Artikel Dalam Rangka Hari HAM 10 Desember 2021
BAYANG-BAYANG RESOLUSI PBB TENTANG PAPUA DAN EMBARGO EKOMOMI UNTUK INDONESIA
Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman,MA
Kita mengetahui bersama, 84 Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah meminta dan mendesak pemerintah Indonesia untuk membuka akses dan mengijinkan Pelapor Khusus Hak Asasi Manusia PBB berkunjung ke Papua untuk melihat dan mendengar informasi dari rakyat dan bangsa Papua.
Desakan yang sama juga datang dari berbagai kelompok yang peduli tentang situasi krisis kemanusiaan akibat operasi militer Indonesia yang sedang berlangsung di Papua. Desakan ini sejalan dengan janji Presiden Republik Indonesia, bapak Ir. Joko Widodo kepada Ketua Dewan HAM PBP pada Februari 2018.
Yang menjadi alasan penolakan Indonesia dan belum ijinkan Komisi HAM PBB berkunjung ke Papua ialah masalah Covid 19. Ternyata, untuk pelaksanaan PON XX dari tanggal 2-15 Oktober 2021 yang melibatkan ribuan orang tidak dihambat oleh penyakit Covid 19 dan juga pengiriman pasukan TNI dan operasi militer terus berjalan di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Maybrat-Sorong, Distrik Kiwirok-Pegunungan Bintang.
Kalau Pemerintah Indonesia tidak mendengarkan desakan 84 Negara untuk Komisi HAM PBB berkunjung ke Papua Barat, maka tidak menutup peluang akan terjadi tiga kemungkinan yang dilakukan PBB, yaitu:
1. Resolusi PBB akan didorong atau diajukan oleh 84 Negara untuk persoalan Papua dibahas di PBB;
- Indonesia akan diberikan Embargo ekonomi dan juga Embargo militer;
3. Indonesia akan diisolasi oleh komunitas internasional karena Indonesia dianggap pelaku pelanggaran berat HAM yang berbasis diskriminasi rasial.
Apabila tiga kemungkinan ini salah satunya terjadi, maka anggaran cost politik meningkat dan akan menjadi beban rakyat Indonesia dan Indonesia bisa saja menjadi negara bangkrut dan negara gagal dalam era modern ini. Artinya negara akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit sebagai cost politik untuk menyuap para diplomat di PBB supaya tidak mendukung resolusi.
Walaupun Indonesia punya dana banyak untuk menutup mulut para diplomat, tapi tantangan juga bisa datang dari Negara-Negara kulit hitam yang menjadi korban RASISME dengan Semboyan:
BLACK LIVES MATTER; WEST PAPUA LIVES MATTER; HUMAN BEING LIVES MATTER; HUMAN DIGNITY LIVES MATTER; EQUALITY LIVES MATTER.
Kalau Indonesia tidak ijinkan utusan Komisi HAM PBB, maka pertanyaan komunitas global kepada Indonesia sebagai berikut:
What is Indonesia hiding inside in West Papua? (Apa yang disembunyikan Indonesia di Papua?)
Jawaban pertanyaan ini ialah Indonesia terus berbohong kepada komunitas global dan di Forum resmi PBB tentang kejahatan penguasa Indonesia yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua selama 58 sejak 1 Mei 1963 ini telah menjadi LUKA BOROK yang MEMBUSUK DAN BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Apakah penguasa Indonesia, TNI dan Polri masih tetap memelihara, merawat, menjaga dan mempertahankan serta menutupi/menyembunyikan LUKA BOROK yang MEMBUSUK DAN BERNANAH ini?
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan tepat mengatakan:
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Penyebab LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
“Miminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”
“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”
“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”
Apabila penguasa Indonesia tetap telinga tuli, buta mata, dan masih sibuk dengan slogan NKRI harga wafat (mati), maka konsekwensinya sebagai berikut:
BAYANG-BAYANG RESOLUSI PBB TENTANG PAPUA DAN EMBARGO EKOMOMI TETAP MENJADI HANTU YANG MENAKUTKAN UNTUK INDONESIA.
Akhir dari artikel ini, saya Mengucapkan:
SELAMAT MERAYAKAN/MEMPERINGATI HARI HAM INTERNASIONAL PADA 10 DESEMBER 2021.
Dunia ini bukan hanya milik Indonesia, dunia ini milik bangsa Papua dan milik semua bangsa-bangsa yang ada di bumi ini. Indonesia sedang diisolasi dengan kebohongannya, kejahatan yang berbasis rasisme.
Doa dan harapan saya, tulisan ini membuka wawasan para pembaca. Selamat mengecap dan menikmati tulisan ini.
Ita Wakhu Purom, Jumat, 10 Desember 2021
Penulis:
- Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
- Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
- Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
- Aliansi Baptis Dunia (BWA).