Home / Article / PGBWP

Saturday, 10 December 2022 - 00:00 WIB

Sambutan Pembukaan Kongres  ke-19 PGBWP Wamena, 10-15 Desember 2022

Foto Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. Gembala DR. A.G. Socratez Yoman,MA

Foto Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. Gembala DR. A.G. Socratez Yoman,MA

GEREJA BENTENG TERAKHIR BAGI PERLINDUNGAN PENDUDUK ORANG ASLI PAPUA 

Sambutan Pembukaan Kongres  ke-19 PGBWP Wamena, 10-15 Desember 2022

Oleh : A.G. Socratez Yoman, MA

Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)

Saudara-saudara para undangan dan peserta Kongres sebagai bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri (1 Petrus 1:9), perlu mengetahui prinsip dan sejarah Gereja Baptis. Gereja Baptis berdiri dengan keyakinan iman, bahwa Alkitab sebagai pedoman hidup. Gereja Baptis mempunyai prinsip, yaitu Otonom, Mandiri, Independen dan ada keterpisahan antara Negara atau pemerintah. Gereja Baptis mempunyai moto: “One Lord, One Faith, One Baptist” (Satu Tuhan, Satu Iman, Satu Baptisan).

Gereja Baptis berafiliasi atau bekerjasama dengan Baptist World Alliance (BWA), Australian Baptist Missionary Society (ABMS) atau nama terbaru Global InterAction (GIA), Asian Baptist Federation (ABF), Pasific Conference of Churches (PCC), Dewan Gereja Papua (West Papua Council of Churches). 

Para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya hormati.

Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP) menganut sistem Kongregasional dimana Keputusan Tertinggi dilahirkan melalui Kongres yang diadakan setiap lima tahunan yang disebut Pesta Rohani Terbesar bagi warga Baptis. Kongres dihadiri oleh masing-masing utusan dari 327 Jemaat, 2 Gereja Otonom, 27 wilayah Baptis dari seluruh Tanah Papua, Lembaga-lembaga dan Pengurus Badan Pelayan Pusat atau Kepresidenan.

Tujuan Kongres ialah beribadah kepada Tuhan secara bersama-sama selama Kongres berlangsung, melakukan evaluasi lima tahunan untuk lima kebijakan pokok: (1) Penginjilan; (2) Pendidikan; (3) Pelayanan Kesehatan; (4) Pemberdayaan ekonomi warga Baptis; dan (5) perjuangan keadilan, perdamaian dan hak penentuan nasib sendiri; dan menyusun program baru dan memilih dan melantik Pengurus Kepresidenan yang baru untuk periode 2022-2027.

Moto pelayanan Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP) ialah “Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri: Mandiri Dalam Teologi, Daya dan Dana (AMSAL 5;15).

Saudara-saudara, para undangan, dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya hormati.

Pelaksanaan Kongres ke-19 PGBWP bertepatan dengan Hari HAM Internasional pada hari ini, 10 Desember 2022. Pada hari ini, seluruh komunitas global di seluruh dunia sedang memperingati dan mendoakan para korban pelanggaran HAM yang merupakan kejahatan kemanusiaan yang disebabkan oleh perang, konflik, dan juga korban dari berbagai bentuk kepentingan. Dalam peringatan ini, kita mengingat kebaikan, karya dan legacy yang mereka wariskan untuk martabat kemanusiaan, keadilan, kesamaan derajat untuk perdamaian dunia. Warga Baptis, para undangan dan peserta Kongres ke-19 PGBWP sebagai bagian integral yang tak terpisah dari komunitas global turut berpartisipasi memperinganti dan mendoakan hari Hak Asasi Manusia Internasional ini.

Saudara-saudara para undangan dan peserta Kongres ke-19 PGBWP sebagai bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri (1 Petrus 1:9), mari, kita melihat realitas kehidupan POAP.

Sambutan ini dibangun dan didasari atas nilai-nilai Kekristenan, yaitu perspektif Allah, Firman TUHAN, Injil adalah kekuatan Allah,  hak asasi manusia, prinsip yang dianut gereja-gereja Baptis dan gereja-gereja pada umumnya dan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang diwariskan leluhur dan nenek moyang POAP di atas Tanah Papua.

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk menuntun orang alam kebenaran” (2 Timotius 3:16).

Gereja Baptis dan gereja-gereja Tuhan harus berperan aktif dengan memainkan fungsi dan tugas pastoral dengan suara profetis untuk menguji dan menegakkan kebenaran-kebenaran sebagai pondasi dan pijakan hidup POAP. Karena itu, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” ( 1 Tesalonika 5:21).

Berbicara hak asasi atau hak dasar manusia (HAM) meliputi:  hak hidup bermartabat dan terhormat sebagai manusia beradab, hak hidup setara (equal life), hak pendidikan, hak kesehatan, hak ekonomi, hak kebebasan berkumpul dan berbicara di depan umum, hak mendapatkan pekerjaan, hak memelihara warisan nilai sejarah, hak memelihara dan merawat bahasa dan kebudayaan, hak untuk menjaga tanah, hak untuk menjaga hutan, hak untuk menjaga sungai, hak untuk hidup damai, hak untuk beribadah, hak politik yang didalamnya hak untuk penentuan nasib sendiri (the right of self-determination), dan masih banyak hak-hak dasar lainnya.

