Refleksi Minggu, 14 Agustus 2022
KEMISKINAN DAN KEMELARATAN ORANG ASLI PAPUA DI ATAS KEKAYAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LAUT YANG MELIMPAH
Oleh Gembala DR. A G. Socratez Yoman
.”Pencuri datang hanya untuk mencuri dan mmebunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10).
Ada satu pertanyaan penuntun dalam refleksi ini untuk mengarahkan kita semua.
Mengapa Orang Asli Papua hampir 95% miskin?
Sebelum Indonesia menduduki dan menjajah Rakyat dan bangsa Papua Barat ini, Penduduk Asli Orang Asli Papua adalah pemilik Tanah dan hidup dengan kekayaan yang ada di Tanah leluhur mereka. OAP hidup merdeka dan berdaulat. OAP hidup dengan harmoni. OAP mempunyai segala-galanya. OAP tidak pernah hidup mengemis. OAP tidak pernah tidur dalam keadaan kelaparan. OAP selalu tersedia makanan dengan lauk pauk dari hasil buruan di hutan, di danau dan di laut.
Saya selalu ambil contoh ini. Pastor Frans Lieshout, OFM, kebangsaan Belanda ini mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Penduduk Orang Asli Papua sebagai berikut.
“Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, …Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni…dan semangat kebersamaan dan persatuan…saling bersalaman dalam acara suka dan duka…” ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86).
Lebih lanjut Pastor menggambarkan kehidupan Pendauduk Orang Asli Papua dalam buku: “Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim-Papua: Kebudayaan Balim Tanah Subur Bagi Benih Injil” (2009) diakui sebagai dengan tepat, sebagai berikut:
“Waktu Mr. Lorentz diberikan kehormatan untuk membagikan daging babi itu kepada para anggota rombongannya, ia sendiri mencicipi sedikit terlebihi dahulu dari daging itu; rasanya enak sekali! Tetapi tuan rumah menegur dia, ia harus membagi dulu kepada yang lain dan sesudah itu baru ia boleh makan bagian dia sendiri. (Situasi ini lucu sekali, karena orang-orang yang dianggap primitif memberikan pelajaran tentang sopan santun kepada orang asing itu. Siapakah yang sebenarnya primitif” (2009:4).
“Anggota ekspedisi sangat menggangumi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan tinggi di bidang pertanian. Kebun-kebun dan parit-parit di dalamnya kelihatannya seperti di daerah pertanian di Eropa. Selain itu masyarakat Balim juga sangat cerdas, buktinya jembatan gantung di atas sunggai Balim yang baik dan kuat” (2009:14).
“Kami melihat sebuah jembatan gantung buatan tangan manusia. Rombongan orang Dayak meragukan kekuatan jembatan itu dan tidak berani memakainya seperti nereka biasanya kurang menghargai orang Papua. Kami menyebrangi kali itu lewat jembatan yang ternyata baik dan kuat. Kami mengagumi karya teknik mereka itu dan kebun-kebun tebu, ubi dan keladi yang sungguh terawat dengan baik. Mereka bukan manusia ‘primitif'” Kami tidak membayangkan akan bertemu manusia seperti itu….Masyarakat yang sederhana dan polos ini hidup bersama dalam suasana damai” (2009:8).
“Hampir seluruh tanah mereka adalah kebun yang dipagari dengan baik. Jalan-jalan setapak dari kampung satu ke kampung yang lain terkesan terawat rapih dan rumah-rumah mereka berkelompok dengan halaman yang bersih dan teratur” (2009:9).
Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (Yoman, 2010, hal. 92) saya menjelaskan sebagai berikut:
Kata Ap Lani artinya: ” orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya.”
