Home / Realitas Geopolitik Global

Tuesday, 29 September 2020 - 19:51 WIB

Realitas Geopolitik Global INDONESIA DUKUNG KEMERDEKAAN PALESTINA DAN VANUATU DUKUNG KEMERDEKAAN WEST PAPUA

Realitas Geopolitik Global

INDONESIA DUKUNG KEMERDEKAAN PALESTINA DAN VANUATU DUKUNG KEMERDEKAAN WEST PAPUA

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA

“PAPUA TETAPLAH LUKA BERNANAH DI INDONESIA.” ( Pastor Frans Lieshout OFM)

“Vanuatu angkat masalah Hak Asasi Manusia (HAM), Rasisme dan termasuk Kasus pembunuhan Pendeta Zanambani, tetapi Menteri Luar Negeri RI melalui staf ini menggurui PBB tentang aturan-aturan normatif yang dikeluarkan PBB. Ngga nyambung.” (Natalius Pigai, Aktivis Kemanusiaan, 27 September 2020).

Markus Haluk dalam artikel dengan topik: “SEMUT DI SEBERANG LAUTAN TAMPAK, GAJAH DI PELUPUK MATA TAK TAMPAK” secara filosofis mengatakan:

“Situasi ini bagaikan pepatah klasik “Semut di seberang lautan tampak, Gajah di pelupuk mata tak tampak”. Atau bahasa Yesus sebagaimana dikisahkan dalam Injil Matius, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui,” (Matius 7:3). (Markus Haluk, Direktur Eksekutif, ULMWP di West Papua, 24 September 2020).

Dalam buku berjudul: MELAWAN RASISME DAN STIGMA DI TANAH PAPUA: Kumpulan Catatan Seorang Gembala” (Yoman,2020:79) diabaikan topik artikel: “Indonesia Dukung Kemerdekaan Palestina dan Vanuatu Dukung Kemerdekaan West Papua.”

Dua bangsa berdaulat, yaitu Indonesia dan Vanuatu berdiri atas dasar kebijakan politik luar negeri masing-masing. Kebijakan itu terbukti dengan Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina yang beretnis Arab mayoritas penduduknya beragama Islam dan Vanuatu mendukung kemerdekaan West Papua beretnis Melanesia yang mayoritas beragama Kristen.

Vanuatu bersuara di PBB tentang nasib dan masa depan saudara-saudara satu rumpun atau lebih tepat keluarganya bangsa Melanesia yang sedang diduduki, dijajah, ditindas dan dimusnahkan oleh kolonial Indonesia yang feodal dan rasialis. Vanuatu dalam pembelaannya bersuara tentang kekejaman, kejahatan dan pelanggaran berat HAM yang dilakukan Indonesia. Vanuatu berbicara berdasarkan fakta, data, realitas dan bukti-bukti kekejaman dan kejahatan Indonesia atas rakyat dan bangsa West Papua.

Contoh terbaru demo mahasiswa di Jayapura pada 28 September 2020 dibubarkan dengan cara brutal oleh gabungan TNI-Polri. Aparat keamanan Indonesia menggunakan cara-cara kriminal dan premanisne yang tidak profesional.

Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua yang ditembak mati oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Sabtu, 19 September 2020. Pendeta Yeremia tewas ditembak Pasukan TNI dalam operasi militer pada saat Pendeta Yeremia ke kandang babi miliknya untuk memberi makanan.

Pendeta Yeremia adalah Ketua Sekolah Teologia Atas (STA) di Hitadipa dan gembala jemaat Imanuel Hutadipa dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Daerah Hitadipa wilayah Papua 3, Penterjemah Alkitab bahasa Moni dan tokoh gereja dan juga pemuka masyarakat suku Moni.

Kekejaman dan kejahatan TNI ini bagian yang tak terpisahkan perintah operasi militer dari Presiden Republik Indonesia Ir.Joko Widodo di Nduga Papua sejak Desember 2018 yang menyebabkan pelanggaran berat HAM besar-besaran dilakukan TNI di Papua.

Pendeta Geyimin Nirigi tewas ditembak oleh pasukan elit TNI tanggal 19 Desember 2018 di Distrik Mapenduma. Korban di suruh menggali tanah di belakang halaman rumah dan kemudian ditembak mati dan disiram dengan minyak tanah di tubuhnya dan dibakar dengan api. Kapendam XVII Cenderawasih, Mohamad Aidi menyebarkan hoax bahwa pendeta Geyimin Nigiri masih hidup dan sehat-sehat. Tetapi, hasil investigasi Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua dipimpin langsung Direktur Theo Hesegem pada 25-27 Desember 2018 membuktikan, Pdt. Giyimin Nigiri (80/L) benar tewas di tangan pasukan elit TNI.

BACA JUGA  Indonesia Kolonial Primitif Dan Rasis Di Era Modern Yang Menduduki Dan Menjajah Bangsa Papua Barat Sejak 19 Desember 1961 Sampai Tahun 2022

Kejahatan dan pelanggaran berat HAM lain yang dilakukan TNI menewaskan Pendeta Elisa Tabuni di Tingginambut, Puncak Jaya pada 16 Agustus 2004. Sebelumnya Pendeta Elisa Tabuni ditangkap, diborgol tanganya dan tewas ditembak oleh pasukan Kopassus dibawah pimpinan Dansatgas BAN-II/Koppasus, Letkol Inf.Yogi Gunawan.

Militer Indonesia yang menewaskan 4 siswa di Paniai pada 8 Desember 2014 belum pernah diselesaikan. Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo berjanji dan janji itu belum pernah dibuktikan.