Para undangan dan peserta Kongres ke-19 PGBWP yang Tuhan Yesus kasihi dan saya hormati.

Ada beberapa pertanyaan mendasar pada momentum Pembukaan Kongres ke-19 PGBWP yang bertepatan dengan Hari HAM Internasional, 10 Desember 2022 ini. Pertanyaan-pertanyaannya sebagai berikut:

  1. Bagaimana seluruh hak-hak Penduduk Orang Asli Papua (POAP) selama 59 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang ini?
  2. Apakah Gereja dan Negara atau Pemerintah sudah memberikan jaminan perlindungan dan harapan hak-hak hidup POAP?
  3. Apakah Gereja dan Negara atau Pemerintah membangun dan memajukan dalam hak-hak dasar POAP dengan landasan kebenaran, keadilan dan penghormatan harkat, martabat dan hak politik dan hak-hak lainya ?

Jawabannya: Kalau ya, mana buktinya? Kalau tidak, mana faktanya? 

Para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya hormati.

Mengapa, saya mengatakan Gereja Baptis dan gereja-gereja di Tanah Papua harus menguji segala sesuatu? Karena  kita bercermin dari terang  Firman Tuhan, Injil Yesus Kristus, bahwa Hak Asasi Manusia dan realitas kehidupan POAP di dalamnya ada warga Baptis, yang dari masa ke masa mengalami hidup dalam kebohongan, kemunafikan, kepura-puraan, kepalsuan sejarah, ideologi dan nasionalisme sempit yang ditanam, dirawat, dipelihara, dipertahankan dan diwariskan oleh penguasa pemerintah Indonesia.

POAP menghadapi ketidakadilan hukum, tragedi kemanusiaan, kelumpuhan ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan, ketidakadilan dalam hak politik dan ketidakadilan sejarah, peminggiran atau penggusuran dari Tanah leluhur mereka. Semua ketidakadilan ini selalu berjalan telanjang di depan mata kita. Masalah rasisme di Tanah Papua menjadi cermin untuk melihat situasi tersebut.

Kekuasaan Negara yang disemangati rasisme itu melahirkan tragedi kemanusiaan dan penderitaan panjang yang dialami POAP yang tidak pernah dikoreksi dari mimbar-mimbar Gereja di Tanah Papua. Ada kesalahan pemerintah, yaitu Pemerintah Indonesia setelah mengambil alih kekuasaan sepihak pada 1 Mei 1963 berdasarkan Penjanjian New York 15 Agustus 1962 dan Perjanjian Roma 30 September 1962 serta pelaksanaan PEPERA 1969 yang dimenangkan ABRI, sekarang TNI. Papua dimasukkan secara paksa ke dalam wilayah Indonesia dengan tulang punggung militer Indonesia atau dengan moncong senjata.

POAP, termasuk di dalamnya warga Baptis, dari waktu ke waktu harkat dan martabat kemanusiaannya telah direndahkan oleh penguasa pemerintah Indonesia dengan memberikan label dan stigma: GPK, GPL, OPM, separatis, makar, KKB, dan label paling kejam dan tidak beradab di era modern ini label ‘teroris’ oleh Menkopolhukam Republik Indonesia, Prof.Dr. Mahfud MD.

Suadara-saudara, para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya kasihi.

Pada kesempatan Hari HAM Internasional 10 Desember ini, kita bersama-sama menyoroti, bahwa   sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang, selama 59 tahun, penguasa Indonesia memproduksi, menjaga, merawat, dan menggunakan label dan stigma ini atas nama NKRI, kepentingan dan keamanan nasional dan juga bisnis atau ekonomi di Papua.

Contoh di depan kita, Operasi militer di Nduga, di Intan Jaya, di Puncak, di Yahukimo, di Pegunungan Bintang, di Maybrat. Sampai hari ini para pengungsi belum kembali ke kampung halaman mereka sebanyak 67.000 jiwa. Anak-anak usia sekolah tidak mendapat pendidikan yang layak dan telah kehilangan harapan masa depan mereka. Pelayanan kesehatan menjadi sangat buruk akibat operasi militer yang berlangsung lama. Akibat perang ini, POAP diusir dari tanah leluhur mereka dan di kampung yang sudah kosong itu dibangun basis-basis militer, dibangun pemukiman para migran atau orang-orang pendatang. Ini salah bentuk ‘pemusnahan etnis’ POAP dari tanah leluhur mereka.

Kebiadaban militer digambarkan dengan baik oleh Pastor Frans Leishout, OFM sebagai saksi mata, sebagai berikut:

“Pada 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.” (Sumber: Gembala dan Guru bagi Papua: Markus Haluk, 2020:593).

