KADO/HADIAH BAGI ANGGOTA DPR RI DAN PEMERINTAH INDONESIA YANG BETELINGA TULI, MATA BUTA DAN TIDAK PUNYA HATI NURANI DAN MANUSIA-MANUSIA YANG TELAH KEHILANGAN MARTABAT KEMANUSIAAN
======Bacalah dan Renungkanlah=====
Artikel Realitas Politik
PERPANJANGAN OTONOMI KHUSUS SEBAGAI TOPENG RASISME, MILITERISME, KAPITALISME, KOLONIALISME MODERN INDONESIA & MESIN PEMBUNUHAN & PEMUSNAHAN ETNIS ORANG ASLI PAPUA
Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman,MA
“Orang Indonesia ini pintar menyembunyikan watak RASISME .” (Pdt. Dr. Benny Giay, Moderator Dewan Gereja Papua (WPCC), 31/06 2021).
Theo van den Broek menggambarkan militerisme di Papua dengan tepat. “Presiden Jokowi semakin bergerak kebelakang dan perlahan-lahan keluar dari kerumitan persoalan Papua, sedangkan panggung semakin diduduki oleh pensiunan militer: Moeldoko, Ryamizard, Hendropriyono, Prabowo, dan Wiranto. Dan, hal ini BUKAN berita baik bagi Papua.” (Sumber: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum: 2020:35).
Dandhy Laksono, dengan tepat mengatakan: “Situasi Papua terus memburuk karena politikus di Jakarta miskin inovasi, mabuk nasionalisme sempit, dan tak cukup cerdas mengambil terobosan politik. Menyerahkan urusan Papua pada para serdadu yang 50 tahun tak membawa perubahan apa-apa.” (Sumber: Mantra Sukabumi, 27 Juni 2021).
Prof. Dr. Cahyo Pamungkas dalam pengantar buku Melawan Rasisme Dan Stigma Di Tanah Papua, dengan cerdas mengatakan:
“Persoalan utama di Papua sejak integrasi dengan Indonesia adalah RASISME terhadap orang Papua. Sikap dan kebijakan yang RASIS ini menjadi penyulut bagi berkembangnya gerakan Papua merdeka. Sikap yang rasis ini juga nampak dalam pelabelan stigma terhadap orang Papua yang kritis terhadap Pemerintah sebagai separatis, makar dan OPM. Meskipun tidak semua orang Indonesia rasis terhadap orang Papua, namun ada kencenderungan bahwa sikap RASIS ini muncul dalam ruang-ruang publik dan tidak pernah diproses hukum.” (Yoman, 2020:xxi).
Theo van den Broek dalam bukunya berjudul: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum” menggambarkan sebagai berikut:
“Faktanya bahwa orang Papua dinilai sebagai ‘sekumpulan monyet’ memang sangat tidak dapat diterima orang asli Papua (OAP) maupun orang non-asli Papua. Penilaian ini dialami sebagai suatu penghinaan berat sekaligus suatu kontras yang esktrem dengan sikap yang selalu ditunjukkan bangsa Papua dalam penerimaan ribuan orang dari luar Papua (migran) yang mau menetap dan mencari nafkah di Tanah Papua. Pengalaman bahwa mereka (OAP) digambarkan sebagai ‘monyet’ merupakan suatu pukulan yang sangat keras, sangat tidak dapat diterima dan merendahkan harganya orang Papua.” (2020:5).
Yang jelas dan pasti: Indonesia adalah bangsa kolonial modern berwatak RASIS yang menduduki, menjajah dan menindas rakyat dan bangsa Papua Barat. Kolonialisme Indonesia di Papua berjalan telanjang dengan kekerasan militerisme sejak 1 Mei 1963 sampai memasuki pengesahan kelanjutan Undang-undang Otonomi Khusus pada 15 Juli 2021. UU Otsus yang disahkan sepihak pada 15 Juli 2021 ini merupakan melanjutkan dan memperpanjang penjajahan atas rakyat dan bangsa Papua Barat.