Status Quo pendekatan berkultur militer tidak pernah berubah. Pastor Frans Lieshout memberikan kesaksian tentang wajah Indonesia yang berkultur militer, brutal dan kejam sejak awal Indonesia memulai konflik di Papua sebagai berikut:

“Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian. Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim ke kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.”
( Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020, hal. 593).

Dr. Reza A.A Wattimena melalui artikel bertopik: “Sampai Kapan Papua Bergejolak? Kajian Strategis Atas Konflik Politik dan Konflik Sumber Daya di Papua”, menyatakan kondisi riil rakyat Papua sebagai berikut:

“Persoalan HAM sudah menjadi persoalan lama di Papua. Berbagai pelanggaran HAM terus terjadi terhadap masyarakat Papua, dan seringkali tidak ditanggapi dengan tepat. Hal ini terkait erat dengan konflik politik maupun konflik sumber daya yang terjadi di Papua. Sampai sekarang, sebagian masyarakat Papua masih mempertanyakan legitimasi kekuasaan Indonesia atasnya. Permasalahan menjadi semakin rumit, ketika sumber daya alam Papua dikeruk oleh para pendatang, terutama perusahaan bisnis yang bekerja sama dengan militer dan pemerintah Indonesia, namun tidak memberikan sumbangan nyata bagi perkembangan Papua secara menyeluruh…”

“Papua merupakan salah satu daerah yang paling bergejolak di Indonesia. Selama puluhan tahun, berbagai konflik politik, ekonomi sampai dengan militer terjadi di sana. Rakyatnya juga masih banyak yang hidup dalam kemiskinan serta keterbelakangan, walaupun alamnya memiliki kekayaan alam yang amat besar. Sampai detik tulisan ini dibuat, berbagai bentuk persoalan pelanggaran HAM dan ketidakadilan ekonomi juga masih belum mendapatkan jalan keluar yang memadai. Di dalam berbagai krisis tersebut, tuntutan Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia pun terus berkumandang.”

Isi pesan dari buku Melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua ( Yoman, 2020: hal. 79) sebagai berikut:

“Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina. Vanuatu mendukung kemerdekaan West Papua. Vanuatu berjuang untuk kedaulatan dan kerhormatan martabat kemanusiaan. Indonesia berjuang untuk kedaulatan wilayah dan ekomomi. Vanuaru berjuang untuk menyatakan kebenaran, memperpaiki kesalahan sejarah Pepera 1969. Indonesia berjuang untuk memelihara kejahatan, ketidakbenaran, dan ketidakadilan sejarah Pepera 1969. Vanuatu mempunyai moral politik dan rwputasi internasional. Sedangkan Indonesia bangsa yang bermoral rendah dan reputasi buruk di tingkat global atau pelaku kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran berat HAM dan juga penyebar hoax.”

BACA JUGA  Jangan Asal Omong Di Media Tentang Gubernur Papua Lukas Enembe Karena Beliau Benar Sakit

“Dalam konteks West Papua, Pemerintah Indonesia, TNI-Polri selalu mengontrol media elektronik, cetak, TV, dan radio dengan ketat dan mereka menyampaikan informasi-informasi tentang West Papua sejak 1961 tak secara benar, tak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Mereka menyampaikan rakyat West Papua sebagai orang-orang jahat yang melawan Indonesia.”

“Proses pendidikan tersebut yang penuh kebohongan berlangsung selama 58 tahun dan sudah berurat akar. Dalam proses yang cukup panjang itu, pikiran hati dan rakyat Indonesia dimasukkan berita-berita tidak benar, tidak adil dan tidak sesuai dengan kenyataan dalam hidup bangsa West Papua. Akibatnya, hampir 90% rakyat Indonesia menjadi buta hati, buta mata, buta pikiran tentang persoalan yang sesungguhnya.”

“Puji Tuhan, belakangan ini, pemerintah Vanuatu dan Negara-negara Pasifik memainkan peran penting dan sedang mendidik dan mengajar rakyat Indonesia dan komunitas global tentang apa yang sebebarnya ada di West Papua. Yang jelas dan pasti adalah sesuatu yang dibangun di atas kebohongan, ketidakbenaran, ketidakadilan, kekerasan dan kejahatan tidak pernah berumur panjang. Maka pada saatnya: Rakyat dan Bangsa West Papua akan menyampaikan: “Good bye Indonesia. Are you believe it or no. We wait and see.”

Melihat seluruh dinamika dan realitas yang kejam dan brutal ini, Prof. Dr. Franz Magnis menegaskan:

“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia…..“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).

“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).

Sementara Pastor Frans Lieshout melihat bahwa “Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).

Kesimpulannya: “Kejahatan, kekejaman dan kebohongan Indonesia berjalan telanjang di tempat terbuka dan berteriak-teriak pada siang bolong di forum terhormat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia menjadi bangsa pemberi kontribusi berita hoax di depan para pemimpin terhormat di PBB dan komunitas internasional tentang persoalan West Papua.”

“Ada pepatah: “Meskipun kebohongan itu berlari secepat kilat, satu waktu, kebenaran itu akan mengalahkannya” (Prof. Dr. Jacob E. Sahetapy, S.H.,MA).

Solusi untuk mengobati luka bernanah dan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia ialah Pemerintah Republik Indonesia dan ULMWP duduk satu meja untuk perundingan damai tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral untuk menemukan solusi damai yang permanen.

Selamat membaca. Waa…waa..waa..

Ita Wakhu Purom, Selasa, 29 September 2020

Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________

Share :