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menemukan empat akar persoalan di Papua:

  1. Sejarah dan politik penggabungan atau pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Indonesia;
  2. Kekerasan Negara dan Pelanggaran Berat HAM sejak 1965 sampai sekarang;
  3. Diskriminalisasi dan Marginalisasi Penduduk Orang Asli Papua di atas Tanah leluhur; dan
  4. Kegagalan Pembangunan di Tanah Papua.

Saudara-saudara, para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya kasihi.

Operasi militer itu tidak turun sendiri dari langit, tapi semua atas perintah presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo. Pada 5 Desember 2018, Presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo memerintahkan: “Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar.”  Perintah ini didukung dan diperkuat oleh wakil Presiden Yusuf Kalla pada 6 Desember 2018, “Kasus ini ya polisi dan TNI operasi besar-besaran.” Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pada 13 Desember 2018 mendukung: “DPR usul pemerintah tetapkan operasi militer selain perang di Papua.” Wiranto pada 13 Desember 2018 mendukung: “Soal KKB di Nduga Papua, kita habisi mereka.”

Dampak dari operasi militer, kehidupan ekonomi POAP benar-benar buruk, hancur atau dihancurkan dan kemiskinan diciptakan, kekayaan dirampok, dicuri, dijarah dan smelter dibangun di luar Papua di Jawa. Hasil-hasil tambang di Namangkawi, Ndugu-Ndugu (PT Freeport) di Mimika, minyak di Sorong, gas di Bintuni, dan hasil-hasil bumi lain dirampok dan dibawa keluar dari Tanah Papua. POAP sebagai pemilik tambang, emas, minyak, gas dimiskinkan, dimusnahkan, dimutilasi dengan berbagai label dan stigma dari penguasa Indonesia.

Kejahatan kemanusiaan seperti Biak berdarah pada 6 Juli 1998, Abepura berdarah pada 7 Desember 2000, (Orry Doronggi dan Johny Karunggu) tewas di tangan aparat keamanan dalam tahanan polisi, Wasior Berdarah pada 13 Juni 2001, Tewasnya Theodorus (Theys) Hiyo Eluay, dan hilangnya sopirnya Aristoteles Masoka pada 10 November 2001, Wamena berdarah pada 6 Oktober 2000, 4 April 2003, dan 23 September 2019, tewasnya Musa (Mako) Tabuni pada 14 Juni 2012, Paniai berdarah 8 Desember 2014, penembakan Pdt. Elisa Tabuni di Puncak Jaya pada 16 Agustus 2004, Pendeta Geyimin Nigiri di Nduga pada 19 Desember 2018, Pendeta Yeremia Zanabani di Intan Jaya pada 19 September 2020, dan ada misteri kematian Filep Samuel Karma salah satu pejuang Papua Barat merdeka dengan jalan damai pada 3 Oktober 2022.

Ada kriminalisasi dan politisasi para pemimpin Papua. Gubernur Papua bapak Lukas Enembe dikriminalisasi, Eltinus Omaleng dikriminalisasi, Ricky Ham Pagawak dikriminalisasi, dan Barnabas Suebu dikriminalisasi yang sekarang sudah bebas setelah menjalani hukuman, John Ibo dikriminalisasi dan masih banyak pemimpin Papua yang dikriminalisasi. Victor Yeimo dipenjarakan atas korban rasisme.  Pemimpin Papua dikriminalisasi, di politisasi, dipenjarakan karena melawan rasisme, gereja distigmasisasi, warga gereja dimutilasi.

Gereja Baptis dan gereja-gereja di Tanah Papua diperhadapkan untuk satu pilihan etis, moral dan iman untuk menghadapi tantangan tragedi kemanusiaan, ketidakadilan ini. Karena secara etika dan moral, bahwa pembunuhan, kriminalisasi itu salah dan secara iman itu sangat berdosa. Perilaku negara yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan POAP itu tidak dibenarkan dan harus dilawan.

 

Saudara-saudara, para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya kasihi.

Ada kesalahan dan kekeliruan besar selama ini yang dilakukan gereja-gereja di Tanah Papua, termasuk Gereja Baptis. Gereja selalu meng-copy paste atau meneruskan apa yang diproduksi oleh Negara. Gereja-gereja ikut-ikutan dan memperkuat label dan stigma yang diproduksi oleh Negara. Gereja-gereja di Papua ikut OPM-kan, separatis-kan, makar-kan, KKB-kan, dan teroris-kan. Bahkan ada yang lebih ekstrim, yaitu para pendeta dan gembala dari mimbar-mimbar gereja mengutuk dan menentang POAP yang berjuang untuk hak hidup, harkat dan martabat kemanusiaan dan hak politik untuk merdeka di atas Tanah leluhur mereka.

