Artikel
RAKYAT PAPUA TELAH KEHILANGAN KEPERCAYAAN KEPADA INDONESIA DAN PERUNDINGAN DAMAI TANPA SYARAT ANTARA INDONESIA-ULMWP YANG DIMEDIASI PIHAK KETIGA YANG NETRAL MENJADI KEBUTUHAN MENDESAK
Oleh Dr. Socratez S.Yoman
“”Kalau mau selesaikan masalah duduk bersama cari solusi. Jangan sedikit-sedikit kirim TNI ke Papua. Mau hadapi masyarakat koq pakai senjata.” (Pdt. Lipiyus Biniluk, Ketua FKUB Provinsi Papua, 3 September 2020).
Pater Dr. Neles Tebay mengungkapkan:
“Konflik Papua melibatkan dua pihak yang bertikai yakni Pemerintah Indonesia (selanjutnya baca: pemerintah) dan orang Papua. Konflik ini dimulai sejak Indonesia menguasai Papua tanggal 1 Mei 1963 dan hingga kini belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh” (Dialog Jakarta-Papua, 2009).
Pastor Frans Lieshout memberikan kesaksian tentang awal Indonesia memulai konflik di Papua sebagai berikut:
“Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.”
( Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020, hal. 593).
“Banyak oknum TNI/Polri dengan alasan perintah untuk mengamankan kedaulatan NKRI telah mengambil tindakan-tindakan tidak manusiawi untuk meredam aksi kemanusiaan masyarakat Papua yang meminta keadilan bagi hidup dan tanahnya. …Masyarakat Papua ditelanjangi dan dijadikan miskin serta mati di atas tanahnya sendiri. …Papua tetap menjadi surga yang terlantar” (Sumber: Papua ‘Surga’ Yang Terlantar: Laporan Hak Asasi Manusia SKP Se-Papua 2015-2017, hal. 2).
Akibat-akibat konflik dan kejahatan Negara itu digambarkan dengan sempurna oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno sebagai berikut:
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Akar persoalan konflik sudah dipetakkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai materi untuk diselesaikan dalam perundingan damai.
Akar persoalan itu disebut luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar masalah Papua. Pemerintah Republik Indonesia HARUS menyelesaikan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Empat akar persoalan ini bersumber dari rasisme dan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak 1 Mei 1963 sampai memasuki tahun 2020 dan mungkin akan berlanjut, kalau rantai dan spiral kekerasan ini tidak segera diminimalisir dan kalau lebih mulia diselesaikan demi kehormatan martamat kemanusiaan orang asli Papua.
Otonomi Khusus Papua yang menjadi solusi juga sudah menjadi bagian dari masalah dan tidak mampu menyelesaikan kompleksitas persoalan Papua yang sudah jelas menjadi empat akar persoalan ini. Wajar saja karena seluruh Pasal Undang-undang Otonomi Khusus itu macet total. Otonomi Khusus Papua telah menjadi mesin kolonialisme moderen untuk pembunuhan dan pemusnahan orang asli Papua.
“Kenyataannya adalah implementasi UU Otsus tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap hidup orang asli Papua. Maka ketidakpercayaan orang Papua terhadap Pemerintah Indonesia semakin hari semakin tinggi.” (Tebay, 2009:8).
Realitas seperti ini telah melahirkan kesadaran (AWARENESS) kolektif dalam kehidupan orang asli Papua bahwa tidak ada masa depan dalam Indonesia dan ada ancaman bahaya yang nyata di depan mata yang dilakukan Negara, yaitu proses pemusnahan orang asli Papua.
Dalam kesadaran (awareness) itu, telah lahir sikap orang asli Papua sebagai berikut;
1. LOST TRUST artinya kehilalangan kepercayaan. Fakta di lapangan sangat terasa bahwa mayoritas rakyat Papua, terutama orang asli Papua sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah Indonesia. Indonesia sudah tidak memiliki modal kepercayaan orang asli Papua.
2. DISOBEDIENCE artinya ketidakpatuhahan atau ketidaktaatan. Mayoritas orang asli Papua sudah tidak peduli dengan otoritas atau kekuasaan Indonesia di Papua. Orang asli Papua berpandangan bahwa di Papua sudah tidak hukum dan undang-undang Indonesia. Karena realitas yang ada sejak dulu adalah rasisme, ketidakadilan, kekerasan dan kejahatan Negara.
3. REJECTION artinya penolakan. Penolakan keberadaan Indonesia di Papua sudah sejak tahun 1960an itu tidak pernah surut sampai sekarang memasuki tahun 2020. Penolakan hasil Pepera 1969, menolak Otsus 2001, dan menuntut Referendum serta Penentuan Nasib Sendiri meningkat dan bertambah dari waktu ke waktu.