Ada Orang Asli Papua seperti dari orang-orang Biak dan Serui berabad-abad menjadi orang-orang hebat dan profesional dalam hal mengatasi ganas ombak laut dengan kemampuan dan kesanggupan mereka tanpa ditopang dengan alat-alat teknologi canggih. Orang-orang ini dengan tangguh mengunjungi pulau Seram dan beberapa pulau tanpa dibantu motor mesin. Artinya ada kehidupan ekonomi yang baik dari hasil mata pencaharian di laut. Orang-orang berpostur kasta, tinggi, kuat dan ada nilai-nilai peradaban hidup dan mengantur dan juga memerintah diri sendiri. Mereka tidak pernah ditimpa kemiskinan dan kelaparan.
Ada suku-suku lain di Tanah Papua masing-masing mempunyai kemerdekaan dalam kehidupan ekonomi mereka. Mereka mampu dan sanggup menghidupi keberlangsungan kehidupan keluarga dan masyarakat secara luas.
Semua yang dimiliki Orang Asli Papua sejak leluhur dan turun temurun ini dapat dilumpuhkan, dihancurkan dengan sistematis, terstruktur, kolektif, masif, meluas, integratif, dan sampai Orang Asli Papua dibuat miskin di atas Tanah leluhur mereka yang kaya raya dan sumber daya alam yang melimpah.
Saya kutip pendapat para pembaca artikel-artikel saya sebagai berikut:
- Hilman Alamsyah
Pak Hilman meresponi artikel-artikel saya, khusus tulisan lewat stiker-stiker sebagai berikut:
“Kalau saya pribadi, jujur dari hati yang paling dalam, saya melihat keadaan/kondisi sampai detik ini, kekayaan dari Tanah Papua hanya dinikmati dan dirampok oleh segelintir orang. Baik pejabat maupun para konglomerat. Saya pribadi tidak pernah menikmatinya. Jadi, merdeka atau tidak mereka masa bodoh teuing! Tapi jiwa raga saya tetap mencintai INDONESIA. Maaf kalau tidak berkenan atau berbeda” ( 10 Agustus 2022).
- Tugiliak (nama samaran)
Pak Tuguliak, pengguna nama samaran ini mengemukakan kegalauan dan kegusaran hatinya setelah membaca stiker-stiker saya sebagai berikut:
“Kalau saya pribadi, mau jawab sederhana saja. Begini pak! Orang ini (maksud Tuguliak: Saya, Gembala Dr. Yoman) pada intinya ada kebencian terhadap negara Indonesia. Tetapi anehnya kenapa mereka makan nasi, pakai baju, pakai uang rupiah. Pakai semua produk Indonesia. Kalau memang benci kok negara Indonesia sekalian saja semuanya harus diharamkan saja bagi dirinya supaya OAP bisa percaya 100% bahwa betul-betul pejuang. Coba tanyakan gubernur Lukas Enembe orang-orang pemimpin gereja ini biasa pakai dana hibah keagamaankah? Tidak tolong cek baik supaya jangan muncul istilah Papua ASBUN” (13 Agustus 2022).
Mari, kita membandingkan tiga pendapat ini. Pandangan Pastor Frans Leishout terlihat ada nilai-nilai kehidupan OAP yang merdeka dan berlimpah secara ekonomi sebelum penguasa kolonial Indonesia di atas Tanah Papua ini.
Sedangkan, pak Hilman Alamsyah melihat secara obyektif, rasional dan realistis tentang apa sebenarnya yang dihadapi dan dialami OAP. Pak Hilman melihat bahwa Papua kaya raya tapi dinikmati oleh para penguasa dan para konglomerat.
Sementara pengguna nama samaran “Tugiliak” melihat persoalan kemiskinan OAP secara sempit, kerdil, tidak rasional, dan sangat subyektif. Ini cara berpikir militer dan kepolisian hanya NKRI harga mati, tanpa melihat akar konflik kekerasan Negara yang menyebabkan kemiskinan dipihak OAP.
Penyebab kemiskinan Orang Asli Papua sudah disebutkan oleh Hilman Alamsyah sebagai berikut:
“….kekayaan dari Tanah Papua hanya dinikmati dan dirampok oleh segelintir orang. Baik pejabat maupun para konglomerat. Saya pribadi tidak pernah menikmatinya.”