Kesalahan dan kekeliruan lain yang dipraktekkan oleh gereja-gereja di Papua selama ini ialah penguasa Indonesia didoakan dan diberikan berkat untuk Presiden, para Gubernur, para Bupati/Walikota sampai Kepala Desa/Distrik di kampung-kampung. Itu tugas dan kewajiban Gereja dan itu memang  baik. Tapi, persoalan, iman, teologis dan suara gembala yang menjadi diskriminatif ialah pada kesempatan yang sama, gereja mengabaikan dalam doa dari mimbar-mimbar bagi POAP yang berjuang untuk Papua Barat merdeka, TPNPB, KNPB, ULMWP dan wadah-wadah lain yang memperjuangkan harkat dan martabat POAP.

Pilihan  ini bertolak belakang tugas  yang diberikan  Yesus Kristus kepada Gereja, Gembala dan juga pendeta, yaitu “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-19). Tuhan Yesus Kristus memberikan mandat dan kuasa kepada Gereja-Nya untuk menggembalakan umat Tuhan secara utuh, holistik tanpa melihat perbedaan pandangan ideologi dan nasionalisme yang diperjuangkan. Gereja tidak berpihak pada salah satu kelompok atau golongan. Gereja berdiri untuk semua dan berpihak kepada yang tertindas, terabaikan, terpinggirkan, yang diam dan membisu. Gereja tidak boleh berada pada posisi netral, karena Tuhan Yesus Kristus sendiri tidak netral. Tuhan Yesus Kristus tidak netral, karena Ia menentang kuasa  Iblis dan kuasa dosa dan berpihak kepada umat Tuhan yang tak berdaya, yang lemah, yang menangis, yang dipenjara dan yang miskin.

Di Tanah Papua dalam kehidupan POAP ada dua kelompok manusia. Satu kelompok pendukung Indonesia atau NKRI harga mati, dan kelompok yang satu adalah pejuang sejati Papua Barat merdeka. Kedua kelompok ini bersama-sama hidup di Tanah Papua dan juga bersama-sama datang ke tempat ibadah sebagai Gereja Tuhan untuk bersekutu, bersaksi dan melayani. Baik yang pro-NKRI dan pro-Papua Merdeka sama-sama memberikan persembuhan, persepuluhan, kotak penginjilan, kotak pembangunan dan kotak koinonia. Pada saat menghitung uang-uang yang diberikan anggota jemaat itu, bendahara, majelis dan gembala tidak pernah pisahkan uang dari jemaat pro-merdeka dan pro-NKRI. Tapi, pada saat berdoa di mimbar gereja, para pemimpin gereja, pendeta dan gembala dengan setia dan teratur mendoakan pemerintah dari pusat sampai di kampung-kampung. Sedangkan umat Tuhan pro-merdeka, TPNPB, KNPB, ULMWP dan para pejuang Papua Merdeka diabaikan dan dilupakan dalam doa di mimbar-mimbar gereja.

Para pemimpin Gereja, pendeta dan gembala mengabaikan pertakataan Tuhan Yesus Kristus:

Roh Tuhan ada pada-Ku oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:19-19).

Paradigma atau cara pandang gereja yang salah dan keliru melihat umat Tuhan selama ini harus diubah. Gereja melihat umat dari cara pandang Allah dan bukan cara pandang para penguasa pemerintah dunia. Gereja sudah terjebak, terbelenggu dan terpenjara dan terindoktrinasi yang keliru, yaitu pemerintah adalah wakil Allah atau hamba Allah sesuai dengan Surat Roma 13:1-7.

BACA JUGA  Rasisme, Kapitalisme, Militerisme Merupakan Akar Konflik Dan Mesin Kekerasan Kolonialisme Indonesia Di Papua Sejak 1 Mei 1963

Dalam konteks Papua, kehadiran dan perilaku penguasa Indonesia yang dipertontonkan selama ini terhadap POAP ini tidak pantas dan layak disebut wakil Allah. Penguasa Indonesia mendemonstrasikan dengan menggunakan kekuatan TNI-Polri yang menindas dan menewaskan umat Tuhan sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini kita saksikan bersama. Ini tidak mencerminkan watak dan perilaku wakil atau hamba Allah. Ini wakil dan hamba siapa? Penguasa tangan besi ini kita dapat kategorikan ‘tangannya firaun’ di era modern di Papua. 

Saudara-saudara, para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya kasihi.

Di depan para pemimpin gereja, pendeta, gembala, anggota Jemaat sebagai gereja Tuhan dipecah-belah dan dikelompokkan menurut suku dan daerah dengan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang tidak sesuai dengan syarat-syarat pemerintahan. DOB adalah siasat politik pendudukan untuk penguasaan tanah dan sumber daya alam. DOB itu misi kepentingan keamanan, politik ekonomi, bisnis dan untuk mendatangkan atau memindahkan kelebihan penduduk Melayu di luar Papua. DOB itu menjadi mesin penghancur dan pembunuhan serta pemusnahan POAP. DOB adalah pintu kehancuran POAP dari keutuhan ke-Papua-an mereka dan dijadikan orang-orang asing diantara POAP sendiri. DOB mengantarkan POAP dalam bahaya dan ancaman serius.

