Home / Opinion / Perspektif Politik

Monday, 18 January 2021 - 08:18 WIB

KITA TIDAK HIDUP DALAM ZAMAN BATU: RAKYAT DAN BANGSA WEST PAPUA BERJUANG UNTUK MERDEKA SEBAGAI BANGSA BERDAULAT BUKAN KARENA DUKUNGAN KOMUNITAS INTERNASIONAL

Foto Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA

Foto Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA

Perspektif Politik

KITA TIDAK HIDUP DALAM ZAMAN BATU: RAKYAT DAN BANGSA WEST PAPUA BERJUANG UNTUK MERDEKA SEBAGAI BANGSA BERDAULAT BUKAN KARENA DUKUNGAN KOMUNITAS INTERNASIONAL

Oleh Dr. Socratez S.Yoman,MA

“Melawan RASISME. Black Lives Matter. West Papua Lives Matter.”

“Rakyat dan bangsa West Papua sebagai rumpun Melanesia tidak peduli dengan 99,5% pemerintah di dunia mengakui atau mendukung kedaulatan Indonesia. Tetapi, kami sebagai bangsa Melanesia punya martabat dan hak politik untuk berdaulat atas Tanah leluhur kami dan demi masa depan anak cucu kami. Kami punya sahabat sejati Negara Vanuatu yang mau membalut luka-luka kami dan mengatakan jangan menangis. Vanuatu katakan saya selalu berdiri disisimu. Kami tahu, pada saatnya, 99,5% akan berpihak kepada kami dan berdiri bersama-sama dengan Vanuatu.”

Kami juga mempunyai sahabat sejati seperti Powes Parkop di Papua New Guinea. Powes bersama teman-teman kami di PNG berdiri bersama-sama dengan kami. Kami juga mempunyai saudara-saudara di Kawasan Pasifik, di Australia, di Selandia Baru, di kawasan Afrika, Eropa dan Amerika Serikat. Kami memang tidak didukung Negara-negara merdeka, seperti Indonesia mendapat dukungan 99,5% negara berdaulat, tapi kami mempunyai banyak teman dan sahabat dalam semangat kemanusiaan dan kesetaraan bersama-sama berdiri sedang melawan RASISME dan KETIDAKADILAN di planet.

Rakyat dan bangsa West Papua sangat bersyukur dan memuji Tuhan dan berterima kasih kepada Pemerintah, rakyat dan gereja-gereja serta pemimpin adat di Vanuatu yang mendukung secara resmi untuk perjuangan kemerdekaan rakyat West Papua.

Vanuatu memang Negara kecil. Tetapi, jangan lupa: Vanuatu negara berdaulat seperti Indonesia negara berdaulat. Vanuatu anggota resmi PBB seperti Indonesia juga anggota resmi PBB. Vanuatu mempunyai hak berbicara di forum PBB seperti Indonesia juga mempunyai kesempatan berbicara di forum PBB.

Rakyat dan bangsa West Papua sudah tegak berdiri sejajar dengan Indonesia dan negara-negara merdeka yang lain karena sekarang perjuangan rakyat dan bangsa West Papua untuk merdeka didukung oleh Negara merdeka dan berdaulat yaitu Negara Vanuatu.

Jangan lupa!, Ingat baik-baik! Vanuatu bukan Non Government Organization (NGO). Vanuatu sebuah Negara kecil di Kepulauan Pasifik yang memiliki reputasi dan kredibilitas internasional.

Ada kisah dalam Alkitab. Anak muda Daud berkelahi dengan raja Goliat yang angkuh dan sombong. Jadi, Vanuatu simbol Daud dan Indonesia simbol raja Goliat. Silahkan, si Goliat dengan 99,5% bertempur dengan si Daud kecil di medan perang di fora Internasional. Kita akan saksikan, si kecil Daud memenggal kepala si Goliat yang angkuh, dan sombong ini terjungkal di arena pertempuran yang tidak seimbang ini atau mungkin juga Indonesia mampu membalikkan kisah dalam Alkitab. Kita tunggu dan lihat ke depan.