Dr. Veronika Kusumaryati, dalam disertasi Program S3 yang berjudul: Ethnogaphy of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua menyatakan:
“Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalaman dan militerisasi dalam kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditujukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. Kisah-kisah ‘kekerasan dan kekejaman Negara’ ini tidak muncul di buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Tidak ini pun tidak berhenti pada tahun 1960-an” (2018:25).
Apa yang dinyatakan Veronika Kusumaryati diperkuat oleh Pastor Frans Lieshout, OFM dalam surat kabar Belanda De Volkskrant (Koran Rakyat) dan dalam buku Gembala dan Guru Bagi Papua:
“Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.”
“Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.” (2020:593).
Dengan kekuatan RASISME, MILITERISME, KOLONIALISME, ABRI ( kini: TNI) membakar semua buku-buku sejarah yang berhubungan dengan bangsa Papua
“Dalam kerangka ‘mensetarafkan’ rakyat Irian Barat (Tanah Papua), maka pada tanggal 2-3 Mei 1963, setelah UNTEA menyerahkan administrasi pemerintahan kepada Pemerintah RI, Pemerintah mengumpulkan buku dan majalah, pamplet terkait: sejarah etnografi, hukum, dan bahan-bahan cetak lainnya tentang Papua kemudian membakarnya, sambil berpidato dan menyanyikan lagu-lagu nasional Indonesia. Nampak adanya kekuatiran bahwa pikiran dalam cetakan-cetakan tersebut akan menghalangi elit NKRI dalam memaksakan ‘identitas baru yang diimajinasikan’ rezim Indonesia ke dalam benak rakyat Irian Barat kala itu.” (Sumber: Dikutip dari Surat Terbuka Dewan Gereja Papua Kepada Presiden Joko Widodo Selalu Panglima Tertinggi TNI/Polri, 7 Oktober 2020: lihat dalam buku: Jejak Kekerasan Negara Dan Militerisme Di Tanah Papua: Yoman, 2021:177).
Cypri J.zp & John Djonga dalam buku Paradoks Papua:
“…ketidakadilan terhadap orang asli Papua sudah parah dan sistematis. …Kebijakan afirmatif juga masih terbatas retorika;…mesin ketidakadilan dan marginalisasi itu terus bekerja menambah penderitaan orang asli Papua.” (2011:xxv).
Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Tamara Soukota dalam artikelnya pada 28 Agustus 2019 yang berjudul: “KOLONIALISME DAN RASISME FONDASI SIKAP INDONESIA TERHADAP PAPUA” menyatakan:
“…RASISME terhadap orang Papua tampil dalam banyak wajah, dari kelangkaan guru dan dokter di banyak daerah di Papua hingga proyek-proyek pembangunan (termasuk jalan dan jembatan) yang lebih menguntungkan pendatang Indonesia ketimbang orang asli Papua.”
Theo van den Broek menggambarkan militerisme di Papua : ” Ternyata pimpinan Negara, melalui instansi-instansi keamanannya, memilih suatu pendekatan keamanan yang sangat nyata di Papua, sedangkan para pelaku aski rasis di Jawa Timur dibiarkan tenang saja.” (2020:21).
Watak asli para kolonial yang RASIS ialah tidak pernah mendengarkan suara bangsa yang diduduki dan dijajah. Indonesia telah menunjukkan wajah sebagai bangsa kolonial modern yang RASIS sejak 15 Agustus 1962 pada saat Perjanjian New York dibuat oleh Belanda dan Indonesia yang dimediasi Amerika. Pada saat New York Agreement 15 Agustus 1962, orang asli Papua tidak pernah dilibatkan.
Apakah pada saat NYA 15 Agustus 1962 dibuat belum ada orang asli Papua yang terdidik? Bangsa kolonial Indonesia, Amerika dan Belanda yang berwatak RASISME, Kapitalisme mengabaikan orang-orang terdidik seperti: Markus Kaisiepo, Elias Papare, Herman Wayoi, Fritz Kihirio, Nicolaas Jouwe, Herman Womsiwor, F. Torey, Nicolaas Tanggahma, Mohammad Achmat (Raja Ampat), Abdullah Arfan, A.Gebze, Baldus Mofu, Penehas Torey, Bertus Burwos, F.J.S. Rumainum, W.Zonggonao dan masih banyak orang-orang hebat dari bangsa Papua terdidik yang tidak sebutkan nama dalam daftar ini.