DOB adalah operasi militer gaya baru. Istilah Dewan Gereja Papua (WPCC) adalah Remiliterisasi di Tanah Papua (Sumber: Surat Gembala tertanggal 7 Oktober 2020).  DOB adalah agenda militer untuk mendukung pendudukan dan perampasan Tanah dan pemusnahan POAP. DOB merupakan agenda militer itu terlihat dengan pernyataan Jenderal Abdul Mahmud Hendropriyono:

“Kalau dulu ada pemikiran sampai 7 provinsi. Yang diketengahkan selalu syarat-syarat untuk suatu provinsi. Ya, ini bukan syarat-syarat suatu provinsi, syarat untuk meredam pemberontakan. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Bukan begini. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Jadi, syarat-syarat seperti itu, ya, nanti kalau sudah aman bikin syarat-syarat administratif. Begitu loh. Tidak sampai dua juta pak. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta. Makanya saya bilang, usul ini, bagaimana kalau dua juta ini kita transmigrasikan. Ke mana? Ke Manado. Terus, orang Manado dipindahkan  ke sini (Irian). Buat apa? Biarkan dia pisah secara ras sama Papua New Guinea. Jadi, dia tidak merasa orang asing, biar dia merasa orang Indonesia. Keriting Papua itukan artinya rambut keriting. Itu, itukan, istilah sebetulnya pelecehan itu. Rambut keriting, orang kelas bawah. Kalau Irian itukan cahaya yang menyinari kegelapan, itu Irian diganti Papua…”

Melihat pernyataan kebencian yang berbasis rasis terhadap POAP yang diungkapkan ke publik dari Hendropriyono ini mencerminkan, Indonesia sudah mempunyai niat jahat untuk memusnahkan POAP. Ya, amin dan benar, apa yang disampaikan oleh bapak Herman Wayoi (alm) “Pemerintah Indonesia  hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggantikan dengan Etnis Melayu dari Indonesia….” (Sumber: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). 

Saudara-saudara, para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya kasihi.

Indonesia telah menunjukkan watak sebagai bangsa kolonial atau penjajah. Seperti watak penguasa Apartheid di Afrika Selatan terlihat juga perilaku Indonesia yang diterapkan dari waktu ke waktu terhadap POAP di Tanah Papua sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang. Dalam kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo meniru watak pemimpin bangsa kolonial Peter W. Botha Perdana Menteri Afrika Selatan pada tahun 1978, ia menjalankan politik adu-domba yang mengkotak-kotakkan atau memecah-belah  persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan negara-negara boneka, yaitu:

(1)Negara Boneka Transkei; (2) Negara Boneka Bophutha Tswana; (3) Negara Boneka Venda; (4) Negara Boneka Ciskei. (Sumber: 16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh: Sutrisno Eddy: 2002, hal. 14).

Penguasa kolonial modern Indonesia sedang menerapkan teori dan praktek pendudukkan dan penjajahan yang hampir serupa atau sama dengan yang diterapkan penguasa Apartheid di Afrika Selatan dengan mendirikan Pemekaran Daerah Otonomi Baru Boneka Indonesia: Provinsi Boneka Papua Selatan, Provinsi Boneka Papua Tengah, Provinsi Boneka Pegunungan Papua

Jenderal (Purn) TNI Prof. Dr. Ir. Drs. Haji Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H., S.E, S.I.P., M.B.A., M.A., M.H., lebih dikenal A.M. Hendropriyono dengan terbuka mengatakan, bahwa Penduduk Orang Asli Papua (POAP) hanya dua juta.  “Tidak sampai dua juta pak. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta. Makanya saya bilang, usul ini, bagaimana kalau dua juta ini kita transmigrasikan. Ke mana? Ke Manado. Terus, orang Manado dipindahkan  ke sini (Irian).” 

Saudara-saudara, para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya kasihi.

Secara rasional, kalau POAP hanya dua juta orang saja, maka tidak dibutuhkan banyak provinsi.  Dari data dan fakta ini menyampaikan kepada para pembaca buku ini, bahwa rencana dan niat jahat penguasa Indonesia melalui kekuatan militer dan mendatangkan kelebihan penduduk orang-orang Melayu yang berjumlah 250 juta dipindahkan ke Papua untuk merampok dan menduduki Tanah Papua dan konsekuensinya POAP dihilangkan dan dimusnahkan dari Tanah leluhur mereka.

Dalam rangka pemusnahan dan penghilangan serta penghapusan POAP yang jumlahnya hanya dua juta ini dari Tanah leluhur mereka, penguasa Indonesia dari waktu ke waktu  berlindung dibalik alasan keamanan nasional, ancaman NKRI dari gerakan separatisme. Negara memproduksi label dan stigma  anggota OPM, separatis, makar, KKB, dan teroris sebagai tameng atau topeng untuk penguasa bersembunyi dibalik semua stigma ini.

