Artikel: Akar Konflik Papua-Indonesia
MEMBONGKAR AKAR KONFLIK PAPUA-INDONESIA YANG MENYEBABKAN LUKA MEMBUSUK, LUKA BERNANAH, KANKER ATAU TUMOR GANAS DI DALAM TUBUH BANGSA INDONESIA
(Rakyat dan Bangsa Papua demi martabat kemanusiaan di atas TANAH leluhur kita, kita HARUS sepakat, bahwa akar konflik Papua-Indonesia ialah: 1. Rasisme; 2. Fasisme; 3. Militerisme; 4. Kapitalisme; 5. Kolonialisme;6. Ketidakadilan;7. Pelanggaran Berat HAM yang menyebabkan proses Genocide penduduk orang asli Papua; 8. Sejarah Pengggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa Pepera 1969)
Oleh Gembala Dr. Soctatez S.Yoman,MA
“Orang Indonesia ini pintar menyembunyikan watak RASISME .” (Pdt. Dr. Benny Giay, Moderator Dewan Gereja Papua (WPCC), 31/06 2021).
Theo van den Broek menggambarkan militerisme di Papua dengan tepat.
“Presiden Jokowi semakin bergerak kebelakang dan perlahan-lahan keluar dari kerumitan persoalan Papua, sedangkan panggung semakin diduduki oleh pensiunan militer: Moeldoko, Ryamizard, Hendropriyono, Prabowo, dan Wiranto. Dan, hal ini BUKAN berita baik bagi Papua.” (Sumber: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum: 2020:35).
Dandhy Laksono, dengan tepat mengatakan: “Situasi Papua terus memburuk karena politikus di Jakarta miskin inovasi, mabuk nasionalisme sempit, dan tak cukup cerdas mengambil terobosan politik. Menyerahkan urusan Papua pada para serdadu yang 50 tahun tak membawa perubahan apa-apa.” (Sumber: Mantra Sukabumi, 27 Juni 2021).
Prof. Dr. Cahyo Pamungkas dalam pengantar buku Melawan Rasisme Dan Stigma Di Tanah Papua, dengan cerdas mengatakan:
“Persoalan utama di Papua sejak integrasi dengan Indonesia adalah RASISME terhadap orang Papua. Sikap dan kebijakan yang RASIS ini menjadi penyulut bagi berkembangnya gerakan Papua merdeka. Sikap yang rasis ini juga nampak dalam pelabelan stigma terhadap orang Papua yang kritis terhadap Pemerintah sebagai separatis, makar dan OPM. Meskipun tidak semua orang Indonesia rasis terhadap orang Papua, namun ada kencenderungan bahwa sikap RASIS ini muncul dalam ruang-ruang publik dan tidak pernah diproses hukum.” (Yoman, 2020:xxi).
Theo van den Broek dalam bukunya berjudul: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum” menggambarkan sebagai berikut:
“Faktanya bahwa orang Papua dinilai sebagai ‘sekumpulan monyet’ memang sangat tidak dapat diterima orang asli Papua (OAP) maupun orang non-asli Papua. Penilaian ini dialami sebagai suatu penghinaan berat sekaligus suatu kontras yang esktrem dengan sikap yang selalu ditunjukkan bangsa Papua dalam penerimaan ribuan orang dari luar Papua (migran) yang mau menetap dan mencari nafkah di Tanah Papua. Pengalaman bahwa mereka (OAP) digambarkan sebagai ‘monyet’ merupakan suatu pukulan yang sangat keras, sangat tidak dapat diterima dan merendahkan harganya orang Papua.” (2020:5).
“Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia…(Prof. Dr. Franz Magnis). “Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Pastor Frans Lieshout,OFM).
Para pembaca yang mulia dan terhormat, penulis menjadikan komentar Prof Dr. Franz Magnis and Pastor Frans Lieshout, OFM, sebagai “Mukadimah” dalam perjuangan keadilan, perdamaian, martabat kemanusiaan, kesamaan derajat dan hak politik penentuan nasib sendiri (the right to self determination) rakyat dan bangsa Papua Barat. Penulis tetap dengan konsisten dan berulang-ulang mengutip dalam setiap artikel penulis.
