Artikel
KEDAULATAN NKRI BERLAWANAN/BERTOLAK BELAKANG DENGAN KEDAULATAN MANUSIA PAPUA
(Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…” (Kejadian 1:26).
Oleh Dr. Socratez S.Yoman
“…Kelompok Kriminal bersenjata turun dari atas gunung melakukan pembakaran-pembakaran di Wamena kota” ( Ir. Joko Widodo, Presiden RI, 30/09/2019).
Prof. Rocky Garung menanggapi pernyataan presiden RI, Ir. Joko Widodo, sebagai berikut:
“Itu narasi buruk dari Presiden. Presiden dibriefing dari perspektif keamanan, bukan berbasis antropologis. Jakarta tidak punya konsep keadilan di Papua. Kita hidup dalam kedunguan konsep. Indonesia tidak punya konsep penyelesaian masalah Papua yang berdimensi internasional. Orang Papua tidak perlu disogok dengan jalan tol. Orang Papua perlu pengakuan (regnisi) martabat kemanusiaan mereka. Otsus itu nasiolisme Jakarta. NKRI harga mati, kalau NKRI menghidupi rakyat. Papua sudah masuk imajinasi baru, sementara Indonesia masih hidup dengan NKRI harga mati.”
Prof Rocky Garung benar. Dalam Alkitab tertulis dengan jelas, bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Manusia diciptakan TUHAN sebagai pribadi yang memiliki kedaulatan dan kemerdekaan.
Apa artinya kedaulatan? Kedaulatan berasal dari bahasa Prancis, yaitu Souverainete dan dalam bahasa Inggris disebut Sovereignty artinya Kedaulatan.
Dengan bahasa sederhana, bahwa kedaulatan itu sama dengan kekuasaan.
Jadi, ada kedaulatan Tuhan. Ada kedaulatan raja. Ada kedaulatan Negara. Ada kedaulatan Presiden. Ada kedaulatan hukum. Ada kedaulatan rakyat. Ada kedaulatan keluarga. Ada kedaulatan dalam Rumah Tangga. Ada kedaulatan perorangan/personal.
Kedaulatan yang paling hakiki dan fundamental ialah kedaulatan pribadi yang diberikan oleh TUHAN, yaitu manusia dijadikan sesuai gambar dan rupa TUHAN.
Jadi, manusia siapapun dan latar belakang apapun, tidak boleh direndahkan martabat kemanusiaannya dan diampas kedaulatannya dengan alasan apapun, termasuk dengan alasan kedaulatan NKRI.
Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes,SDB, dengan tepat mengatakan:
“…dalam realitas kalau sudah menyangkut pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional.” (Frabs Sihol Siagian & Peter Tukan. Voice the Voiceless, 1977:127).
Dalam konteks artikel ini, penulis menulis adalah kedaulatan, kemerdekaan dan kebebasan rakyat dan bangsa West Papua yang dianugerahkan oleh Tuhan dan leluhurnya. Kedaulatan, kekuasaan, kebebasan orang asli Papua itu benar-benar dibelenggu dan dihancurkan oleh Indonesia atas nama kedaulatan NKRI yang belum pernah ada nama itu sebelumnya dalam kehidupan OAP.
Jadi, pertanyaan penulis ialah apakah NKRI ada karena manusia atau manusia ada karena NKRI? Apakah pemerintah ada karena rakyat atau rakyat ada karena pemerintah? Apakah penguasa ada karena manusia atau manusia ada karena penguasa?
Apakah kita menjaga kedaulatan manusia atau kita menjaga kedaulatan NKRI? Apa akibat-akibatnya kalau kita menjaga kedaulatan NKRI dan mengabaikan kedaulatan manusia? Apakah manusia yang menjaga NKRI atau NKRI yang menjaga manusia? Apa itu NKRI?
