Artikel Mobilisasi Komunitas Global
INDONESIA SEDANG & AKAN DIHAKIMI KOMUNITAS INTERNASIONAL TENTANG RASISME, MILITERISME, KETIDAKADILAN, PELANGGARAN BERAT HAM DAN KOLONIALISNE TERHADAP RAKYAT & BANGSA PAPUA
“85 Negara anggota PBB terdiri dari 79 Negara anggota ACP, termasuk pemerintah Inggris, Belanda, Spanyol, Australia, Selandia Baru, Polandia mendesak pemerintah Indonesia membuka akses untuk kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Barat.”
Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (Prof. Dr. Franz Magnis).
Dunia ini sudah seperti sebuah desa kecil. Tidak ada ruang dan kolong untuk Indonesia bersembunyi muka dengan mitos-mitos, stigma-stigma dan label-label primitif dan kuno yang sudah tidak relevan, seperti: separatis, makar, OPM, KKB dan Teroris.
Untuk menghindari dari perilaku rasisme, militerisme, kolonialisme, kapitalisme, ketidakadilan, dan pelanggaran berat HAM terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat, pemerintah kolonial Indonesia melarang media-media internasional dan para diplomat asing dan Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) masuk ke Papua Barat. Larangan ini menimbulkan banyak pertanyaan dari berbagai pihak di dalam dan luar Negeri.
Mengapa pemerintah Indonesia menutup akses komunitas internasional masuk ke Papua Barat? Pemerintah Indonesia menyembunyikan apa di Papua Barat? Bagaimana akibat operasi militer di Nduga, Intan Jaya dan Puncak? Bagaimana nasib masyarakat yang sedang mengungsi? Bagaimana kesehatan mereka? Bagaimana jaminan makanan untuk mereka? Bagaimana nasib masa depan anak-anak yang putus sekolah di wilayah operasi militer ini?
Pertanyaan ini belum diberikan jawaban oleh penguasa kolonial Indonesia yang menduduki, menjajah dan menindas rakyat dan bangsa Papua Barat. Proses pemusnahan etnis orang asli Papua dilakukan oleh Negara secara sistematis, terstruktur, masif dan kolektif sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini. Ada kekerasan dan kejahatan Negara yang sedang dipelihara di Papua dengan stigma dan label: separatis, makar, kkb, opm dan teroris. Stigma dan label ini hanya topeng untuk menyembunyikan akar konflik Papua yang sebenarnya, yaitu: Rasisme, Militerisme, Ketidakadilan, Pelanggaran berat HAM, Kapitalisme dan Kolonialisme.
Bagian dari larangan-larangan ini, diplomat pemerintah Indonesia juga tidak bersedia hadir dalam pertemuan yang dimediasi perwakilan Ambassador 79 Negara anggota ACP di Brussel, Belgia untuk diminta penjelasan tentang situasi pelanggaran berat HAM terkini di Papua Barat.
Perwakilan Ambassador 79 Negara anggota ACP mengundang perwakilan dari Komisi Tinggi HAM PBB, Indonesia dan Pemerintahan Sementara Papua Barat yang dikepalai oleh Benny Wenda, Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
ACP singkatan dari Africa, Carabia, Pacific (Perhimpunan Negara-Negara Afika, Karabia, Pasifik) yang terdiri dari 79 Negara yang mendukung ULMWP untuk penyelesaian pelanggaran berat HAM dan proses perjuangan hak penentuan nasib sendiri ( right to self determination) rakyat dan bangsa Papua Barat. Pertemuan ini dilaksanakan pada 7 Mei 2021 dan dihadiri perwakilan PBB, Indonesia dan 79 Negara anggota ACP dan ULMWP.
Pemerintah Indonesia tidak menghadiri dalam pertemuan ini karena Benny Wenda Ketua ULMWP dan Presiden Sementara juga diundang dan hadir dalam pertemuan ini.
Dalam pertemuan ini Benny Wenda Ketua ULMWP dan Presiden Sementara Papua Barat memberikan penjelasan tentang situasi pelanggaran berat HAM terkini akibat operasi militer di Papua Barat. Komisi Tinggi HAM PBB juga memberikan penjelasan tentang belum ada ijin dari pemerintah Indonesia untuk PBB berkunjung ke Papua Barat.