Konflik berdarah di Papua yang Indonesia dengan moncong senjata selama 58 sejak 1 Mei 1963 telah menjadi penyakit “kanker” atau “tumor ganas” di dalam tubuh bangsa Indonesia. Dan menurut Prof Magnis, “Luka Membusuk” dan menurut Pastor Lieshout, ” Luka Bernanah” di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963, rakyat dan bangsa Papua dibohongi dengan berbagai bentuk dan cara oleh penguasa asing kolonial modern Indonesia. Rakyat dan bangsa Papua, termasuk rakyat dan bangsa Indonesia dan juga komunitas internasional mendengar dan menerima semua apa yang dilakukan penguasa kolonial modern Indonesia terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat tanpa kritis dan protes.
Penguasa kolonial modern Indonesia dari waktu ke waktu menghadapi dan menindas rakyat dan bangsa Papua Barat dengan senjata kebohongan dan juga moncong senjata. Rakyat dan bangsa Papua Barat diperlakukan seperti hewan dan binatang buruan tanpa mereka merasa bersalah dan berdosa. Penguasa kolonial modern Indonesia telah menjadi seperti wajah Firaun di era modern dalam menduduki, menjajah, menindas dan memusnahkan penduduk asli Papua.
Dalam realitas kehidupan yang tidak normal ini, perlu kita belajar, mengetahui dan mengerti tentang penyebab luka membusuk dan luka bernanah serta penyakit “kanker” atau “tumor ganas” yang menjadi akar konflik Papua dengan Indonesia, yaitu: Rasisme; Fasisme; Militerisme; Kapitalisme; Kolonialisme; Ketidakadilan; Pelanggaran Berat HAM yang menyebabkan proses Genocide penduduk orang asli Papua; Sejarah Pengggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa Pepera 1969; dan Status politik Papua dalam wilayah Indonesia.
Penguasa kolonial modern Indonesia yang bertangan besi dan manifestasi wajah firaun ini membuat atau membangun Topeng dan Tameng atau Wayang.
Apa yang dimaksud dengan Topeng dan Tameng serta Wayang? Penulis maksudkan ialah penguasa kolonial modern Indonesia, TNI-Polri memproduksi Hoaks, Mitos, Stigma, yaitu: separatis, makar, opm, kkb, teroris dan Otsus jilid II 15 Juli 2021, untuk menyembunyikan dan akar konflik Papua-Indonesia yang sudah menjadi luka membusuk, luka bernanah dan kanker atau tumor ganas.
Luka membusuk, luka bernanah, kanker atau tumor ganas dalam tubuh bangsa Indonesia tidak dapat diselesaikan dengan hoax, mitos, stigma, label dan otsus jilid II 15 Juli 2021.
Pelabelan OPM dengan label teroris adalah bagian tak terpisahkan dari hoax, mitos, stigma penguasa kolonial Indonesia adalah bagian integrasi dari menyembunyikan akar konflik Papua-Indonesia. Oleh karena itu, DEWAN GEREJA PAPUA (WPCC) menolak pelabelan OPM label teroris dari penguasa kolonial Indonesia.
“…Bapak Presiden sudah menetapkan OPM sebagai “teroris”, sehingga, kami, Dewan Gereja Papua menolak keputusan Pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan OPM sebagai teroris; karena ini pertanda Pemerintah Republik Indonesia yang anggota Dewan HAM PBB masih menggunakan Tatapan Kolonial. Pemerintah Indonesia masih miskin pemikiran dan pendekatan kemanusiaan di Papua, walaupun membela HAM rakyat Palestina dan Roningha di Myanmar di depan Forum-forum PBB dan Forum Internasional lainnya.” ( Yoman, 2021:152).
- Apakah OPM pernah membom Gereja atau Masjid di Makassar, Jawa atau Sumatra?
