Fakta PERLAWANAN Rakyat Papua
9 (SEMBILAN) BENTUK PERLAWANAN RAKYAT DAN BANGSA PAPUA BARAT ATAS KEJAHATAN NEGARA INDONESIA
“Walaupun, TANAH Papua dipecah-belah oleh bangsa kolonial modern Indonesia, tapi Ideologi dan Nasionalisme dan Martabat kemanusiaan kami sebagai sebuah bangsa masih dan tetap SATU dan UTUH untuk selamanya di atas TANAH leluhur kami.”
Oleh Gembala DR. A.G. Socratez Yoman
Para pembaca yang mulia dan terhormat. Ideologi, nasionalisme dan martabat kemanusiaan orang asli Papua (OAP) dan rakyat Papua tidak bisa tukar dan dibeli dengan uang, Otsus Jilid 1, UP4B, Otsus Jilid 2, dan DOB BONEKA Indonesia. Kami masih ada dan tetap ada di atas TANAH Pusaka dan Leluhur kami
SEMBILAN sikap perlawanan itu lahir karena penguasa kolonial modern Indonesia menerapkan penjajahan standar berganda yang telah menjadi akar konflik berdarah dari waktu ke waktu yang terus meningkat, yaitu: Rasisme, Fasisme, Kolonialisme, Kapitalisme, Militerisme, Imperialisme, Ketidakadilan, sejarah penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia melalui Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI (kini: TNI) yang megakibatkan pelanggaran berat HAM dan proses pemusnahan etnis orang asli Papua dengan sistematis, terstruktur, masif dan kolektif. Terjadi marginalisasi/peminggiran orang asli Papua karena Tanah dirampas bahkan manusianya dibunuh dan diusir dengan operasi militer besar-besaran.
Sikap dan perilaku Negara yang rasis dan fasis ini telah melahirkan SEPARATISME dengan SEMBILAN sikap yang khas bagi rakyat dan bangsa Papua Barat menghadapi penguasa kolonial modern Indonesia, yaitu:
- AWARENESS (ADA KESADARAN).
Seluruh rakyat dan bangsa Papua Barat menyadari dan ada kebangkitan bahwa Indonesia adalah penguasa kolonial modern yang menduduki dan menjajah bangsa Papua Barat dengan moncong senjata sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang dalam tahun 2022 untuk seterus dan selama-lamanya.
- AWAKENING (ADA KEBANGKITAN)
Sejak 19 Desember 1961 melalui Tiga Komando Rakyat (Trikora) dan 1 Mei 1963 penyerahan sepihak dari UNTEA kepada Indonesia, orang asli Papua benar-benar mengalami mimpi buruk dalam melihat perilaku biadab, barbar, kejam dan rasis serta fasis bangsa Indonesia. Tanggal 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963 tanggal dimulainya awal dimulainya proses pemusnahan etnis orang asli Papua dengan operasi militer besar-besaran.
Sudah 61 tahun sejak 19 Desember 1961 dan 59 tahun sejak 1 Mei 1963, orang asli Papua hidup dalam penderitaan panjang yang ditimbulkan penguasa bangsa kolonial modern Indonesia yang berwatak rasis dan fasis berkultur militeristik.
Ada penderitaan, tetesan darah, cucuran air mata, dan tulang belulang berserakkan yang mewarnai kehidupan orang asli Papua dari waktu ke waktu sampai memasuki tahun 2022 ini. Wajah kekejaman dan kekerasan Indonesia semakin nyata operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Maybarat, Kiwirok-Pegunungan Bintang.
Kekerasan Negara secara sistimatis, terprogram, terstruktur, masif dan kolektif ini membangkitkan orang asli Papua dari kelumpuhan dan penghilangan martabat kemanusiaan, identitas sebagai sebuah bangsa, sejarah, kebudayaan dan bahasa. Ada perampokkan Tanah dan sumber daya alam dan banyak harta berharga yang dicuri dan dibawa pergi oleh para perampok, pencuri, penipu, pembunuh. Dalam keadaan ketidakberdayaan ini, rakyat dan bangsa Papua Barat bangkit untuk melawan kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan yang terlama dan terpanjang di Asia pasifik ini.
- UNITY (ADA PERSATUAN).
Kesadaran dan kebangkitan adanya pendudukan dan kolonialisme Indonesia atas bangsa Papua, sehingga orang asli Papua melahirkan sikap persatuan dengan membentuk wadah perjuangan bersama, yaitu United Liberation Movement for West Papua ( ULMWP). ULMWP menjadi wadah politik resmi yang menjadi Obsever di MSG dan bersuara di forum-forum PIF, ACP dan forum internasional lainnya. Ada KNPB sebagai wadah gerakan moral dan politik, TPN-PB sebagai sayap militer.
- DISTRUST (ADA KETIDAKPERCAYAAN).
Rakyat dan bangsa Papua telah kehilangan kepercayaan terhadap penguasa Indonesia. Kepercayaan terhadap Indonesia menjadi gundul atau botak. Sudah didak ada cara lain untuk kembalikan kepercayaan rakyat kepada penguasa pemerintah Indonesia. Label teroris terhadap orang asli Papua bertambah luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia dari kaca mata orang asli Papua. Otsus jilid 2 Nomor 2 Tahun 2021 bertambah runtuhnya kepercayaan rakyat dan bangsa Papua terhadap penguasa Indonesia.