Secara politik dan birokrasi POAP benar-benar tergusur, tersingkir dan termarginal. Di Tanah Papua terjadi perampokkan hak politik POAP secara terbuka dan terang-terangan oleh orang asing atau pendatang Melayu. Contoh-contohnya sebagai berikut:

  • Kabupaten Merauke dari 30 kursi anggota DPR, hanya 3 orang Marind dan 27 kursi orang-orang pendatang Melayu.
  • Kota Jayapura dari 40 kursi, pendatang  Melayu 27 orang dan POAP hanya 13 orang.
  • Kabupaten Jayapura, 25 kursi, pendatang 18 orang pendatang Melayu dan POAP hanya 7 orang.
  • Kabupaten Keerom, 20 kursi 13 orang pendatang Melayu, dan 7 POAP.
  • Kabupaten Sarmi, 20 kursi, 13 orang pendatang Melayu, dan 7 POAP.
  • Kabupaten Mimika, 35 kursi, 17 orang pendatang Melayu, dan 18 POAP.
  • Kabupaten Boven Digoel, 20 kursi, 16 orang pendatang Melayau, dan 4   POAP.
  • Kabupaten Asmat, 25 kursi, 11 orang pendatang Melayu, dan 14 POAP.
  • Kabupaten Sorong, 25 kursi, 18 orang pendatang Melayu, dan 7 POAP.
  • Kabupaten Teluk Wondama, 25 kursi, 14 orang pendatang Melayu, dan 11 POAP.
  • Kotamadya Sorong, 30 kursi, 24 orang pendatang Melayu, dan 6 POAP.
  • Kabupaten Raja Empat, 20 kursi, 11 orang pendatang Melayu, dan 9 POAP.
  • Kabupaten Fakfak, 20 kursi, 12 orang pendatang Melayu, dan 8 POAP.
  • Kabupaten Sorong Selatan, 20 kursi, 17 orang pendatang Melayu, dan 3 POAP.

Realitas dinamika politik seperti ini sangat mengkhawatirkan keberlangsungan masa depan POAP, maka pertanyaan apa yang diharapkan melalui pemekaran provinsi-provinsi boneka sebagai wujud operasi militer dan operasi transmigrasi atas nama pembangunan bias pendatang Melayu?

Beberapa sarjana POAP tidak mendengarkan dan sangat mengabaikan suara-suara mayoritas POAP yang tidak setuju dan menolak pemekaran provinsi-provinsi boneka Indonesia di Tanah Papua. Beberapa sarjana POAP telah mengantarkan rakyat Papua ke dalam mulut harimau, singa dan buaya, yaitu Daerah Otonomi Baru Boneka Indonesia yang menjadi mesin penghancur dan pemusnah POAP. Fakta dari komposisi perwakilan rakyat di empat belas kabupaten dan kota yang ditulis ini menujukkan dan tidak diragukan lagi, bahwa POAP sudah berada dalam keadaan jalan tol  pemusnahan tercepat di atas tanah leluhur mereka. 

Saudara-saudara, para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya kasihi.

Dalam keadaan seperti ini, gereja Baptis dan gereja-gereja di Papua berperan aktif membangkitkan kesadaran dan memberikan harapan hidup POAP dengan membangun kualitas iman dalam kekuarga,  pendidikan,  kemandirian ekonomi dan meneguhkan warga gereja untuk tetap memiliki optimisme dengan memelihara bahasa, sejarah dan nilai-nilai kebudayaan supaya tidak tercabut dari akar kehidupan POAP.

Keadaan yang sangat mengkhawatirkan dan kolonialisme yang berjalan telanjang yang dijalankan oleh bangsa kolonial modern Indonesia terhadap POAP di Tanah Papua ini, Gereja Baptis dan gereja-gereja di Tanah Papua berdiri kokoh kuat sebagai Benteng dan Tembok Ratapan POAP sebagai umat Tuhan. POAP yang tertindas, terpinggirkan dan dimusnahkan ini memberikan harapan dan perlindungan kepada Gereja sebagai Mama, Pengayom, Pelindung, Penjaga, Penggembala.

Maka, Gereja Baptis dan gereja-gereja di Tanah Papua berdiri di atas Otoritas Allah, Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus serta Firman Allah sebagai Benteng untuk menyelamatkan POAP. Gereja Baptis dan gereja-gereja di Papua harus berdiri kuat dan kokoh menentang semua kejahatan dan ketidakadilan, rasisme, penjajahan, perampokkan hak-hak dasar POAP. Gereja Baptis dan gereja-gereja di Tanah Papua harus melindungi POAP dan Tanah dan memberikan harapan masa depan di atas Tanah leluhur mereka.

Saudara-saudara, para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya kasihi.

POAP dan di dalamnya juga warga Baptis disebut sebagai manusia-manusia ‘monyet’ dan ‘gorila’. Ini bukti dari watak dan pandangan rasisme rakyat Indonesia terhadap POAP. Yang memelihara dan menyatakan pandangan rasisme itu datang dari para pejabat dan petinggi Indonesia yang menduduki posisi penting.