- Kami juga bertanya apakah OPM pernah membom Mal atau stasion kereta api di Jakarta, Surabaya, London, New York, Paris, Malaysia atau Sydney dengan bekerja sama dengan ISIS, Jemaah Islamiah, dan HTI di Indonesia?
- Apakah OPM terbukti bekerja sama dengan: Alqaedah, Jemaah Islamiah, ISIS, HTI di Indonesia yang mensuplay senjata untuk OPM? Yang kami Dewan Gereja Papua (WPCC) baca di Media di Tanah Papua ialah: Oknum aparat di beberapa wilayah sudah terbukti menjual senjata dan amunisi kepada OPM; Apakah OPM binaan TNI-POLRI atau OPM benaran?
- Terkait kemungkinan OPM sudah terlibat dalam pemboman di Asia, Eropa, Amerika, kami juga bertanya kepada komunitas internasional: Apakah OPM bekerja sama dengan Jemaah Islamiah, ISIS membom New York dan Madrid dan kota lain? Apakah bapak Presiden sudah berkonsultasi dengan DPR RI, atau Negara lain sebelum OPM ditetapkan sebagai Teroris? Ataukah ini hanya permainan untuk keamanan Republik Indonesia ke depan:
a. membunuh pendatang atau membakar Medjid di Tanah Papua (yang belum pernah terjadi) dan menuduh atau mengaku Teroris Papua pelakunya?
b. ataukah Penetapan OPM sebagai Teroris ini dalam rangka menyiapkan OPM binaan TNI-POLRI menjadi pelaksana dari program ini; dan menuduh OPM teroris Papua sebagai pelakunya?
d. apakah ini trik atau taktik untuk mencegah Anggota Dewan HAM PBB yang sedang ditekan 85 Negara untuk kunjungi ke Tanah Papua? (Sumber: Kami Bukan Bangsa Teroris: Yoman, 2021:153-154).
Dalam Prolog buku ini, Usman Hamid menegaskan:
“Definisi tentang terorisme di dalam peraturan perundang-undangan kita sangat longgar. Produser penetapan organisasi teroris ini pun terasa janggal karena tidak mengikuti mekanisme hukum yang berlaku.”
(Yoman, 2021: xii).
Akar Konflik Papua-Indonesia telah menjadi luka membusuk dan luka bernanah dan kanker atau tumor ganas, maka Dewan Gereja Papua (WPCC) mendukung penuh jalan penyelesaian yang dirumuskan LIPI. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Akhir dari artikel ini, penulis kesimpulan bahwa akar konflik Papua-Indonesia yang berlangsung selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai tahun 2021 ini BUKAN seperatis, makar, opm, kkb, teroris. Semua ini hanya hoax, mitos, stigma negatif, label negatif yang diproduksi dan dipelihara dan digunakan moncong senjata sebagai Topeng, Tameng dan Wayang untuk menutupi dan menyembunyikan AKAR KONFLIK PAPUA-INDONESIA yang sesungguhnya, yaitu: 1. Rasisme; 2. Fasisme; 3. Militerisme; 4. Kapitalisme; 5. Kolonialisme; 6. Ketidakadilan;7. Pelanggaran Berat HAM yang menyebabkan proses Genocide penduduk orang asli Papua; 8. Sejarah Pengggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa Pepera 1969; dan 9. Status politik Papua dalam wilayah Indonesia.
Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, dengan iman menggambarkan tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.”
(Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.”
(Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Solusi persoalan yang sangat pelik, kronis dan tragedi kemanusiaan yang terpanjang dan terlama di Asia Pasifik ini, tidak relevan dan tidak cocok dengan Otonomi Khusus Jilid II.
Solusi yang tepat, realistis, bermartabat dan mendamaikan untuk kemenangan kedua belah pihak, yaitu Pemerintah Republik Indonesia duduk satu meja dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan ditempat netral, seperti contoh RI-GAM pada 15 Agustus 2015 di Helsinki.
Doa dan harapan penulis, para pembaca mendapat pencerahan.
Selamat membaca. Waa…Waa….
Ita Wakhu Purom, Senin, 2 Agustus 2021
Penulis:
- Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;
- Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC);
- Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC); dan
- Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).