Pemerintah Indonesia sedang mengabaikan permintaan dan desakan dari 85 Negara anggota PBB untuk Komisi Tinggi HAM PBB segera berkunjung ke Papua Barat. Jumlah 85 Negara anggota PBB terdiri dari 79 Negara anggota ACP, dan pemerintah Inggris, Belanda, Spanyol, Australia, New Zealand, dan Polandia.
Walaupun Mahfud MD Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia menghibur diri dengan mengatakan: (1) Benny Wenda membentuk pemerintah atau negara ilusi. (2) Hampir 95% rakyat Papua mendukung Indonesia. (3) Di luar negeri tidak ada yang berbicara dan mendukung Papua merdeka, hanya Vanuatu saja, tapi Vanuatu berbicara tentang penyelesaian pelanggaran HAM. (4) Rakyat Papua senang dengan perpanjangan Otsus yang disahkan DRPRI pada 15 Juli 2021.
Pernyataan Mahfud MD ini tidak didukung fakta dan bertolak belakang atau kontraproduktif dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia Ibu Retno Marzudi. Mahfud MD membuat banyak mitos dan hoax yang membuat rakyat bingung dan tertipu tentang perkembangan perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat di level internasional.
Ibu Retno Marzudi dengan jujur menyatakan:
“Kami sudah kewalahan menghadapi teman-teman dari Papua. Mereka ada di mana-mana, ada di Pasifik, ada di Afrika, ada di Eropa, ada di Amerika dan ada di PBB. Mereka menggunakan narasi-narasi diplomasi yang seperti kita gunakan. Mereka semua generasi muda.”
Pernyataan Mahfud MD juga bertolak belakang dengan Petisi Rakyat Papua (PRP), 714.000 tanda tangan menolak Otonomi Khusus Papua. Jadi, pertanyaannya yang mendukung Indonesia 95% dan senang dengan perpanjangan Otonomi Khusus itu rakyat darimana?
Menurut Mahfud MD, Pemerintahan Sementara Papua Barat yang dideklarasikan oleh Benny Wenda, Ketua ULMWP pada 1 Desember 2020, itu hanya pemerintahan atau Negara ilusi. Tetapi, realitas perkembangan media-media internasional belakangan ini dengan konsisten dan terus mengutip serta mempromosikan “inherin atau waiting government” dan Benny Wenda ditempatkan sebagai tokoh sentral perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat yang melawan pendudukan dan penjajahan Indonesia atas Tanah Papua Barat.
Konsekwensi atau akibat kecerobohan penguasa kolonial Indonesia selalu menggampangkan persoalan kemanusiaan dan akar konflik Papua yang kronis ini dengan cara melarang dan menutup akses wartawan dan diplomat asing serta Komisi Tinggi HAM PBB masuk ke Papua Barat, maka Benny Wenda sebagai Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat dan juga Ketua ULMWP menjadi sumber utama dan penting bagi media asing, diplomat asing dan juga Parlemen Internasional yang mendukung Papua Barat. Benny Wenda sebagai Ketua ULMWP tentu mendapat laporan-laporan terpercaya dan kredibel dari lapangan di Papua Barat.
Mahfud MD selalu membantah dengan mengatakan bahwa pernyataan Benny Wenda itu hoax dan sumber informasi yang tidak jelas. Tetapi, Benny Wenda didengar dan dihormati sebagai pemimpin rakyat dan bangsa Papua Barat. Pernyataan-pernyataannya mendapat tempat di media-media internasional. Media-media internasional juga percaya kredibilitas informasi terpercaya dan pernyataan Benny Wenda, Ketua ULMWP. Benny Wenda sebagai Presiden Sementara duduk setara dengan bangsa-bangsa merdeka, terutama 79 Negara anggota ACP. Ini fakta dan pemerintah Indonesia tidak bisa membantah dan menyangkal tentang perkembangan ini.
Penulis menyebut dua contoh media asing dari semua media yang menulis tentang persoalan kemanusiaan, ketidakadilan, rasisme dan pelanggaran HAM berat, kebebasan dan penyembutan Presiden Pemerintahan Sementara Benny Wenda, Ketua ULMWP.
Pada 6 Mei 2021, dalam Global Magazine, Klas Lundstrom menulis: “Benny Wenda, West Papua Provisional President based in London, says West Papua hasn’t been so close to total warfare since the 1970s.” (https://tidningenglobal.se).
Terjemahan bebas: ” Benny Wenda, Presiden Sementara Papua Barat yang berbasis di London, mengatakan Papua Barat belum begitu dekat dengan peperangan total sejak tahun 1970-an.”
