ISU RASIALISME DAN ISU HAM PAPUA : DUA INSTRUMEN DIPLOMASI PAPUA MERDEKA
By Marinus Yaung
Ketika Patrich Wanggai, pemain sepak bola PSM Makasar mengalami tidak rasis dari pendukung Persija pada turnamen Piala Menpora, tidak ada respon dan reaksi berlebihan dari orang Papua memprotes supporter Persija.
Demikian juga ketika Natalius Pigai, aktivis HAM mendapat perlakuan rasis dari warga Indonesia non Papua, tidak ada aksi protes yang berlebihan hingga menimbulkan chaos atau ganggguan keamanan di Papua. Yang bereaksi dan heboh hanya media massa, televisi dan media online. Rakyat Papua adem – adem aja karena rakyat Papua sudah melek politik dan bisa membaca percaturan politik bung Natalis Pigai di panggung politik nasional.
Tetapi, lain fenomenanya jika yang mengalami tindakan rasialis adalah kelompok – kelompok Papua, yang berada di front politik maupun front klandestine, dgn agenda referendum Papua. Responnya bisa berdampak pada timbulnya instabilitas politik dan keamanan.
Kerusuhan berdarah dan pembakaran infrastruktur di Sorong, Manokwari, Jayapura, Dogiay, Timika, dan Wamena tahun 2019 yang lalu, karena sentimen rasialis masyarakat Indonesia menyasar front politik dan front klandestine orang Papua di Surabaya.
Perlu diingat bahwa, instrumen diplomasi internasionalisasi isu Papua merdeka saat ini adalah isu pelanggaran ham dan isu rasialisme. Dua isu kemanusian ini adalah instrumen diplomasi yang efektif dan efesien kelompok nasionalis Papua untuk mewujudkan referendum bagi kemerdekaan Papua.
Jika Pemerintah abai dan membiarkan terjadinya tindakan – tindakan rasisme terhadap otang Papua, maka isu kemanusian ini akan dikapitalisasikan untuk tujuan agenda separatis. Ketika kapitalisasi dan konsolidasi isu rasisme dan isu ham Papua semakin membesar, pembataian massal di ruang publik tinggal menunggu waktu terjadi.
Jika terjadi pembataian massal terhadap orang Papua di ruang publik, maka Papua sudah pasti lepas dari NKRI dan merdeka sendiri. Pemerintahan Jokowi seharusnya belajar dari sejarah Pembataian massal Santa Cruzz, Dili 11 November 1991. Peristiwa berdarah ini yang menjadi starting point lepasnya Timor – Timur dari Indonesia dan menjadi negara berdaulat.
Papua saat ini tinggal menunggu mementum politik untuk menggelar referendum. Karena itu, Pemerintahan Presiden Jokowi harus serius mengikuti dan memonitoring perkembangan isu ham Papua dan isu rasisme terhadap orang Papua dgn baik dan penuh perhatian. Jangan membiarkan dua isu kemanusian ini menggelinding hingga menjadi bola salju yang bisa meretakkan dan meruntuhkan rumah besar NKRI.
Akhirnya, saya merekomendasikan agar Kombes Pol. Leonardus Simarmata, Kapolresta Malang, harus diambil tindakan tegas dari Kapolri terhadap anggotanya ini. Ucapan rasisnya bisa menyulut terjadinya pembataian massal terhadap orang Papua. Ucapan anggota Polisi ini sesuatu yang sangat serius !.
Rekomendasi berikutnya, Menpora RI harus segera menegur dan mendisiplinkan Tim Persija. Bila perlu mengeliminasi atau mencoret club Persija dari turnamen Piala Menpora. Langka tegas ini bisa menyadarkan semua elemen masyarakat dan bangsa Indonesia bahwa rasisme tidak punya tempat di bumi ibu pertiwi.
Kapan orang Papua bisa dianggap warga NKRI kalau negara membiarkan rasisme terhadap orang Papua terus terjadi. Presiden Jokowi, Indonesia tanpa Papua bukanlah Indonesia. Pintu anugerah masih terbuka di hati orang Papua hanya karena Joko Widodo Presiden Indonesia. Jika bukan karena Joko Widodo Presiden Indonesia, tidak ada ruang lagi di hati orang Papua untuk berdamai dgn negara ini. Terimakasih.
Source : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=5567806056570825&id=100000244561728&sfnsn=wiwspwa