Apakah diplomat Indonesia berbohong di forum PBB itu apakah bagian dari kepentingan kedaulatan manusia atau kedaulatan NKRI? Apakah kedaulatan NKRI harus dijaga dengan narasi-narasi yang berbasis kebohongan dan posisi statis dengan narasi-narasi defensif yang ketinggalan zaman? Apakah kedaulatan NKRI harga mati harus dipelihara dengan menembak mati rakyat? Apakah kedaulatan NKRI harus dipertahankan dengan darah rakyat kecil yang ditembak mati dengan mitos separatis dan KKB?
Sejumlah pertanyaan ini boleh dijawab sesuai dengan tingkat pemahaman dan pengertian para pembaca. Pendekatan dalam penyelesaian persoalan Papua yang merupakan kekerasan negara terlama di Asia ini, perlu ada pendekatan baru yang mengedepankan rasa keadilan dan kemanusiaan demi pengakuan kedaulatan manusia untuk menciptakan perdamaian permanen di Papua, Indonesia dan dunia.
Kalau Presiden RI, Ir. Joko Widodo saja sudah memiliki ideologi TNI-Polri, seperti pernyataan yang dikutip tadi, maka Negara ini sepertinya dipimpin oleh rezim militer. Negara dengan perangkat pendukung seperti TNI-Polri memimpin dan mengatur Indonesia dengan pendekatan keamanan, maka pada gilirannya kedaulatan kemanusiaan disingkirkan dan diinjak-injak.
Konsekwensi logis dari pengabaian kedaulatan manusia adalah Indonesia akan kehilangan sebagaian wilayahnya atau pulaunya. Maka nantinya NKRI harga mati menjadi kenyataan, yaitu NKRI bisa saja tinggal kenangan dalam catatan sejarah bahwa pernah ada namanya bangsa Indonesia dari gugus pulau-pulau. tetapi, ia bubar dan menjadi beberapa Negara karena martabat atau kedaulatan rakyatnya direndahkan terus-meberus dengan moncong kekerasan senjata.
Dalam konteks West Papua (Papua) penguasa kolonial Indonesia menduduki, menjajah dan menindas serta membantai Penduduk Orang Asli Papua dengan menciptakan mitos-mitos. Mitos-mitos itu belum pernah ada di Tanah Papua.
Mitos-mitos milik penguasa Indonesia itu seperti: Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPL). OPM, Separatis, Makar, dan mitos terbaru milik TNI-Polri ialah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Penguasa Indonesia, terutama TNI-Polri memproduksi mitos-mitos atau hoax ini dan dipelihara serta dipromosikan dengan mengontrol media yang membesar-besarkan/menghidupkan mitos-mitos ini. Fakta dan bukti sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini, 57 tahun, mitos-mitos atau stigma-stigma itu selalu ada di hati, pikiran dan mulut aparat TNI-Polri. TNI-Polri sepertinya tidak memiliki narasi-narasi yang patut dan layak untuk diteladani. Narasi-narasi lama dan pendekatan-pendekatan lama yang sudah usang itu masih dipelihara dan dilestarikan oleh TNI-Polri.
Watak dan perilaku TNI-Polri sejak 1 Mei 1963 belum pernah berubah setelah 57 tahun sampai kita sudah berada tahun 2020.
“Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.”
( Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020, hal. 593).
Untuk memperkuat artikel ini, penulis mengutip artikel pada 12 Oktober 2020 yang berjudul: “OTONOMI KHUSUS PAPUA MENJADI MESIN REMILITERISASI/MENGHIDUPI KEMBALI DAERAH OPERASI MILITER (DOM) DI TANAH PAPUA.”
Dalam kurun waktu 20 tahun, dalam era Otonomi Khusus, sejak 2001-2020, Pemerintah RI telah sukses membangun instalasi TNI/POLRI/REMILITERISASI di seluruh Tanah Papua dan telah gagal memajukan, melindungi, memberdayakan & berpihak pada Orang Asli Papua.
Otonomi Khusus Papua nomor 21 Tahun 2001 yang terdiri 24 Bab dan 79 Pasal itu benar-benar gagal atau tidak berhasil.