Lebih jauh Klas menulis: “Presiden sementara Papua Barat Benny Wenda baru-baru ini mengangkat pelanggaran hak asasi manusia yang tidak diselidiki di Indonesia di sebuah acara di Parlemen Inggris. ULMWP telah memperoleh dukungan untuk kemerdekaan Papua Barat dari beberapa anggota Parlemen Eropa dan sejumlah pemimpin politik di Melanesia. Namun, perbaikan mengenai situasi hak asasi manusia tetap tidak mungkin kecuali komunitas internasional menjadi lebih terlibat.”
Sementara Asia Pacific Report Newsdesk pada 28 Maret 2021 mengutip pernyataan Benny Wenda, sebagai berikut:
“The exiled inherin President of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP): In reality, Indonesia is a terrorist state that has mass violance against my people for nearly six decades.”
Terjemahannya: “Presiden United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang diasingkan: Pada kenyataannya, Indonesia adalah negara teroris yang melakukan kekerasan massal terhadap rakyat saya selama hampir enam dekade.”
Ada pengakuan dan dukungan media-media Internasional bahwa Benny Wenda sebagai “West Papua Provisional Presiden dan Inherin President.” Sementara Mahfud MD menghibur diri dengan slogan “negara atau pemerintahan ilusi.”
Jhonny Blades, wartawan senior Radio New Zealand Internasional dengan konsisten menulis pada Media Internasional Pacific News pada 15 Juli 2021 tentang penangkapan para demonstran yang melakukan penolakan terhadap Undang-undang kelanjutan Otonomi Khusus Papua yang kontroversial yang dibahas dan disahkan oleh DPR RI pada 15 Agustus 2021.
Jhonny Blades dalam laporannya berjudul: ‘Indonesian Lawmakers Pass Controversial Bill to Reshape West Papua’, mengatakan: Walaupun penolakan secara luas dari rakyat Papua tentang undang-undang perpanjangan Otsus dari mahasiswa, pemimpin adat, pemimpin gereja dan menuntut kemerdekaan Papua Barat, undang-undang kelanjutan Otsus dengan kontroversial disahkan oleh DPR RI.”
Pada 15 Juli 2021 juga dimuat dengan judul: Indonesian police crack down on West Papua demos. Pada 20 Juli 2021 dimuat dengan topik: Constitutional Challenge Against West Papua Law. Pada 20 Juli 2021 juga dilaporkan dengan topik: Papuans Challenge Constitutionality of Jakarta’s new Special Autonomy.
Benarlah apa yang dikatakan seorang penulis berkebangsaan New Zealand, Philip Temple pada 19 Juli 2021 pada Media Pacific dengan judul: NZ Explorer And Author Laments Plight of West Papua: “Apa yang terjadi di wilayah ini (West Papua) ialah contoh kolonial modern.”
Sementara Maire Leadbeater dalam bukunya berjudul: “SEE NO EVIL-New Zealand’s betrayal of the people of West Papua”, mengabadikan:
“The limited access granted to foreign journalists has had a prenicious impact. When New Zealanders learn about the West Papua conflict for the first time they almost always ask: ‘Why did we not know about this before?’ (2018:233).
Terjemahan bebas: “Keterbatasan akses yang diberikan kepada jurnalis asing berdampak sangat besar. Ketika orang Selandia Baru belajar tentang konflik Papua Barat untuk pertama kalinya, mereka hampir selalu bertanya: ‘Mengapa kita tidak tahu tentang ini sebelumnya?’ (2018:233).
Lebih lanjut Maire bertanya: “The obvious question for the Indonesian authorities is what are they trying to hide?”
Terjemahannya: “Pertanyaan yang jelas bagi pihak berwenang Indonesia adalah apa yang mereka coba sembunyikan?”
Sedangkan Febriana Firdaus dalam artikel tertanggal 23 Juli 2021 yang bertopik: “GERAKAN ‘BLACK LIVES MATTER’ MENGINSPIRASI PERJUANGAN PEMBEBASAN WEST PAPUA”, menyatakan: “Masyarakat Papua Barat telah menderita akibat penindasan dan diskriminasi selama puluhan tahun di tangan negara Indonesia.”