  1. Jenderal Abdul Mahmud Hendropriyono mengatakan: “Memindahkan sekitar 2 juta penduduk Irian Jaya dipindahkan ke Manado. Sebaliknya, orang-orang di manado dipindahkan di Papua.” Atau dengan kata lain:  “seluruh Orang Irian tidak sampai dua juta, dua juta ini kita transmigrasikan ke Manado. Orang Manado pindahkan ke Irian, supaya orang Irian cepat habis…
  2. Jenderal Ali Murtopo mengatakan: “Kalau orang Irian mau merdeka, sebaiknya tanyakan pada Tuhan apakah Dia bisa berbaik hati membesarkan pulau di tengah Samudra Pasifik supaya bisa berimigrasi ke sana. Bisa juga tulis surat kepada orang Amerika. Mereka sudah menginjakkan kaki di bulan, mungkin mereka bersedia menyediakan tempat untuk Anda di sana. Anda yang berpikir untuk memilih menentang Indonesia harus berpikir lagi, karena jika Anda melakukannya, murka rakyat Indonesia akan menimpa Anda. Lidah Anda pasti akan dipotong dan mulut jahat Anda akan digoyak. Lalu aku, Jenderal Ali Murtopo, akan masuk dan menembakmu di tempat” ( Sumber: SEE NO EVIL: New Zealand’s Betrayal of the people of West Papua: Maire Leadbeater, 2018:154)
  3. Jenderal Binsar Luhut Panjaitan pada Jumat, 19 Februari 2016 mengatakan: “Ya pergi saja mereka ke MSG sana, jangan tinggal di Indonesia lagi.”
  4. Dr. Haji Mahfud MD, Menteri Koordinator Hukum, Keamanan pada 29 April 2021 melabelkan orang Papua “teroris” : “Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan  sebagai teroris.”
  5. Ibu Tri Rismaharini Menteri Sosial pada 13 Juli 2021 mengatakan: “Saya tidak mau lihat seperti ini lagi. Kalau seperti ini lagi,  saya pindahkan semua ke Papua. Saya enggak bisa pecat orang kalua enggak salah, tapi saya  bisa pindahkan ke Papua.”
  6. Ibu Megawati Sukarnoputri pada 21 Juni 2022 mengatakan: “Kalau mau wujudkan Bhineka Tunggal Ika, ya harus beragam. Gak ada urusan orang kulit hitam harus kawin campur sama yang lain. Memangnya kenapa kalua orang kulitnya gelap? Maksud saya, manusia Indonesia ini, kenapa, kan Bhineka Tunggal Ika ya. Haruskan berpadu itu bukan hanya dari sisi fisik dan perasaan, tapi y aitu tadi, rekayasa genetika itu lo. Kita cari-cari gitu ” “Maaf ya, sekarang dari Papua ya, Papua itu kan hitam-hitam ya. Makanya waktu kemarin saya bergurau dengan pak Wempi (Wamendagri John Wempi Wetipo). Kalau sama pak Wempi sudah dekat. Itu dia ada. Kopi Susu.”
  7. Nurazisah Asril berkomentar berbasis rasis setelah melihat foto Frans Kaisiepo pada gambar uang Rp 10.000. “Saya tidak setuju dengan gambar uang baru yang mukanya menyerupai MONYET.!!! Bukannya memasang muka pahlawan malah memasang wajah seperti itu.” (Sumber: Surat-Surat Gembala: Forum Kerja Oikumenes Gereja-gereja Papua: 2012-2018:14).
  8. Farhat Abbas mengatakan: “Sewaktu Indonesia merdeka memang Papua tidak ikut..belakangan baru direbut Indonesia dari Belanda. Jadi wajar kalau Papua minta piah dari Indonesia..tapi jangan sampai itu terjadi Indonesia akan rugi besar karena Papua tanahnya luas penduduknya sedikit..sebaiknya pemerintah memindahkan separuh penduduk pulau Jawa yang padat itu ke Papua..buat orang Papua tidak berdaya..ajak dia kawin campur supaya ciri khas wajah Papuanya pelan-pelan hilang..” (2012-2018:15).
  9. Ambrosius Nababan membuat gambar foto tokoh Nasional asal Papua, Natalius Pigai dan menulis keyakinan rasialismenya sebagai berikut: “Adodoeee pace. Vaksin ko bukan sinovac pace tapi ko pu sodara bilang vaksin rabies. Saya setuju pace. Drun yok kita beli vaksin covid 19 dari luar negeri. Pemerintah punya diragukan. Kaka vaksin kita bukan sinovac/fizer. Vaksin kita vaksin rabies.”

Saudara-saudara, para undangan dan peserta Kongres yang Tuhan Yesus kasihi dan saya kasihi.

Masih banyak pandangan rasis dari para pejabat atau petinggi Indonesia dan rakyat Indonesia, tapi dalam sambutan ini, saya menyampaikan beberapa contoh saja untuk diketahui para undangan dan peserta Kongres. Dari kutipan-kutipan ini terlihat betapa bencinya penguasa Indonesia dan rakyat Indonesia terhadap POAP. Kebencian berbasiskan rasisme ini terlihat jelas yaitu, penguasa Indonesia dan rakyatnya menghendaki POAP tidak layak hidup di tanah leluhur dan harus dimusnahkan karena dianggap bukan sebagai manusia tapi  dianggap ‘monyet’, ‘teroris’ yang dinilai menggangu Indonesia.