Rakyat dan bangsa West Papua berjuang untuk merdeka dan berdaulat bukan karena ada dukungan Negara-negara merdeka 99,5% tetapi memang dan harus kami berjuang demi martabat kami, hak politik kami dan masa depan bangsa kami dan anak cucu kami di atas Tanah leluhur kami di Melanesia.

Persoalan yang diperjuangkan rakyat dan bangsa West Papua sudah jelas yang sudah dipetakkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 4 akar persoalan dalam buku Papua Road Map yang merupakan akibat mengakarnya RASISME dan KETIDAKADILAN di Papua yaitu:

BACA JUGA  Tujuh  Musuh Terbesar Bagi Bangsa Kolonial Indonesia Di Papua

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno menyimpulkan kejahatan dan kekejaman Negara Republik Indonesia di Papua dengan sangat sempurna:

“…Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia….Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” “…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (2015 : 255, 257).

Melihat situasi kemanusiaan yang buruk, tidak normal, tidak beradab dan memalukan serta luka membusuk ditubuh bangsa Indonesia yang ditimbulkan oleh RASISME dan KETIDAKADILAN, Dewan Gereja Papua meminta Negara Republik Indonesia segera menyelesaikan 4 akar persoalan. Untuk itu Dewan Gereja Papua kembali menegaskan Surat Pastoral kami tertanggal 26 Agustus 2019 dan 13 September 2019 sebagai berikut.

1. Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)

2. Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13 September 2019).

Penguasa Indonesia bersama-sama dengan negara-negara berdaulat di seluruh dunia 99,5%. Tetapi, rakyat dan bangsa West Papua bersama-sama dengan komunitas internasional yang memiliki hati nurani kemanusiaan, menghormati martabat manusia, kesamaan derajat, menjunjung nilai keadilan dan mencitai kedamaian serta yang melawan RASISME.

Bravo Vanuatu. Bravo MSG. Bravo PIF. Bravo ACP. Bravo ULMWP. Bravo Komunitas Internasional. Bravo komunitas generasi muda Indonesia

=====================

Para pembaca yang mulia, tulisan ini menanggapi pernyataan Direktur Eropa I Kementerian Luar Negeri (Kemelu), Ida Bagus Made Bimantara yang mengatakan berbagai isu di Papua seutuhnya merupakan urusan dalam negeri dan semua negara memahami dan menghormati posisi Indonesia.

“Kedaulatan Indonesia termasuk status Papua di NKRI bukanlah isu internasional karena di mata hukum internasional Papua adalah bagian sah yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia. Jadi dari segi hukum sudah clear, bahwa Papua sudah menjadi bagian dari Indonesia, dalam diskusi virtual bertajuk “Mengapa Isu Papua Diinternasionalisasi,” (13/7/2020).

Sade menjelaskan, up date isu Papua di luar negeri, hampir 99,5 persen pemerintah di dunia mengakui dan menghormati keutuhan wilayah Indonesia, hanya satu negara masih mempertanyakan yaitu Vanuatu.

BACA JUGA  ‘INDONESIA BELUM MENGINDONESIAKAN PAPUA,WALAUPUN INDONESIA SUDAH MERDEKA 74 TAHUN’: GUB PROV. PAPUA’, LE.

“Dengan menyadari hukum internasional tidak bisa memisahkan Papua, mereka atau kelompok-kelompok di luar negeri menggunakan isu HAM untuk mencoba memisahkan Papua dan Papua Barat dari Indonesia,” jelasnya.

Terkait soal HAM, kata Sade, ini masih menjadi PR (pekerjaan rumah-red) yang cukup besar sehingga harus bekerja keras untuk memajukan HAM dan kemanusian.

Sade menyebutkan, tercatat banyak kemajuan seperti di awal pemerintahan Jokowi di mana membebaskan sejumlah tahanan dari Papua, dan juga komitmen politik untuk menyelesaikan berbagai permasalahan HAM masa lalu, termasuk tersangka ujaran rasisme sudah diadlili dan dipenjara.

“Memang masih ada PR-PR besar seperti penyelesaian HAM masa lalu , tapi bukan berarti kita berdiam diri. Penggunaan kata makar, nampaknya perlu ditinjau ulang. Semuanya dalam proses,” ujarnya.