Akhir dari artikel ini penulis menyimpulkan keadaan Papua sejak 1 Mei 1963 merupakan Status Quo dan Quo vadis Papua. Karena itu dukungan komunitas internasional merupakan kebutuhan sangat mendesak dan relevan dalam misi kemanusiaan, keadilan, kesetaraan martabat kemanusiaan demi perdamaian permanen di Papua. Dukungan komunitas global sangat mendesak dan relevan juga karena watak diskriminasi rasial, kriminal, kejam, dan babar serta tidak manusiawi bangsa Indonesia terhadap orang asli Papua sejak 1 Mei 1963 tidak pernah berubah dan tetap Status Quo dan Quo Vadis Papua.
Status Quo artinya keadaan Papua sejak 1 Mei 1963 itu belum pernah berubah dan keadaan tetap sama walaupun sudah 58 tahun.
Sedangkan “Quo Vadis Papua” artinya arah dan tujuan pembangunan Papua dari penguasa kolonial Indonesia sejak 1 Mei 1963 tidak jelas atau sepertinya kehilangan arah. Rakyat dan bangsa Papua tidak ada harapan masa depan di dalam pendudukan dan penjajahan Indonesia.
Karena Status Quo dan Quo Vadis Papua, maka sangat relevan untuk penulis mengutip berulang-ulang tentang pernyataan Pastor Frans Lieshout, OFM, Romo Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, Theo van den Broek, Veronika. Karena apa yang disampaikan ini adalah fakta yang sesungguhnya yang terjadi dan dialami oleh rakyat dan bangsa Papua Barat selama ini.
Pastor Frans Lieshout, OFM dalam surat kabar Belanda De Volkskrant (Koran Rakyat) dan dalam buku Gembala dan Guru Bagi Papua:
“Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.”
“Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.” (2020:593).
Dr. Veronika Kusumaryati, dalam disertasi Program S3 yang berjudul: Ethnogaphy of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua menyatakan:
“Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalaman dan militerisasi dalam kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditujukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. Kisah-kisah ‘kekerasan dan kekejaman Negara’ ini tidak muncul di buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Tindakan ini pun tidak berhenti pada tahun 1960-an” (2018:25).
Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Theo van den Broek menggambarkan militerisme di Papua : ” Ternyata pimpinan Negara, melalui instansi-instansi keamanannya, memilih suatu pendekatan keamanan yang sangat nyata di Papua, sedangkan para pelaku aski rasis di Jawa Timur dibiarkan tenang saja.” (2020:21).
Papua adalah luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia, karena RASISME, ketidakadilan, dan pelanggaran berat HAM, militerisme, kolonialisme, kapitalisme yang dilakukan penguasa kolonial modern Indonesia sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini, kita berada dalam tahun 2021.
Luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar masalah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008).
Penguasa pemerimtah Indonesia dan TNI-Polri berpikiran RASISME dan tidak mendengarkan suara rakyat Papua yang menolak kelanjutan Otsus yang gagal itu dan pemekaran daerah otonomi baru.
Penguasa RASIS ini berusaha menghindar dan lari dari pokok masalah dan sibuk mengurus seperti evaluasi Otsus dan pemekaran yang hampir 100% tidak ada manfaat bagi orang asli Papua. Karena, evaluasi dan kebelanjutan Otsus dan pemekaran daerah otonomi baru bukan kebutuhan mendesak orang asli Papua.
Momentum atau kesempatan Otsus untuk membangun orang asli Papua sudah lewat dan telah GAGAL TOTAL dan dalam era Otsus identik dengan Remiliterisasi dan pelanggaran berat HAM. Hasil akhir dari Otsus selama 20 tahun adalah penderitaan, tetesan darah dan air mata. Otsus membawa malapetaka setelah Pepera 1969. Semua ini terjadi karena penguasa Indonesia yang berwatak RASIS. RASISME melahirkan ketidakadilan, kekerasan Nergara/Operasi Militer, kapitalisme, kejahatan kemanusiaan/pelanggaran berat HAM, diskriminasi dan marjinalisasi yang menyebabkan Papua tetap LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia dan juga dalam realitas kehidupan penduduk orang asli Papua.
Dalam keadaan yang sangat memprihatinkan seperti ini, tidak ada solusi lain, solusi yang lebih bermartabat dan mendamaikan ialah Pemerintah RI- ULMWP duduk setara di meja perundingan yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Perundingan damai dan setara ini untuk penyelesaian akar konflik Papua, seperti luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar konflik Papua, yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Doa dan harapan penulis, para pembaca mendapat berkat pencerahan.
Waa…Waa….Kinaonak!
Ita Wakhu Purom, Senin, 26 Juli 2021
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;
2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC)
3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)
4. Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).