bagi orang Kristen pada umumnya dan lebih khusus orang asli Papua sulit mendapatkan pangkat yang lebih tinggi. Walaupun ada, itu sangat terbatas dan hanya perkecualian dan persyaratan-persyaratan tertentu.
5. FASISME
Karena orang asli Papua dianggap manusia kelas dua, monyet dan lain-lain, maka suara orang asli Papua diabaikan dan tidak didengarkan. Terbukti dengan penolakan Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 dan Otsus Jilid II Nomor 2 tahun 2021 tidak didengarkan dan penguasa Indonesia tetap mengesahkan UU Nomor 2 Tahun 2021. Fasisme artinya kekuasaan totaliter. Dan kekuasaan totaliter ini penguasa Indonesia terapkan di Papua.
Watak penguasa fasisme ialah kekuasaan memaksa dan rakyat harus menerima keputusan penguasa. Praktek kekuasaan pemerintah yang berwatak fasisme itu dihadapi oleh rakyat dan bangsa Papua dalam realitas sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini.
6. KETIDAKADILAN
Ketidakadilan selalu berakar kuat dalam penguasa yang berwatak kolonialisme, kapitalisme, militerisme, rasisme, fasisme. Terbukti dengan proses pembuatan New York Agreement 15 Agustus 1962 tentang nasib dan masa depan orang asli Papua, tapi OAP tidak pernah dilibatkan. Yang membuat NYA, yaitu para pihak bangsa-bangsa kolonial, yaitu Amerika Serikat dan Indonesia.
Ketidakadilan lain ialah pelaksanaan Pepera 1969 mengabaikan atau mengkhianati 800.000 orang dan ABRI memilih 1.025 orang untuk membacakan pernyataan yang sudah disiapkan ABRI.
Aceh/GAM dijadikan mitra dialog pemerintah Indonesia yang dimediasi pihak ketiga di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Pada saat rakyat dan bangsa Papua menuntut dialog damai dengan ULMWP, sikap ketidakadilan ditunjukkan Negara dengan moncong senjata dan mengirim ribuan pasukan TNI ke Papua.
Ketidakadilan yang paling kejam dan tidak beradab ialah orang asli Papua melawan rasisme dan korban rasisme, tapi ditangkap dan dipenjarakan dengan stigma atau label makar. Ini benar-benar watak Indonesia yang barbar dan kriminal dan kejahatan yang melampaui batas-batas kemanusiaan.
Theo van den Broek menyatakan ketidakadilan Negara terhadap orang asli Papua, sebagai berikut:
“…suara yang begitu terang untuk meminta perubahan pendekatan dalam menangani persoalan Papua, dari pendekatan keamanan ke pendekatan dialog, tidak didengar oleh pemerintahan di Jakarta. Bahkan, Presiden Jokowi semakin bergerak ke belakang dan perlahan-lahan keluar dari kerumitan persoalan Papua, sedangkan panggung semakin diduduki oleh pensiunan militer: Moeldoko, Ryanmizard, Hendropriyono, Prabowo dan Wiranto. Dan, hal ini bukan berita baik bagi Papua” ( Tuntut Martabat, Orang Papua Dikukum: 2020:35).
10 akar konflik ini yang menyebabkan luka membusuk dan luka bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, dengan iman menggambarkan tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Dari 10 akar sejarah konflik antara Indonesia dan Papua, penguasa Indonesia sebagai kolonial modern yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua telah berhasil menghasilkan enam sikap dalam jiwa, daging, darah dan pikiran serta perasaan rakyat dan bangsa Papua. Enam sikap itu sebagai berikut:
1. Awareness (kesadaran).
Seluruh rakyat dan bangsa Papua Barat menyadari dan ada kebangkitan bahwa Indonesia adalah penguasa kolonial modern yang menduduki dan menjajah bangsa Papua Barat dengan moncong senjata sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang memasuki tahun 2021.