5. DISOBEDIENCE (ADA KETIDAKPATUHAN).
Dari kedasaran, kebangkitan dan persatuan dan ketidakpercayaan itu melahirkan ketidakpatuhan kepada penguasa Indonesia dan berbagai undang-undang dan ideologi bangsa. Contohnya, pada 17 Agustus 2021, mayoritas orang asli Papua tidak kibarkan bendera merah putih di halaman rumah seperti tahun 1980-an sampai tahun 1990-an. Rakyat dan bangsa Papua menyadari bahwa bendera merah putih ialah lambang penjajahan. Alam juga turut tidak setuju dan itu terbukti di Manokwari dan di Jembatan Merah Jayapura.
6. REJECTION (ADA PENOLAKAN).
Sikap penolakan rakyat Papua terhadap Indonesia sudah dimulai sejak pelaksanaan Pepera 1969. Hampir mayoritas 95% Orang Asli Papua menolak digabungkan dengan wilayah Indonesia dengan proses Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI.
“…bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.”
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: “Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
“Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando:
“Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka.” (2009:hal.169).
- RESISTANCE (ADA PERLAWANAN).
Sikap perlawanan rakyat dan bangsa Papua terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia itu sejak tahun 1960-an. Perlawanan atau penolakan itu terbukti tidak pernah terhenti dan sampai memasuki tahun 2022 ini masih dan tetap dilakukan perlawanan terhadap Indonesia.
Yang menjadi tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia saat ini, bahwa lahirnya atau terbentuknya ketidakpercayaan (distrust), kebangkitan (awaking), ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection) dan perlawanan (resistance) terhadap Indonesia itu dilakukan oleh hampir 100% generasi muda Papua yang belajar dari dan dalam sistem pendidikan dari Tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Indonesia.
Penulis juga generasi yang nengeyam pendidikan Sekolah Dasar Negeri atau SD Inpres, SMP Negeri, SMA Negeri dan Universitas Negeri Cenderawasih, tapi saya menjadi orang Indonesia, karena penulis belajar proses sejarah penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata, penuh darah dan air mata.
Yang dilawan oleh rakyat dan bangsa Papua ialah akar sejarah konflik, yaitu: diskriminasi rasial, fasisme, kolonialisme, militerisme, kapitalisme, pelanggaran berat HAM, ketidakadilan, dan sejarah Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral.
Rakyat dan bangsa Papua juga menolak dan melawan hoax, mitos-mitos, stigma, label diproduksi penguasa Indonesia, yaitu: separatis, makar, opm, kkb, dan teroris sebagai topeng atau tameng untuk menyembunyikan sejarah akar konflik Papua.
8. SOLIDARITY (Solidaritas) Atas Kemanusiaan
Rakyat dan bangsa Papua Barat dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, martabat kemanusiaan dan kesamaan hak dan derajat tidak sendirian. Ada solidaritas dari rakyat Indonesia, ada solidaritas dari rakyat Melanesia, rakyat di wilayah Pasifik, Australia, Asia, Afrika, Eropa, Amerika.
Dalam semangat solidaritas kemanusiaan ini, sikap kami terlihat dari kutipan ini:
“Kita jangan sibuk dengan mengurus atau mengganggu agama orang lain, itu sama saja kita bagian dari orang-orang yang menciptakan kekacauan dunia. Sebaiknya, kita harus sibuk membangun iman kita masing-masing, supaya kita menjadi seperti lilin yang bercahaya untuk kedamaian dunia. Orang Kristen berkewajiban menjadi penjaga dan pelindung saudara-saudara Muslim, Hindu, Budha, Konghucu dan Atheis dan sebaliknya. Kita boleh berbeda dalam keyakinan iman dan pandangan ideologi, tapi kita tetap bersaudara dalam martabat kemanusiaan.” (Gembala DR. A.G. Socrarez Yoman, Ita Wakhu Purom, 5 April 2022)
9. ADA KEMANDIRIAN/KEMERDEKAAN (INDEPENDENCE)
Sekarang Indonesia menghadapi tantangan berat, yaitu: kesadaran (awareness), awakening (kebangkitan) persatuan (united) ketidakpercayaan (distrust), ketidakpatuhan (disobedience), penolakan (rejection) dan perlawanan (resistance), Solidarity (Solidaritas) serta kemandirian/kemerdekaan (independence) dari kalangan generasi muda orang asli Papua dan terdidik yang memperoleh pendidikan yang diselenggarakan bangsa kolonial modern Indonesia dari TK-Perguruan Tinggi.
Generasi muda Papua yang terdidik menyatakan: KAMI BUKAN BANGSA INDONESIA. KAMI BANGSA PAPUA RAS DAN RUMPUN MELANESIA.”
Selamat membaca. Doa dan harapan saya, artikel ini menjadi berkat bagi para pembaca.
Ita Wakhu Purom, Selasa, 5 Juli 2022
Penulis:
- Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
- Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
- Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
- Anggota Baptist World Alliance (BWA).