Revisi Artikel Tanggal 7 September 2021
7 SIKAP PERLAWANAN ORANG PAPUA TERHADAP PENDUDUKAN DAN PENJAJAHAN PENGUASA KOLONIAL MODERN INDONESIA BERWATAK RASISME DAN FASISME ATAS BANGSA PAPUA BARAT
Oleh Gembala Dr. Ambirek Godmendekmban Socratez Yoman,MA
Penguasa kolonial modern Indonesia yang menduduki, menjajah dan menindas rakyat dan bangsa Papua Barat telah melahirkan enam sikap perlawanan yang khas dan kuat. Tujuh sikap yang khas dan kuat itu lahir, bertumbuh dan berakar serta berbuah dalam hidup rakyat dan bangsa Papua Barat karena penguasa kolonial modern Indonesia menerapkan penjajahan kejam dan brutal berkultur militer dimulai sejak 19 Desember 1961 dan lebih totaliter dan otoriter dimulai 1 Mei 1963.
Tujuh sikap perlawanan itu lahir karena penguasa kolonial modern Indonesia menerapkan penjajahan standar berganda yang telah menjadi akar konflik berdarah dari waktu ke waktu yang terus meningkat, yaitu: Rasisme, Fasisme, Kolonialisme, Kapitalisme, Militerisme, Imperialisme, Ketidakadilan, sejarah penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia melalui Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI (kini: TNI) yang megakibatkan pelanggaran berat HAM dan proses pemusnahan etnis orang asli Papua dengan sistematis, terstruktur, masif dan kolektif. Terjadi marginalisasi/peminggiran orang asli Papua karena Tanah dirampas bahkan manusianya dibunuh dan diusir dengan operasi militer besar-besaran.
Sikap dan perilaku Negara yang rasis dan fasis ini telah melahirkan SEPARATISME dengan tujuh sikap yang khas bagi rakyat dan bangsa Papua Barat menghadapi penguasa kolonial modern Indonesia, yaitu:
- AWARENESS (KESADARAN).
Seluruh rakyat dan bangsa Papua Barat menyadari dan ada kebangkitan bahwa Indonesia adalah penguasa kolonial modern yang menduduki dan menjajah bangsa Papua Barat dengan moncong senjata sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang memasuki tahun 2021.
- AWAKENING (KEBANGKITAN)
Sejak 19 Desember 1961 melalui Tiga Komando Rakyat (Trikora) dan 1 Mei 1963 penyerahan sepihak dari UNTEA kepada Indonesia, orang asli Papua benar-benar mengalami mimpi buruk dalam melihat perilaku biadab, barbar, kejam dan rasis serta fasis bangsa Indonesia. Tanggal 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963 tanggal dimulainya awal dimulainya proses pemusnahan etnis orang asli Papua dengan operasi militer besar-besaran.
Sudah 61 tahun sejak 19 Desember 1961 dan 59 tahun sejak 1 Mei 1963, orang asli Papua hidup dalam penderitaan panjang yang ditimbulkan penguasa bangsa kolonial modern Indonesia yang berwatak rasis dan fasis berkultur militeristik.
Ada penderitaan, tetesan darah, cucuran air mata, dan tulang belulang berserakkan yang mewarnai kehidupan orang asli Papua dari waktu ke waktu sampai memasuki tahun 2022 ini. Wajah kekejaman dan kekerasan Indonesia semakin nyata operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Maybarat, Kiwirok-Pegunungan Bintang.
Kekerasan Negara secara sistimatis, terprogram, terstruktur, masif dan kolektif ini membangkitkan orang asli Papua dari kelumpuhan dan penghilangan martabat kemanusiaan, identitas sebagai sebuah bangsa, sejarah, kebudayaan dan bahasa. Ada perampokkan Tanah dan sumber daya alam dan banyak harta berharga yang dicuri dan dibawa pergi oleh para perampok, pencuri, penipu, pembunuh. Dalam keadaan ketidakberdayaan ini, rakyat dan bangsa Papua Barat bangkit untuk melawan kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan yang terlama dan terpanjang di Asia pasifik ini.
- UNITY (PERSATUAN).