4. RESISTANCE artinya perlawanan. Ada berbagai bentuk perlawanan dari rakyat Papua terhadap kekuasaan pemerintah Republik Indonesia. Ada wadah atau payung perlawanan resmi yang dimiliki rakyat dan bangsa West Papua, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang didukung penuh oleh rakyar dan bangsa West Papua. ULMWP didukung dari berbagai bentuk organisasi perlawanan, yaitu: TPN-PB, KNPB dan juga didukung dari komunitas internasional, termasuk dari Negara Merdeka seperti Negara Vanuatu.
Ada pula dukungan dan simpati dari anggota Negara-negara Kepulauan Pasifik (PIF) dan juga anggota dari Negara-negara Afrika, Carabia dan Pasifik (ACP).
Dewan Gereja Papua (WPCC) meminta Negara Republik Indonesia segera menyelesaikan 4 akar persoalan. Untuk itu Dewan Gereja Papua (WPCC) kembali menegaskan Surat Pastoral kami tertanggal 26 Agustus 2019 dan 13 September 2019 sebagai berikut.
“Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral.” (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
“Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura.” (Isi surat 13 September 2019).
Pada 21 Juli 2020 dari 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: KAMI MEMINTA KEPADA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGAKHIRI KONFLIK BERKEPANJANGAN DI TANAH LELUHUR KAMI-PAPUA DENGAN CARA DIALOG. Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk BERDIALOG DENGAN ULMWP yang DIMEDIASI OLEH PIHAK KETIGA yang NETRAL, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.
Adapun seruan-seruan Pimpinan Gereja dan Agama di Papua secara terus-menerus kepada Pemerintah Republik Indonesia berunding dengan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral.
Ada seruan bersama dari Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode pada 28 Juli 2009 sebagai berikut:
“Pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan Dialog Nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral.”
Para Pimpinan Gereja di Tanah Papua pada 18 Oktober 2008 menyatakan keprihatinan: ” Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan.”
Konferensi Gereja dan Masyarakat Papua pada 14-17 Oktober 2008 menyerukan: “Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi Otonomi Khusus No.21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi ‘separatis, TPN, OPM, GPK, makar’ dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang-orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan.”
Gereja-gereja di Tanah Papua pada 3 Mei 2007 menyatakan: “Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan maka solusinya dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia.”
Pimpinan Agama dan Gereja dalam Loka Karya Papua Tanah Damai pada 3-7 Desember 2007 mendesak Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak.”
Akhir dari artikel ini, perlu ditegaskan bahwa surat Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pendeta Dorman Wandikbo bernomor; : 59/E/II.01 Sentani, 03 September 2020 yang ditujukan kepada KEPALA KANTOR KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA PROVINSI PAPUA Di – Jayapura adalah sudah merupakan ISI HATI, DOA dan HARAPAN dari mayoritas umat Tuhan di Tanah Papua, terutama Orang Asli Papua.
Ada tiga butir penting surat Presiden GIDI sebagai berikut:
1. Dalam kunjungan Menteri Agama Republik Indoensia, Bapak Jenderal (Purn.) TNI Fachrul Razi di Jayapura nanti, usulan utama kami Gereja Injili Di Indonesia adalah apakah dapat menyelesaikan 4 (empat) akar permasalahan di Tanah Papua yang dikemukakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ?
2. Dewan Gereja Papua sebagai anggota Dewan Gereja Pasifik melihat bahwa Program “Kita Cinta Papua” adalah slogan yang dimunculkan untuk menutupi kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang selama ini tidak dapat diselesaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
3. Dalam surat dicantumkan untuk menyerahkan foto copy rekening yang aktif (poin 2) bagi kami, Gereja Injili Di Indonesia adalah tidak menghargai posisi Gereja yang mana timbul suatu anggapan bahwa posisi Gereja dapat dibeli dengan uang. Gereja adalah independen, mandiri serta otonom, dan tidak bergantung kepada pemerintah. Dengan membawa nomor rekening dalam pertemuan dimaksud, hal itu merupakan penghinaan kepada setiap denominasi gereja yang berada di Tanah Papua.”
Kesimpulan dari artikel ini ditegaskan kembali bahwa “RAKYAT PAPUA TELAH KEHILANGAN KEPERCAYAAN KEPADA PEMERINTAH INDONESIA DAN PERUNDINGAN DAMAI TANPA SYARAT ANTARA INDONESIA-ULMWP YANG DIMEDIASI PIHAK KETIGA YANG NETRAL MENJADI KEBUTUHAN MENDESAK”.
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 4 September 2020
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____