Realitas/Fakta
PAPUA ADALAH LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH DALAM TUBUH BANGSA INDONESIA
(Diplomat Indonesia di PBB Silvany Austin Pasaribu menjawab kepada PM Vanuatu Mr. Bob Loughman: “Anda bukanlah representasi dari orang Papua, dan berhentilah berfantasi untuk menjadi salah satunya..” Kalau demikian, apakah Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo berbicara tenntang Myanmar dan Palestina adalah representasi orang Myanmar dan Palestina? Apakah pak Jokowi harus berhenti berfantasi untuk menjadi salah satunya? Meresponi jawaban diplomat Indonesia, dengan tepat Otto Syamsuddin Ishak mengatakan kepada diplomat Indonesia, Silvany: “Rupanya merasa heroic, tapi faktualnya adalah konyol dan merugikan Republik Indonesia itu sendiri.”
Oleh Dr. Socratez S.Yoman, MA
“Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (Franz Magnis).
“Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Pastor Frans Lieshout).
Keadaan rakyat Papua yang sangat buruk dan tidak normal akibat kekerasan, kekejaman dan kebrutalan Indonesia sejak 1 Mei 1963. Kekejaman itu melahirkan pelanggaran berat HAM selama 57 tahun yang belum pernah disesaikan sampai tahun 2020. Pelanggaran berat HAM itu dapat disimpulkan dengan sempurna oleh dua rohaniawan dengan istilah medis, yaitu luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia.
Papua luka membusuk dan bernanah itu semakin diperparah atau semakin membusuk/bernanah dan menebarkan aroma busuk ke seluruh dunia dengan pernyataan diplomat Indonesia Silvany Austin Pasaribu di Sidang PBB pada 29 September 2020.
Otto Syamsuddin Ishak menyatakan pendapatnya tentang diplomasi Indonesia di PBB.
“Dari sisi prinsip diplomasi Indonesia, agaknya tindakan diplomasi yang diperankan oleh Silvany kontradiksi dengan kaidah seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak, maka hal itu menjadi kontraproduktif. Rupanya merasa heroic, tapi faktualnya adalah konyol dan merugikan Republik Indonesia itu sendiri.”
Silvany Austin Pasaribu, pada 29 September 2020 di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mewakili bangsanya menanggapi pernyataan Pemerintah Vanuatu di PBB, sebagai berikut:
“Anda bukanlah representasi dari orang Papua, dan berhentilah berfantasi untuk menjadi salah satunya”. “Kami menyerukan kepada Pemerintah Vanuatu untuk memenuhi tanggung jawab hak asasi manusia Anda kepada rakyat Anda dan dunia. Jadi sebelum Anda melakukannya, mohon simpan khotbah Anda untuk diri Anda sendiri…”
Kata-kata atau kalimat diplomat Indonesia, Sylvany Austin Pasaribu di forum terhormat di PBB seperti:
“…..Anda bukanlah representasi orang Papua….berhentilah berfantasi….mohon simpan khotbah Anda untuk diri Anda sendiri..”
Pertanyaannya ialah apakah ketika Presiden Republik Indonesia atau Indonesia membela hak rakyat Myanmar, Palestina, itu bukanlah representasi orang Myanmar dan Palestina?
Apakah Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo berbicara tenntang Myanmar dan Palestina adalah representasi orang Myanmar dan Palestina? Apakah pak Jokowi harus berhenti berfantasi untuk menjadi salah satunya?
Kalimat kekanak-kanakan dalam forum resmi PBB dikritik oleh Otto Syamsuddin Ishak sebagai berikut:
“Rupanya merasa heroic, tapi faktualnya adalah konyol dan merugikan Republik Indonesia itu sendiri.”
Pernyataan diplomat Indonesia di PBB adalah paradoks. Orang-orang yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi telah menyatakan situasi Papua itu buruk, tidak normal, tidak beradab, memalukan, luka membusuk, luka bernanah. Pernyataan iman dari Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout adalah fakta, realitas, kenyataan, bukti tentang apa yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua ini dibantah oleh diplomat Indonesia di forum resmi PBB.
“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia…..“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Sementara Pastor Frans Lieshout melihat bahwa “Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).
Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid mengkritisi pernyataan diplomat Indonesia di PBB pada COMPAS Live sebagai berikut:
“Paradigma diplomasi kita sudah rendah terlewati zaman. …Tidak menjawab persoalan, itu justru kredibilitas kita ada masalah. Persoalan hak asasi manusia itu bukan persoalan dalam negeri tetapi persoalan global. Seperti kita berbicara persoalan HAM di Myanmar, Suria, Palestina.”
Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua yang tewas ditembak oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Sabtu, 19 September 2020. Pendeta Yeremia tewas ditembak Pasukan TNI dalam operasi militer pada saat Pendeta Yeremia ke kandang babi miliknya untuk memberi makanan semakin membuat luka membusuk dan bernanah dalam tuhuh bangsa Indonesia.
Pendeta Yeremia adalah Ketua Sekolah Teologia Atas (STA) di Hitadipa dan gembala jemaat Imanuel Hutadipa dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Daerah Hitadipa wilayah Papua 3, Penterjemah Alkitab bahasa Moni dan tokoh gereja dan juga pemuka masyarakat suku Moni.
Perilaku negara terhadap orang asli Papua yang tidak adil, tidak beradab dan tidak manusiawi ini bertentangan dengan martabat kemanusiaan kita dan juga tidak sesuai dengan era perkembangan moderen yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan.
“Era modern yang ditandai dengan semangat kesetaraan dan demokratisasi meneguhkan bahwa sesama manusia adalah sama dan karena itu segala bentuk perbudakan, penjajahan, penindasan dan sejenisnya seperti yang belaku dalam budaya feodalisme dan kolonialisme sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan harus ditinggalkan.”
( Pramoedya Ananta Toer, Muhammad Muhibbddin: 2019: hal. 127).
Dalam upaya untuk memulihkan luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sudah menyampaikan hasil diagnosa penyakitnya. LIPI sudah membantu penguasa Indonesia dengan penemuan penyakit yang menyebabkan luka membusuk dan bernanah itu.
Jadi, Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Solusi untuk mengobati luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia ialah Pemerintah Republik Indonesia dan ULMWP duduk satu meja untuk perundingan damai tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral untuk menemukan solusi damai yang permanen.
Selamat membaca. Waa…waa..waa..
Agamua, Kamis, 1 Oktober 2020
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).