Realitas/Fakta Kehidupan Orang Asli Papua
BANGSA INDONESIA MEMISKINKAN BANGSA PAPUA DENGAN SISTEMATIS SELAMA 58 TAHUN SEJAK 1 MEI 1963 SAMPAI SEKARANG 2021
(Kejahatan PEMISKINAN dari kolonial modern Indonesia terhadap orang asli Papua yang paling kejam, biadab, brutal, dan barbar serta primitif ialah membakar buku-buku sejarah dan dokumen-dokumen penting yang dimiliki penduduk asli Papua)
Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman,MA
“Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda dibakar.”
“Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus itu merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut di pingir jalan. Mungkin benar-benar demikian. Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda dibakar.” ( Sumber: Pastor Frans Lieshout, OFM: Gembala Dan Guru Bagi Papua: 2020:593).
Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam Surat Gembala tertanggal 5 Juli 2020 yang berjudul: “TUHAN ‘OTSUS PEMBANGUNAN INDONESIA UNTUK MENSEJAHTERAKAN RAKYAT PAPUA SUDAH MATI” telah diungkapkan tentang penguasa kolonial Indonesia membakar buku-buku dan perampokan-perampokan yang dilakukan Indonesia.
“Begitu mendapat tempat di Papua (setelah UNTEA tanggal 1 Mei 1963), para elit Indonesia yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal dan semua tulisan tentang Sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan; semua dibakar di depan orang banyak di halaman Kantor DPRP sekarang di Jayapura” (Lihat, Acub Zainal dalam memoarnya: I Love the Army).
“Awal Juni 1963,….dari Kota Baru (Jayapura) dan Biak dilaporkan perampokan yang dilakukan para pendatang yang masuk ke rumah para pegawai mengambil barang-barang berupa: pesawat radio, radio, tempat tidur, dan lemari es, pakaian bahkan hasil-hasil kebun mereka ambil dan bawa. Ini terjadi selama bebera waktu bulan Mei dan Juni 1963 di beberapa kota di Papua.” (Sumber: Resolusi Partai Nasional Indonesia (PNI) Daerah Irian Barat, 6 Djuni 1963, No.2/PN.IIB/1963).
“Mendatangi rumah-rumah yang ditinggalkan petinggi pemerintah Belanda dan Kantor-Kantor pemerintah, mengambil/merampok dan menjarah semua barang-barang dari rumah dan kantor-kantor peninggalan Belanda; lalu dinaikkan ke mobil-mobil/truk yang sudah diparkir untuk dibawa keluar Papua. Setelah merampok dan menjarah barang-barang dari rumah
Dan Kantor pemerintah Belanda, kloter/rombongan lain masuk lagi ke rumah-rumah para pegawai orang asli Papua: di kota-kota Biak, Kotabaru (Jayapura) para elit ambil barang-barang mereka lalu bawa untuk dikirim ke luar Papua.” (Sumber: Resolusi Partai Nasional Indonesia (PNI) Dalam Rapat Dewan Daerah ke I tanggal 9 Djuni 1963).
Penjarahan dan perampokkan yang dilakukan kolonial Indonesia itu fakta di depan mata kita. “Contoh, dulu di Papua, ada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh orang asli Papua. Perusahaan-purusahaan itu diambil alih. Ada perusahaan Nieuwenhuijs, yang dimiliki keluarga Rumpaisum. Itu diambil alih oleh orang asal Manado. Sekarang perusahaan itu milik mereka, bergerak dalam ekspedisi muatan kapal laut.”
Contoh lain, “di Jayapura, di Jalan Irian, hampir semua toko dimiliki oleh orang asli Papua pada tahun 1960-an, sekarang bukan milik orang asli Papua lagi. Tokoh-tokoh tersebut sudah berpindah tangan kepada non-Papua atau orang-orang pendatang. Diambil alih dengan cara-cara sangat kasar. Kadang dengan menuduh pemilik tokoh itu anggota OPM, maka pada saat orang itu ditangkap, semua asetnya berpindah tangan kepada orang-orang pendatang.”
Contoh lain, “sebuah pompa bensin Samudra Maya di Dok V Bawah, Jayapura, milik seorang Belanda. Ketika orang Belanda ini pulang, sekitar tahun 1961 dan 1962, pemiliknya menyerahkan pompa bensin ini kepada Herman Wayoi, lengkap dengan semua surat hak kepemilikan dan izin usaha. Sewaktu tentara Indonesia masuk ke Papua, pompa bensin tersebut diambil paksa dari Herman Wanggai. Dia dituduh OPM, ditahan oleh militer, lalu tanpa sidang, beliau dipenjara dalam penjara militer beberapa tahun. Perusahaan tersebut tetap jadi milik Angkatan Darat.” (Sumber: Filep Karma: Seakan Kitorang Setengah Binatang:2014:7) dan baca: Melawan Rasisme dan Stigma di Papua: Yoman: 2020:220)
Watak perampok dan penjarah atau pencuri para kolonial Indonesia belum pernah berubah dalam era modern dan peradaban tinggi seperti sekarang ini. Wajah dan watak perampok dan penjarah itu terlihat sejak 1 Mei 1963 yang telah digambarkan dalam kutipan tadi.
Kolonial modern Firaun Indonesia mendiduki dan menindas rakyat dan bangsa West Papua secara konstitusional, sistematis, terstruktur, masif dan kolektif disemangati watak rasisme, fasisme dan militerisme. Ini perilaku ketidakadilan yang kejam dan tidak menghormati martabat kemanusiaan orang asli Papua. Ini kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM yang tidak boleh dibiarkan.
Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation kepada Suara Papua.com mengatakan: “Pemerintah Indonesia selayaknya menuntaskan kebijakan kemanusiaan seperti pemulihan korban-korban, pemberdayaan masyarakat adat, rehabilitasi lingkungan hidup, penegakan hukum dan perencanaan pembangunan.
Ini yang seharusnya dilakukan, bukan sebaliknya mengirim militer dan mesin bor gali tambang emas.”
Haris menegaskan: “Pemerintah Indonesia semakin mengabaikan kebijakan kemanusiaan berbasis hak asasi manusia (HAM), eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan stigma buruk di Papua, tetapi sebaliknya gencar melakukan pengiriman militer serta mesin bor untuk menggali tambang emas di Papua.”Suarapapua.com, Senin (30/11/2020).
Pada 1 Mei 1963 penjajah Indonesia menjarah dan merampok barang-barang di rumah-rumah dan membakar buku-buku sejarah dan dokumen-dokumen. Setelah 58 tahun dalam tahun 2021 bangsa kolonial Indonesia masih menjadi penjarah dan perampok dengan mengirim pasukan TNI dengan MESIN BOR untuk menggali atau menjarah emas di Papua.
Proses PEMISKINAN orang asli Papua dilakukan oleh TNI juga terbukti dengan TNI menguasai gedung-gedung sekolah. Contoh terbaru di tahun 2020 seperti dilaporkan Tim Kemanusiaan Provinsi Papua Untuk Kasus Kekerasan Terhadap Tokoh Agama Di Kabupaten Intan Jaya, tertanggal 1 November 2020, seperti dikutip di bawah ini.
“Tentara menduduki Sekolah SD YPPGI dan SMP Satu Atap di Hitadipa. Sekolah tersebut yang kemudian dijadikan sebagai makar Koramil di Hitadipa hingga saat ini yang mengakibatkan ketakutan para guru dan anak-anak sekolah.”
“Anggota TNI juga ke kampung Taunduga langsung Bakar Bangungan Gedung Kesehatan dan Rumah Dinas Tenaga Kesehatan…”.
Indonesia menghadapi dan menindas orang asli Papua dengan ketidakadilan, rasisme, fasisme dan militerisme. Kekuatan-kekuatan ini dengan nyata menjadi mesin pembunuh, pemusnah dan pemiskinan orang asli Papua secara konstitusional, sistematis, terstruktur, masif dan kolektif.
Ternyata proses pemiskinan yang dilakukan negara dengan sistematis selama ini semakin disadari dan dimengerti oleh orang-orang terpelajar Papua yang nuraninya belum dicemarkan dengan ideologi kolonial Indonesia.
Dalam kata pengantar buku berjudul: “Indonesia Memiskinkan Bangsa Papua” karya Ruben Benyamin W. Gwijangge (2014), Ibu Pendeta Leonora (Dora) Balubun dengan tepat menarasikan sebagai berikut:
“Atas nama pembangunan, perkebunan, pertambangan, berbagai sarana penunjang pemerintah terus dibangun termasuk Ruko-Ruko yang tersebar di kota-kota, yang ternyata bukan hanya orang asli Papua yang kehilangan hak atas tanah adatnya, tetapi juga terpinggirkan dari berbagai kebijakan yang dibuat, dan tidak dilibatkan dalam berbagai keputusan kebijakan itu.”(2014:3).
Dhanddy Dwi Laksono dalam Ekspedisi Indonesia Biru dengan artikel bertopik: ‘KEMISKINAN’ & NIAT BAIK DI PAPUA’ membenarkan proses pemiskinan yang dilakukan Negara selama ini.
“Tanpa terasa, niat baik telah berubah menjadi rencana sistematis pemiskinan. Tanpa hutan, mereka yang tadinya mudah mencari kayu bakar, dipaksa membeli minyak tanah atau gas, meski kompornya gratis dari hibah. Tanpa kayu ‘bus’ atau rumbia, mereka yang semula bisa membangun rumah dengan bahan alami, dipaksa berhutang semen dan seng ke toko bangunan milik pendatang.”
“Tanpa dusun sagu, mereka yang semula tinggal menebang dan mengolah, harus membeli beras atau antre raskin. Dan tanpa sumber air alami, yang tadinya air gratis tinggal minum (tanpa perlu BBM untuk memasaknya), kini perlu membeli air kemasan atau tergantung pada PDAM yang kualitasnya tak layak konsumsi.”
“Pendek kata, semua hal yang tadinya gratis, kini harus dibeli. Karena harus membeli, maka harus punya uang. Karena tak boleh mencetak uang sendiri, maka harus masuk dalam sistem ekonomi ‘modern’ dan bekerja sebagai buruh tambang atau perkebunan. Yang punya tanah luas bisa hidup dari uang sewa atau ikut skema inti-plasma dan bagi hasil 80:20 atau 70:30 yang ditentukan investor kelapa sawit atau sawah tekno, tanpa kemampuan atau akses pada akuntansi perusahaan atau tax planning korporasi.”
Pastor Frans Lieshout,OFM dalam buku: Gembala dan Guru Bagi Papua memberikan nasihat kepada seluruh rakyat dan bangsa West Papua, sebagai berikut:
“Ingat, masa depan itu tidak akan dihadiahkan, perlu diperjuangkan, dengan keberanian.” (2020: hal.399).
Selamat merenungkan. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 17 Maret 2021
Penulis:
- Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP).
- Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
- Amggota: Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
- Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Para pembaca yang terhormat. Kalau ada dokumen-dokumen tahun 1960-an, tolong share ke Kontak Person: 08124888458 untuk penguatan tulisan2 seperti ini. Waa…waa…waa…