Sade mengatakan, Papua saat ini sudah bebas secara politik. Di sana sudah dijalankan Pilkada, Pilpres, diberikan hak otonomi khusus, selain itu pemerintah pusat terus melakukan kebijakan afirmatif action dengan berupaya sekuat tenaga memenuhi hak dasar.

Program pembangunan yang telah dihasilkan itu diantaranya, ribuan kilometer ruas jalan, internet dan menghadirkan BBM yang sangat murah yang sama harganya secara nasional dan juga menghadirkan layanan Kesehatan universal.

Sade menyebutkan, banyak orang Papua sibuk menyiapkan kerangka kebijakan nasional untuk memberdayakan dan memajukan wilayah Papua, baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan banyak program pembangunan yang telah dihasilkan.Puluhan diplomat OAP berjuang keras untuk pemulihan ekonomi di masa pandemi untuk memperkuat kerjasama regional dengan memberi program konkrit.

“Kontribusi orang asli Papua untuk memajukan Indonesia termasuk Papua, tidak bisa sama sekali dibandingkan dengan hal-hal diskrutif yang dilakukan aktor-aktor pemecah persatuan di luar negeri itu,”tegasnya.

Menurutnya, tindakan kelompok yang berusaha memisahkan Papua dari Indonesia, sama juga dengan menista proses demokrasi yang sudah dijalankan oleh rakyat Papua ketika memilih dalam proses Pilkada, Pilpres, memilih anggota DPR, yang notabene merupakan orang asli Papua.

“Kita harus bersama bekerja demi kemakmuran Papua. Bekerja dengan pendekatan kesejahteraan dan pendekatan kemanusian,” tegasnya.

Terakhir dia memberikan tiga catatan. Pertama, aktor-aktor yang ingin memisahkan Papua dengan segala cara itu, jelas tidak ada niat membangun atau memajukan Papua baik secara politik, ekonomi, ataupun sosial.

Kedua, demokrasi terus bekerja untuk keutuhan wilayah Indonesia. Di saat yang sama Indonesia telah bertransformasi dari 1998 hingga sekarang menjadi sebuah negara demokrasi yang sangat dinamis dan menjunjung tinggi HAM, walaupun masih ada PR-PR besar untuk melakukan perbaikan hak-hak dasar termasuk di Papua

Ketiga, harus bersama-sama bekerja demi kemakmuran dan kemajuan Papua. Bekerja agar dugaan pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan. Bekerja untuk kedepankan pendekatan pembangunan, pendekatan kesejahteraan dan pendekatan kemanusiaan di bumi Papua yang tercinta ini.(bn)
========

Selamat Membaca. Tuhan memberkati.

Ita Wakhu Purom, 17 Juli 2020.

Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____

Share :

Baca Juga

Opinion

Presiden Baptis Papua Socrates Sofyan Yoman Mengguncang NKRI
Marinus Yaung

Opinion

ISU RASIALISME DAN ISU HAM PAPUA : DUA INSTRUMEN DIPLOMASI PAPUA MERDEKA

Opinion

Suara Bagi Kaum Tertindas Dan Tak Besuara: Saya Menulis  Untuk Membangun Kesadaran, Persatuan, Harapan & Optimisme Bangsa Papua Barat
Moderator Dewan Gereja Papua (Wpcc) Pdt. Dr Benny Giay

Opinion

‘INDONESIA BELUM MENGINDONESIAKAN PAPUA,WALAUPUN INDONESIA SUDAH MERDEKA 74 TAHUN’: GUB PROV. PAPUA’, LE.

Opinion

Anjing menggonggong di belakang, saudagar (ULMWP) terus melaju dengan inovasi dan kreativitasnya

Opinion

SEJARAH SINGKAT PERUBAHAN NAMA GEREJA BAPTIS PAPUA
pdt-socratez-sofyan-yoman

Opinion

Penguasa Indonesia Berhasil Menciptakan  Sabung Ayam Atau Politik Adu-Domba Terbuka Antar Sesama  Penduduk Orang Asli Papua

Opinion

Penyelesaian Pelanggaran Ham Berat Masa Lalu  Di Indonesia Merupakan Kado Ulang Tahun Dalam Rangka Hari Prolamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Yang Ke 77