Refleksi Teologi Pembebasan dalam Hari Kenaikan Yesus, Kamis, 26 Mei 2022
GEREJA-GEREJA DI TANAH PAPUA MENGHADAPI KEKUASAAN PEMERINTAH INDONESIA YANG RASIS, FASIS, OTORITER, TOTALITER DAN MILITERISTIK SELAMA 61 TAHUN SEJAK 19 DESEMBER 1961
“Sikap dan perilaku beberapa hamba Tuhan, Gembala dan pendeta dalam menafsirkan isi Kitab Suci, Alkitab atau Firman TUHAN memperkuat dan melegitimasi pendudukan dan kolonialisme Indonesia di Tanah Papua dan juga memperpanjang penderitaan orang asli Papua. Terkesan, hamba-hambaTuhan, gembala dan pendeta sepertinya turut memelihara kekerasan Negara dan tragedi kemanusiaan di Tanah Papua.”
Oleh Gembala DR. A.G. Socratez Yoman
Di bumi ini, ada dua institusi resmi yang didirikan oleh TUHAN, yaitu Keluarga dan Gereja. Kitab Suci, Firman TUHAN mengajarkan kepada kita semua.
Keluarga itu didirikan dengan karya Allah sendiri dengan kedaulatan dan kekuasaan-Nya.
“Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia: laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:27).
Lebih lanjut, TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (ay.8).
Para pembaca juga perlu belajar, tahu, sadar dan mengerti bahwa Gereja didirikan oleh TUHAN Yesus di atas batu karang yang teguh dan alam maut tidak akan menguasainya. Termasuk penguasa kolonial modern Indonesia tidak dapat meruntuhkan Gereja TUHAN.
TUHAN Yesus berkata kepada Simon Petrus:
“…Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Matius 16:18-19).
Sementara pemerintah dunia ini, termasuk Indonesia didirikan oleh manusia dengan berbagai bentuk undang-undang, kesepakatan atau konsensus bersama dengan kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa dan negara.
Fakta hari ini, di depan kita, di setiap mimbar Kristen, beberapa orang gembala dan pendeta (tidak semua gembala dan pendeta) dengan gemilang dan berapi-api berkhotbah untuk mempertahankan kekuasaan Indonesia di Tanah Papua, bukan Firman TUHAN yang sebenarnya untuk menegur para penguasa yang menindas orang asli Papua atas nama keamanan nasional.
Contohnya: Dari mimbar-mimbar suci dan kudus, beberapa gembala dan pendeta menyampaikan: NKRI harga mati, Otonomi Khusus berkat TUHAN, Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) berkat dari TUHAN dan kesempatan untuk mensejahterakan rakyat Papua.
Sikap beberapa gembala dan pendeta ini paradoks atau sangat berseberangan dengan prinsip Firman TUHAN dan fakta di lapangan yang disuarakan oleh umat Tuhan yang disebut Gereja itu sesungguhnya.
Di depan wajah,mata dan hidung mereka, hampir 82% sampai 90% rakyat Papua menolak hasil Pepera 1969; Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 dan Otsus Nomor 2 Tahun 2021 dan Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB).
Beberapa gembala dan pendeta menjadi juru bicara kejahatan Negara dan kaki-tangan penguasa di Tanah Papua dan memperkuat dan melegitimasi kekuasaan pemerintah Indonesia yang rasis, fasis, otoriter, totaliter, militeristik, kolonialis, kapitalis yang melakukan pelanggaran berat HAM, pemusnahan etnis, ketidakadilan, dan marginalisasi (peminggiran) orang asli Papua dari Tanah leluhur mereka.
Beberapa gembala dan pendeta ini secara sempit dan kerdil menterjemahkan Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma. Beberapa genbala dan pendeta tidak menafsirkan konteks isi Surat Rasul Paulus, dan mereka mengadopsi secara mentah dan utuh digunakan dari mimbar suci di depan Gereja Tuhan (umat TUHAN). Gembala dan pendeta menaruh beban berat dalam kehidupan Gereja TUHAN dari waktu ke waktu dan bukan membebaskan Gereja Tuhan dari belenggu dan beban penjajahan dari kuasa Iblis dan juga kuasa penguasa kolonial Indonesia yang rasis, fasis, otoriter, totaliter dan militeristik.
Ayat pegangan dan kekuatan bagi beberapa orang gembala dan pendeta secara sempit dan kerdil bersama penguasa pemerintah Indonesia berpegang teguh pada Rasul Papua ke jemaat di Roma ini.
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya. ….Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu.” (Roma 13:1-7).