2. United (Persatuan).
Kesadaran dan kebangkitan adanya pendudukan dan kolonialisme Indonesia atas bangsa Papua, sehingga orang asli Papua melahirkan sikap persatuan dengan membentuk wadah perjuangan bersama, yaitu United Liberation Movement for West Papua ( ULMWP). ULMWP menjadi wadah politik resmi yang menjadi Obsever di MSG dan bersuara di forum-forum PIF, ACP dan forum internasional lainnya.
3. Distrust (Ketidakpercayaan).
Rakyat dan bangsa Papua telah kehilangan kepercayaan terhadap penguasa Indonesia. Kepercayaan terhadap Indonesia menjadi gundul atau botak. Sudah tidak ada cara lain untuk kembalikan kepercayaan rakyat kepada penguasa pemerintah Indonesia. Label teroris terhadap orang asli Papua bertambah luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia dari kaca mata orang asli Papua. Otsus jilid 2 Nomor 2 Tahun 2021 bertambah runtuhnya kepercayaan rakyat dan bangsa Papua terhadap penguasa Indonesia.
4. Disobedience (Ketidakpatuhan).
Dari kedasaran, kebangkitan dan persatuan dan ketidakpercayaan itu melahirkan ketidakpatuhan kepada penguasa Indonesia dan berbagai undang-undang dan ideologi bangsa. Contohnya, pada 17 Agustus 2021, mayoritas orang asli Papua tidak kibarkan bendera merah putih di halaman rumah seperti tahun 1980-an sampai tahun 1990-an. Rakyat dan bangsa Papua menyadari bahwa bendera merah putih ialah lambang penjajahan. Alam juga turut tidak setuju dan itu terbukti di Manokwari dan di Jembatan Merah Jayapura.
5. Rejection (Penolakan).
Sikap penolakan rakyat Papua terhadap Indonesia sudah dimulai sejak pelaksanaan Pepera 1969. Hampir mayoritas 95% Orang Asli Papua menolak digabungkan dengan wilayah Indonesia dengan proses Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI.
“…bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: “Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969: “Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando:
“Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka.”
(2009:hal.169).
6. Resistance (Perlawanan).
Sikap perlawanan rakyat dan bangsa Papua terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia itu sejak tahun 1960-an. Perlawanan atau penolakan itu terbukti tidak pernah terhenti dan sampai memasuki tahun 2021 ini masih dan tetap dilakukan perlawanan terhadap Indonesia.
Yang menjadi tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia saat ini, bahwa lahirnya atau terbentuknya ketidakpercayaan (distrust), ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection) dan perlawanan (resistance) terhadap Indonesia itu dilakukan oleh hampir 100% generasi muda Papua yang belajar dari dan dalam sistem pendidikan dari Tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Indonesia.
Penulis juga generasi yang nengeyam pendidikan Sekolah Dasar Negeri atau SD Inpres, SMP Negeri, SMA Negeri dan Universitas Negeri Cenderawasih, tapi saya tidak menjadi orang Indonesia, karena penulis belajar proses sejarah penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata, penuh darah dan air mata.
Yang dilawan oleh rakyat dan bangsa Papua ialah akar sejarah konflik, yaitu: diskriminasi rasial, fasisme, kolonialisme, militerisme, kapitalisme, pelanggaran berat HAM, ketidakadilan, dan sejarah Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral.
Rakyat dan bangsa Papua juga menolak dan melawan hoax, mitos-mitos, stigma, label diproduksi penguasa Indonesia, yaitu: separatis, makar, opm, kkb, dan teroris sebagai topeng atau tameng untuk menyembunyikan sejarah akar konflik Papua.
Sekarang Indonesia menghadapi tantangan berat, yaitu: kesadaran (awareness), persatuan (united) ketidakpercayaan (distrust), ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection) dan perlawanan (resistance).
Selamat membaca. Doa dan harapan saya, artikel ini menjadi berkat bagi para pembaca.
Ita Wakhu Purom, Selasa, 9 September 2021
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____