Para pejabat atau penguasa dengan konglomerat dan para jenderal TNI-Polri memproduksi undang-undang dan mitos-mitos, stigma, label untuk menekan OAP supaya mereka selalu tunduk dan takut dan tidak melakukan pembelaan dan perlawanan.
Para penguasa, dan konglomerat yang hadir di Tanah Papua sebagai perampok, pencuri, pembunuh dan pembinasa bersembunyi dan berlindung dibalik undang-undang, peraturan-peraturan dan mitos-mitos, label dan stigma. Mereka juga bersembunyi dibalik jargon “NKRI” harga mati.
Mitos-mitos, stigma dan label: separatis, makar, opm, kkb, teroris dan NKRI harga mati sebagai alat pembenaran untuk menekan, melumpuhkan, menindas, membunuh OAP supaya kekayaan Sumber Daya Alam di Tanah Papua dirampok dengan bebas tanpa perlawanan.
Kalau pada hari minggu di mimbar Gereja tidak berbicara tentang kemiskinan Orang Asli Papua dan tidak mengoreksi sistem dan peraturan negara dan melawan stigma-stigma, label-label dan mitos-mitos yang diproduksi dan digunakan para penguasa, maka gereja turut memelihara kekerasan dan kejahatan negara dan juga meng-kekal-kan kemiskinan Orang.Asli Papua dari mimbar-mimbar gereja.
Maka, penguasa Indonesia dan para konglomerat dan para jenderal TNI-Polri sebagai pencuri datang hanya untuk mencuri dan mmebunuh dan membinasakan Orang-orang Asli Papua sejak 19 Desember 1961, 1 Mei 1963, dan 1969 ini tetap menjadi wajah dan kaki tangan Iblis atau Setan di Tanah Papua.
Gereja hadir dalam kehidupan nyata OAP, yang rela berkorban untuk memperjuangkan keadilan dan kebaikan bagi umat Tuhan. Gereja harus hadir menentang ketidakadilan dan kemiskinan yang diciptakan sengaja oleh sebuah sistem pemerintahan yang menindas OAP.
Gereja-gereja di Papua tidak boleh diam dan membisu, apalagi kerjasama dengan penguasa yang menindas OAP selama ini. Gereja jangan membiarkan umat Tuhan di Tanah Papua ini diperlakukan tidak adil dan dibuat miskin di atas Tanah leluhur mereka. Gereja harus berdiri bersama umat Tuhan, khusus OAP yang sedang berjuang untuk martabat kemanusiaan mereka yang dilecehkan dan diinjak-injak dan dirampok atas nama keamanan dan kepentingan ekonomi dan politik di Tanah Papua.
Kuasa Injil harus menerobos kejahatan, kekerasan, ketidakadilan dan perampokkan, pencurian dari waktu ke waktu yang dilakukan negara selama ini. Kuasa Injil harus memperbaiki kelakuan para penguasa yang jahat ini, supaya OAP bangkit, bebas dan maju dalam segala aspek dimensi kehidupan.
Kesimpulan singkat:
Penduduk Orang Asli Papua adalah orang-orang kaya dan ada lehidupan sejak leluhur, turun-temurun. Semua yang dimiliki Orang Asli Papua sejak leluhur dan turun temurun ini dapat dilumpuhkan, dihancurkan dengan sistematis, terstruktur, kolektif, masif, meluas, integratif oleh penguasa kolonial Indonesia Orang Asli Papua dibuat miskin di atas Tanah leluhur mereka yang kaya raya dan sumber saya alam yang melimpah. Kelumpuhan, kemiskinan, kemelaratan, kesusahan hidup, kesulitan hidup dalam segala aspek ini dimulai sejak 1 Mei 1963 dan diperkuat dalam Pepera 1969.
“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” ( 2 Timotius 3:16).
Doa dan harapan saya, refleksi ini membuka perspektif baru. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, Minggu, 14 Agustus 2022
Gembala DR. A.G. Socratez Yoman, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
HP: 08124888458