Otsus telah menjadi mesin pembunuh dan pemusnah Penduduk Asli Papua. Dengan kata lain, Otonomi Khusus menjadi sarana efektif untuk kembalinya Papua sebagai Daerah Operasi Militer (OPM), atau Remiliterisasi. Kegagalan Otsus terbukti dengan tidak dilaksanakan Amanat Otonomi Khusus untuk keberpihakan (affirmative action), perlindungan ( protection), pemberdayaan (empowering), dan pengakuan hak-hak dasar orang asli Papua (recognition).
Dalam Otonomi Khusus ada pembangunan Kodim dan Koramil baru di seluruh Tanah Papua. Contoh: Kodim 1714 Puncak Jaya, Kodim 1715 Yahukimo, Batalyon 756 Jayawijaya, Koramil 1715 Kenyam, Nduga dan masih banyak lagi di Tanah Papua dari Sorong-Merauke.
Ada pembangunan beberapa Polres, seperti: Polres Puncak Jaya, Polres Lanny Jaya, Polres Tolikara, Polres Intan Jaya, Polres Yahukimo, Polres dan masih banyak lagi dari Sorong-Merauke.
Polres Puncak yang menelan biaya 13M lebih. Ini sesuai pengakuan Kapolda Papua, Jenderal Pol. Paulus Waterpauw, yang masuk di HP penulis:
“Yth.bp Kapolri, ijin melaporkan saat ini kami bersama Pangdam di Kab Puncak Ilaga dlm rangka laksanakan peresmian Polres Kab Puncak Ilaga yang dibantu anggaran pemda Puncak 13 M lebih sejak tahun 2016, kemarin kami juga telah ikuti peletakkan batu pertama Kodim Puncak Ilaga di Distrik Gome Kab Puncak, dump perkembangan akan dilapkan ksp pertama Kapolda Papua.” (Sumber: WashApp Kapolda Papua, 21 Juli 2020).
Pertanyaannya ialah sumber dana dari mana Kodim dan Polres dibangun di setiap kabupaten baru dalam era Otonomi Khisus? Apakah rakyat Papua membutuhkan pembangunan Kodim dan Polres di setiap kabupaten?
Apakah dana 13 M lebih dari pemda Puncak ini berasal dari dana Otonomi Khusus 2001 atau dana APBD atau APDN?
Dari keprihatikan ini, Dewan Gereja Papua, juga disebut West Papua Council of Churches (WPCC) dalam laporan tertanggal 7 Oktober 2020 yang dirilis pada 8 Oktober membeberkan bukti-bukti REMILITERISASI atau berlaku kembali Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua.
Laporan Dewan Gereja Papua (WPCC) membuka mata seluruh rakyat Indonesia dan komunitas global. Laporan itu berjudul: “Rakyat Papua Bukan Musuh NKRI: Stop Remiliterisasi Tanah Papua dam Tindaklanjuti Janji Presiden untuk Bertemu Kelompok Pro-Referendum Papua.”
“Remiliterisasi Tanah Papua sebagai siasat Indonesia untuk melanjutkan OTSUS secara sepihak; mengembalikan Tanah Papua ke status DOM (Daerah Operasi Militer) melalui pembangunan KODIM & KOREM baru sejak 2019 dan pengiriman pasukan ke Tanah Papua yang dimulai sejak 29 Agustus 2019 hingga hari ini belum berakhir; dalam rangka penguasaan sumber daya alam Tanah Papua secara masif” (hal.1).
“Pemerintah gencar membangun KODAM, KOREM, KODIM, Batalyon/Yonif Satuan dan Bantuan Tempur di seluruh di Tanah Papua. Khusus KODIM, sebelum OTSUS ada 9 KODIM dan selama OTSUS telah bertambah 8 sehingga menjadi 17 KODIM saat ini. Selain itu ada juga penambahan Satuan TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Penambahan juga terjadi dalam Institusi Kepolisian dengan membangun POLDA, POLRES dan POLSEK serta penambahan Institusi BRIMOB di Tanah Papua” (hal. 4).