Kesadaran dan kebangkitan adanya pendudukan dan kolonialisme Indonesia atas bangsa Papua, sehingga orang asli Papua melahirkan sikap persatuan dengan membentuk wadah perjuangan bersama, yaitu United Liberation Movement for West Papua ( ULMWP). ULMWP menjadi wadah politik resmi yang menjadi Obsever di MSG dan bersuara di forum-forum PIF, ACP dan forum internasional lainnya. Ada KNPB sebagai wadah gerakan moral dan politik, TPN-PB sebagai sayap militer.
- DISTRUST (KETIDAKPERCAYAAN).
Rakyat dan bangsa Papua telah kehilangan kepercayaan terhadap penguasa Indonesia. Kepercayaan terhadap Indonesia menjadi gundul atau botak. Sudah didak ada cara lain untuk kembalikan kepercayaan rakyat kepada penguasa pemerintah Indonesia. Label teroris terhadap orang asli Papua bertambah luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia dari kaca mata orang asli Papua. Otsus jilid 2 Nomor 2 Tahun 2021 bertambah runtuhnya kepercayaan rakyat dan bangsa Papua terhadap penguasa Indonesia.
5.DISOBEDIENCE (KETIDAKPATUHAN).
Dari kedasaran, kebangkitan dan persatuan dan ketidakpercayaan itu melahirkan ketidakpatuhan kepada penguasa Indonesia dan berbagai undang-undang dan ideologi bangsa. Contohnya, pada 17 Agustus 2021, mayoritas orang asli Papua tidak kibarkan bendera merah putih di halaman rumah seperti tahun 1980-an sampai tahun 1990-an. Rakyat dan bangsa Papua menyadari bahwa bendera merah putih ialah lambang penjajahan. Alam juga turut tidak setuju dan itu terbukti di Manokwari dan di Jembatan Merah Jayapura.
6.REJECTION (PENOLAKAN).
Sikap penolakan rakyat Papua terhadap Indonesia sudah dimulai sejak pelaksanaan Pepera 1969. Hampir mayoritas 95% Orang Asli Papua menolak digabungkan dengan wilayah Indonesia dengan proses Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI.
“…bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.”
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: “Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
“Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando:
“Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka.” (2009:hal.169).
- RESISTANCE (PERLAWANAN).
Sikap perlawanan rakyat dan bangsa Papua terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia itu sejak tahun 1960-an. Perlawanan atau penolakan itu terbukti tidak pernah terhenti dan sampai memasuki tahun 2022 ini masih dan tetap dilakukan perlawanan terhadap Indonesia.
Yang menjadi tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia saat ini, bahwa lahirnya atau terbentuknya ketidakpercayaan (distrust), kebangkitan (awaking), ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection) dan perlawanan (resistance) terhadap Indonesia itu dilakukan oleh hampir 100% generasi muda Papua yang belajar dari dan dalam sistem pendidikan dari Tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Indonesia.
Penulis juga generasi yang nengeyam pendidikan Sekolah Dasar Negeri atau SD Inpres, SMP Negeri, SMA Negeri dan Universitas Negeri Cenderawasih, tapi saya menjadi orang Indonesia, karena penulis belajar proses sejarah penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata, penuh darah dan air mata.
Yang dilawan oleh rakyat dan bangsa Papua ialah akar sejarah konflik, yaitu: diskriminasi rasial, fasisme, kolonialisme, militerisme, kapitalisme, pelanggaran berat HAM, ketidakadilan, dan sejarah Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral.
Rakyat dan bangsa Papua juga menolak dan melawan hoax, mitos-mitos, stigma, label diproduksi penguasa Indonesia, yaitu: separatis, makar, opm, kkb, dan teroris sebagai topeng atau tameng untuk menyembunyikan sejarah akar konflik Papua.
Sekarang Indonesia menghadapi tantangan berat, yaitu: kesadaran (awareness), awakening (kebangkitan) persatuan (united) ketidakpercayaan (distrust), ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection) dan perlawanan (resistance) dari kalangan generasi muda orang asli Papua dan terdidik yang memperoleh pendidikan yang diselenggarakan bangsa kolonial modern Indonesia dari TK-Perguruan Tinggi.
Generasi muda Papua yang terdidik menyatakan: KAMI BUKAN BANGSA INDONESIA. KAMI BANGSA PAPUA RAS DAN RUMPUN MELANESIA.”
Selamat membaca. Doa dan harapan saya, artikel ini menjadi berkat bagi para pembaca.
Ita Wakhu Purom, Kamis, 17 Februari 2022
Penulis:
- Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
- Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
- Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
- Anggota Baptist World Alliance (BWA).