SEKALI DAYUNG, TIGA TERJANGKAU
BERTEMU SEKALI DAN LANGSUNG AKRAB. MEREKA JUGA BUKAN ORANG BIASA. INTELEKTUAL PAPUA DENGAN KAPASITAS KEILMUAN TERUKUR
Buku karya mereka tentang Papua dan dinamika yang menyertainya banyak dijumpai tak hanya di tanah Papua. Tokoh Gereja dan awam yang menaruh cinta pada buku yang mencerahkan masyarakat, terutama orang asli Papua.
Salah satunya, Pendeta Dr Beny Giyai. Lalu ada Pendeta Dr Socratez Yoman dan Markus Haluk. Bertemunya di luar dugaan. Belasan tahun lalu pula. Itu pun atas ajakan Dr Antie Solaiman dari Pusat Studi Papua Universitas Kristen Indonesia (UKI) di kampus Cililitan, Cawang, Jakarta. Pusat Studi Papua bersama mahasiswa asal Papua yang tengah kuliah menggelar diskusi soal Papua. “Kalau ada waktu, bisa hadir berbagi pengalaman dengan adik-adik mahasiswa asal Papua,” kata Dr Antie Solaiman, dosen yang setia mendampingi mahasiswa asal Papua yang tengah studi di kampus itu.
Antie tak menyebut tiga nama di atas. Tapi saya memutuskan hadir karena topik diskusi soal Papua. Apalagi, peserta diskusi adalah anak-anak asli Papua yang tengah menimba ilmu di berbagai fakultas di UKI. Sejak di Kupang, nama Irian Jaya selalu menggoda. Bayangan saya, orang-orangnya ramah. Seperti Simeon Solo de Ona, guru tua di Fakfak dari kampung saya. “Ko pegang tangan dengan tete dulu. Ini bapa tuan pu kaka dorang,” kata Simeon Solo kepada dua putranya saat libur di kampung. Guru Simeon menyuruh anaknya salaman dengan ayah saya dan adiknya. Simeon memutuskan tinggal dan mengabdi sebagai guru hingga pensiun di Fakfak. “Masyarakat dorang bilang, pa guru tara boleh pulang Timor. Di Fakfak ada honai jadi tara usa pulang Timor,” kata Simeon Solo saat berdua ngobrol di Jakarta. Lembata dipukul rata namanya sebagai Timor, tanah asal guru Simeon meski Lembata dan Timor itu dua pulau terpaut jauh.
Entah mengapa, Papua merebut hati saya. Sekali-kali membaca perjalanan Irian Jaya sejak integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Papua tak sekadar rumit dalam sejarah perjalanan pelayanan pembangunan akibat wilayah yang satu dengan lainnya terjepit di antara gunung dan lembah, hutan perawan mempesona, ngarai yang berseliweran. Papua juga menyimpan pesona alam yang menggoda para pelancong dunia mengakrabinya. Pun sumber daya alam melimpah hingga membuat Freeport McMoran Copper Inc, raksasa tambang dunia melebarkan sayap usahanya di lereng Nemangkawi, tanah ulayat suku Amungme dan Komoro.
Papua dalam jejak literasi? Inilah tiga sosok yang saya kira tak akan abai di kalangan masyarakat Bumi Cenderawasih. Beny Giyai sudah lama saya baca namanya. Seorang tokoh Gereja lokal yang banyak menyumbang karya-karya bernasnya. Pun gembala Socratez Yoman. Nama Socratez beberapa kali saya baca di media. Ia seorang penulis berkelas. “Saya kasih anak buku saya. Judulnya, ‘Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat’. Tapi buku itu pernah dilarang terbit. Setiba di Jayapura, saya kirim anak,” katanya kepada saya usai ngobrol santai usai diskusi. Benar. Tak lama buku itu di tangan saya. Baca bolak balik lalu hasilnya saya resensi di Harian Koran Jakarta.
Markus Haluk senang. Katanya, banyak orang di luar Papua care dengan Papua. Saya cuma beralasan, saya suka lagu ‘Aku Papua’ dari suara adik-adik mahasiswa asal Papua di awal diskusi soal Papua di UKI Cawang. Juga lagu-lagu dari grup musik legendaris Mambesak (https://youtu.be/Hzesbr7ofR4 ). Mengikuti perkembangan Papua tak sesering juga. Cuma suka saja. Saat membantu rekan Diaz Gwijangge, anggota DPR RI asal Kabupaten Nduga, kisah tentang Papua dan pesona alamnya kian menggoda. “Kalau pernah mendengar Taman Nasional Lorentz di Papua, di situlah tempat ari-ari saya ditanam,” kata Diaz saat kami ngobrol santai di Gelanggang Olahraga Jatidiri Semarang sebelum saya diajak membantunya di DPR RI. Dari Diaz, saya punya kesempatan berinteraksi dengan sejumlah intelektual dan tokoh lokal Papua.
Perjumpaan sebagai sesama anak bangsa dari timur Indonesia kian terbuka. Lewat Diaz pula saya mengenal baik Lukas Enembe, Bupati Puncak yang kala itu dipercaya memimpin Partai Demokrat Papua. Dari Lukas pula saya mengenal Carolus Boly, sahabat Lukas saat kuliah di Manado, Sulawesi Utara. Perjalanan waktu mempertemukan saya dengan banyak putra-puteri Papua. Sesuatu yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dari mereka, saya banyak belajar tentang kejujuran dan perjuangan. Orang Papua di mata saya adalah tipikal pekerja keras. Gereja melalui para gembala menanamkan semangat itu sejak melayani umat di tanah Papua.
Banyak penulis hebat sekelas Beny Giyai, Socratez, Markus Haluk, Pastor Dr Neles Tebai dan lain-lain lahir dari tanah Melanesia itu. “Saya kasi dua buku karya saya untuk adik. ‘Mati atau Hidup: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua’ dan ‘Menggugat Freeport: Suatu Jalan Penyelesaian Konflik’. Silahkan miliki dan baca lalu lihat Papua dengan mata hati,” kata Markus Haluk kepada saya. Markus adalah lulusan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur. Kecintaan pada buku tentang Papua membawa berkah berlimpah. Malam ini gembala Socratez Yoman menģgandakan kebahagiaan saya. Tiga buku karyanya, ‘Melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua’; ‘Jejak Kekerasan Negara dan Militerisme di Tanah Papua’; dan ‘Kami Bukan Bangsa Teroris’ ada di tangan saya setelah melewati langit nun di timur hingga Mama Kota. “Saya juga mencerahkan umat dengan buku,” kata Socratez. Hormat dibri, bapa gembala. Buku sudah saya terima. Tuhan berkati. Wa wa wa……..
Jakarta, 8 Maret 2022
Ansel Deri_Orang udik dari kampung; Pernah ke Jayapura & Timika