Wajah dan watak RASISME, MILITERISME, KAPITALISME DAN KOLONIALISME Indonesia juga terbukti dalam pelaksanaan Pepera 1969 yang dimenangkan oleh ABRI (kini: TNI). Hak politik dan hak hidup dan suara orang asli Papua benar-benar diabaikan dalam proses politik pelaksanaan Pepera 1969. Pepera 1969 adalah kemenangan ABRI yang berwatak rasis dan kriminal dan barbar.
Sintong Panjaitan dalam bukunya: ‘Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando’, mengakui: “Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan Pepera dari tahun 1965-1969, maka saya yakin Pepera 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Merdeka” (lihat: Yoman, Jejak Kekerasan Negara dan Militerisme di Tanah Papua, 2021:151).
Papua adalah luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia, karena RASISME, ketidakadilan, dan pelanggaran berat HAM yang dilakukan penguasa kolonial modern Indonesia sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini, kita berada dalam tahun 2021.
Luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar masalah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008).
Penguasa pemerimtah Indonesia dan TNI-Polri berpikiran RASISME dan tidak mendengarkan suara rakyat Papua yang menolak kelanjutan Otsus yang gagal itu dan pemekaran daerah otonomi baru.
Penguasa RASIS ini berusaha menghindar dan lari dari pokok masalah dan sibuk mengurus seperti evaluasi Otsus dan pemekaran yang hampir 100% tidak ada manfaat bagi orang asli Papua. Karena, evaluasi dan kebelanjutan Otsus dan pemekaran daerah otonomi baru bukan kebutuhan mendesak orang asli Papua.
Momentum atau kesempatan Otsus untuk membangun orang asli Papua sudah lewat dan telah GAGAL TOTAL dan dalam era Otsus sudah diisi dengan Remiliterisasi dan pelanggaran berat HAM. Hasil akhir dari Otsus selama 20 tahun adalah penderitaan, tetesan darah dan air mata. Otsus membawa malapetaka setelah Pepera 1969. Semua ini terjadi karena penguasa Indonesia yang berwatak RASIS. RASISME melahirkan ketidakadilan, kekerasan Nergara/Operasi Militer, kapitalisme, kejahatan kemanusiaan/pelanggaran berat HAM, diskriminasi dan marjinalisasi yang menyebabkan Papua tetap LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia.
Rakyat dan bangsa Papua Barat, jangan gantungkan harapan hidup kepada para molonial. Para penguasa kolonial tidak pernah menolong untuk pemulihan keluhan-keluhan bangsa yang diduduki dan dijajah. Karena itu, terlalu bodohlah orang-orang tertindas meminta belas kasihan dari kaum penjajah. Lebih bermartabat dan terhormat ialah HARUS ada kesadaran, kebangkitan dan persatuan dari kaum tertindas untuk membangun diri sendiri. Berhentilah mengeluh pada bangsa kolonial, ia selalu hadir sebagai wajah Iblis yang jahat dan kejam serta brutal. Ia gunakan segala macam cara, undang-undang yang dibuatnya pun ia langgar demi mengkekalkan dan melanggengkan penjajahan. Tapi akhirnya kekuasaan kolonial selalu runtuh karena landasannya kekerasan, kejahatan dan kebohongan. Mungkin, penguasa Indonesia masuk dalam kategori ini.
Tidak ada solusi lain, solusi yang lebih bermartabat dan mendamaikan ialah Pemerintah RI- ULMWP duduk setara di meja perundingan yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Perundingan damai dan setara ini untuk penyelesaian akar konflik Papua, seperti luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar konflik Papua, yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Doa dan harapan penulis, para pembaca mendapat berkat pencerahan.
Waa…Waa….Kinaonak!
Ita Wakhu Purom, Jumat, 16 Juli 2021
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;
2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC)
3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)
4. Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).