WPCC juga melihat dan mencatat ada peningkatan signifikan jumlah pasukan TNI dan POLRI dari luar Papua. “Pendropingan pasukan TNI dan POLRI dari Luar Papua yang terus menerus dilakukan sejak Agustus 2019 hingga hari ini.”
Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam laporan ini juga dicantumkan juga akibat dari Remiliterisasi sebagai berikut:
“Akibat TNI/POLRI yang sedang gencar galakkan Operasi Militer di Tanah Papua ( di Nduga, di area, PT Freeport sejak Desember 2019, ratusan warga mengungsi ke kota Timika; Pasukan militer yang sudah didatangkan sejak Desember 2018 dan telah menewaskan 243 korban masyarakat sipil; Intan Jaya sejak Desember 2019, belum diketahui berapa puluh atau ratus warga yang menggungsi, terakhir TNI menembak mati Pdt. Yeremias Zanambani pada hari Sabtu, 19 September 2020). Banyak warga yang meninggalkan kampung dan tempat ibadah mereka demi menyelamatkan nyawa mereka. Sejumlah gedung gereja digunakan sebagai pos keamanan. Operasi militer di kampung-kampung tersebut juga memaksa dan menekan masyarakat untuk menerima program pemerintah memperpanjang Otsus 20 tahun berikutnya sampai 2041” (hal.4).
Dalam laporan yang sama Dewan Gereja Papua (WPCC) sampaikan, bahwa Operasi Militer ini dengan tujuan untuk merampas tanah penduduk asli Papua dan mendukung investor untuk penanaman kelapa sawit dan industri lainnya.
“Operasi keamanan di berbagai daerah di Tanah Papua akhir-akhir ini, tidak berjalan sendiri, melainkan kami menduga dalam rangka mendukung agenda terselubung perampasan tanah dan hutan adat ( sumber daya alam) milik masyarakat Papua oleh investor. Situasi ini bisa terlihat dari tangisan masyarakat adat Papua di Merauke (Marind, Muyu, Mandobo, Yakai), di Nduga, Timika, Intan Jaya, yang berulang kali mengalami kekerasan oleh aparat setelah menuntut hak adat mereka atas tanah dan hutan yang dirampas untuk penanaman kelapa sawit dan hutan tanaman industri lain; Nasyarakat Adat Papua di Kabupaten Tambrauw sejak tahun 2018 telah melakukan tuntutan menolak perusahaan kelapa sawit dan pendirian satuan-satuan militer di Tambrauw; masyarakat asli Papua di Intan Jaya baru saja menyatakan menolak masuknya anak perusahaan PT ANTAM yang hendak menguasai blok tambang di wilayah itu ditengah gencarnya operasi militer yang sedang berlangsung dan menyebabkan kematian serta pengungsian warga Intan Jaya (sekitar 8 Jemaat telah mengosongkan kampung halaman mereka” (hal.5)
Demi kedaulatan manusia atau martabat kemanusiaan, keadilan, perdamaian dan kebaikan semua orang solusi damai merupakan bukan suatu pilihan tetapi suatu keharusan. Karena perundingan damai adalah jalan terhormat.
Empat akar persoalan Papua sudah berhasil ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008).
Empat akar persoalan sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Jadi, REMILITERISASI di Papua bukan solusi, tetapi pendekatan lama ini kembali lebih memperburuk dan menambah masalah dari empat akar masalah yang sudah ditemukan LIPI.
Perlu direnungkan pernyataan iman dari Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout adalah fakta, realitas, kenyataan, bukti tentang apa yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua.
“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia…..“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257).
(Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Sementara Pastor Frans Lieshout melihat bahwa “Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.”
(Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).
Solusi untuk mengobati luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia ialah Pemerintah Republik Indonesia dan ULMWP duduk satu meja untuk perundingan damai tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral untuk menemukan solusi damai yang permanen seperti Pemerintah RI telah berhasil dengan Aceh di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Selamat membaca. Waa…waa..waa..
Ita Wakhu Purom, Rabu, 12 Oktober 2020
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____