Beberapa gembala dan pendeta sangat mengabaikan penugasan dari Gembala Agung, Yesus Kristus kepada para gembala dan pendeta untuk menggembalakan Gereja Tuhan.
Tuhan Yesus bertanya kepada Simon Petrus, dan pertanyaan itu juga masih relevan untuk para gembala dan pendeta dan pastor. Apakah gembala, pendeta dan pastor saat ini.
Tuhan Yesus berkata kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepada Simon Petrus: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-19).
Ada bagian lain yang sering diabaikan dan dilupakan tentang perkataan Yesus Kristus dan itu sering dijadikan Tema Natal Nasional untuk menutupi kejahatan Negara.
“Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10).
Perkataan Yesus menunjuk kepada Iblis sebagai pencuri, pembunuh dan pembinasa umat Tuhan. Dalam realitas hari ini, penguasa kolonial modern Indonesia tampil dalam wujud pencuri, pembunuh, pembinasa, perampok, penjarah, prmbohong dengan watak brutal, kriminal dan barbar selama 61 tahun sejak 19 Desember 1961.
Dalam keadaan seperti ini, para gembala, pendeta dan pastor serta warga Gereja diminta supaya menjadi seperti garam dan terang dunia.
Tuhan Yesus berkata: “Kamu adalah garam dunia. Kamu adalah terang dunia. ….hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:13-16).
Rasul Paulus juga mengajarkan kepada kita semua, supaya kita semua bercahaya seperti bintang-bintang dalam menegakkan kebenaran, memperjuangkan keadilan demi perdamaian dan harmoni dalam semangat solidaritas dengan menghormati martabat manusia.
“Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya seperti bintang-bintang di dunia” (Filipi 2:14-15).
Gereja-gereja di Papua harus menjadi seperti garam dunia dan terang dunia serta bercahaya seperti bintang-bintang di Papua ini. Karena persoalan tragedi kemanusiaan akibat kejahatan dan kekerasan Negara selama 61 tahun telah menjadi seperti LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Para gembala dan gembala di Tanah Papua perlu belajar dari Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno yang benar menjadi mata Tuhan dan wajah Tuhan dan telinga Tuhan serta lidah Tuhan.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).
Dan Pastor Frans Lieshout, OFM juga menjadi mata Tuhan, wajah Tuhan, lidah Tuhan dan tangan Tuhan.
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Penyebab LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI: sekarang: BRIN), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; (2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; (3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; (4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Jadi, gereja harus menjadi penjaga, pemelihara, penggembala, pelindung rakyat kecil yang sedang dan terus memperjuangkan hak hidup, hak atas tanah, hak politik, martabat kemanusiaan mereka, hak untuk masa depan yang lebih damai dan bermartabat. Gereja harus hadir di tengah-tengah rakyat yang menangis dan terbaikan atau tersingkirkan.
Dengan tepat, Uskup Diosis Dili, Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB pada saat menjadi gembala rakyat Timor Leste ( dulu: Timor Timur) pernah menyatakan imannya sebagai berikut:
“….dalam realita kalau sudah menyangkut pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person. Karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional.” (Sumber: Voice of the Voiceless: 1997:127).
Gereja-gereja di Tanah Papua, para gembala, pendeta dan pastor harus berdiri dan bersuara untuk orang asli Papua yang sedang memperjuangkan keadilan, hak politik untuk masa depan yang adil dan damai di atas TAANAH leluhur mereka.
Orang asli Papua adalah manusia dan gambar Allah, bukan monyet, bukan separatis, bukan makar, bukan kkb, bukan teroris. Orang asli Papua diciptakan oleh Tuhan.
Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa” (Kejadian 1:27).
Ada apa dalam Gereja, hamba Tuhan, gembala dan pendeta dan pastor? Mengapa penderitaan orang asli Papua berjalan telanjang di depan mimbar-mimbar gereja? Mengapa penderitaan, tetesan darah dan cucuran air mata orang asli Papua dari waktu ke waktu terus meningkat?
Khotbah-khotbah Kelahiran Yesus, yaitu Natal, Kematian Yesus, Kebangkitan Yesus, dan Kenaikan Yesus di mimbar-mimbar suci dari waktu ke wakt, tapi khotbah-khotbah itu belum menyelesaikan masalah kemanusiaan di Tanah Papua. Injil apa yang disampaikan di mimbar-mimbar suci di Tanah Papua?
Doa dan harapan saya, refleksi ini menjadi bagi para pembaca.
Ita Wakhu Purom, Kamis, 26 Mei 2022.
Penghkotbah:
- Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
- Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
- Anggota: Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
- Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Kontak person: 08124888458