Gerakan diskriminasi rasial ini memperlihatkan kekejaman dan kejahatan  Negara terhadap POAP secara sistematis, terstruktur, terlembaga, masif, meluas dan kolektif dari waktu ke waktu sejak 1 Desember 1961 maklumat militer dan 1 Mei 1963  sampai sekarang ini.

Melihat Gerakan kebencian dan pemusnahan POAP berbasiskan rasialisme ini, Herman Wayoi pernah mengabadikan pengamatan sekaligus keprihatinannya sebagai berikut:

“Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggantikan dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar dalam jumah ribuan untuk mendiami lembah-lembah  yang subur di Tanah Papua. Ada dua macam Operasi, yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di Tanah ini….” (Sumber: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Tanah Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143).

Dalam dinamika realitas sosial dan politik  yang digambarkan ini, dalam kehidupan POAP ada dua pandangan yang paradoksal, yaitu:

  1. Beberapa orang Papua memanfaatkan NKRI harga mati di Papua untuk memperoleh “belas kasihan” dari Jakarta dalam proses politik pemekaran Kabupaten dan Provinsi. Tetapi, bagi Jakarta, tidak terlalu pusing dengan NKRI harga mati, bagi Jakarta bagaimana peluang untuk menguasai dan menduduki Tanah Papua dan memusnahkan POAP dan menguasai Tanah Papua dan memiliki sumber daya alam di atas dan di dalam perut bumi Papua. Tujuan, misi dan orientasi paling utama bagi Indonesia di Papua ialah ekonomi, keamanan dan politik dan manusianya dimusnahkan. Bagi Indonesia, hidup dan masa depan POAP bukan urusan orang-orang Indonesia. Di sini, agenda tersembunyi yang belum pernah dibaca oleh para politisi POAP.
  2. Mayoritas POAP menyadari bahwa ada masalah tragedi kemanusiaan, ketidakadilan, pelanggaran berat HAM dan ada pemusnahan Etnis Papua, perampokan tanah, hak politik dan peminggiran POAP dari tanah leluhur dan juga ada ancaman kemanusiaan yang serius dan tidak ada harapan hidup dan masa depan POAP hidup dalam wilayah Indonesia. Karena itu, mayoritas POAP berkeyakinan bahwa lebih baik rakyat dan bangsa Papua berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Dengan keyakinan ini, tanggal 1 Desember 1961 dipertahankan sebagai Hari Kemerdekaan lengkap dengan simbol-simbol nasional.

BACA JUGA  Press Release: MENOLAK DAN TIDAK PERCAYA 100% TIM INVESTIGASI BENTUKAN NEGARA/MENKOPOLHUKAM KARENA TIDAK INDEPENDEN UNTUK MENYELIDIKI KASUS PENEMBAKAN PENDETA YEREMIA ZANABANI DI HITADIPA 19 SEPTEMBER 2020

Dalam keadaan keterpercahan POAP sebagai warga gereja  seperti ini, Gereja Baptis harus berperan aktif, tetap kuat dan kokoh, untuk menjadi terang dunia dan garam dunia dalam membangun warga jemaat menjadi orang-orang beriman, terpelajar, terdidik, dan berilmu, bermoral serta beretika. Gereja membangun kesadaran, memperkokoh persatuan, memelihara sejarah gereja dan sejarah bangsanya, bahasanya serta membangun basis iman keluarga yang kuat untuk memelihara dan melindungi  POAP dan melindungi Tanah sebagai sumber keberlangsungan ekonomi kehidupan keluarga dan masyarakat luas.

Untuk melindungi POAP dalam keterpecahan ini, ada dua lembaga efektif yang didirikan Tuhan sejak dulu berdiri kokoh dan kuat untuk menjaga dan menggembalakan POAP sebagai warga gereja dan masyarakat. Dua Lembaga yang dimaksud penulis ialah keluarga dan gereja.

  1. Tuhan Allah menjadikan manusia, dia laki-laki dan perempuan dan Tuhan Allah memberikan kuasa dan berkat kepada laki-laki dan perempuan, supaya hidup bersama dan melaksanakan tugas dan tanggungjawab diberikan Tuhan. Dengan kuasa dan berkat Tuhan itu mereka beranakcucu dan bertambah banyak dan penuhi bumi. Dengan kuasa dan berkat dari Tuhan, mereka taklukkan dan berkuasa atas semua ciptaan Tuhan (Kejadian 1:26-28).
  2. Tuhan Yesus Kristus mendirikan Gereja-Nya di atas batu karang atau di atas dasar iman yang kuat dan kokoh. “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Matius 16:18-20). 

Suudara-saudara para undangan dan peserta Kongres yang TUHAN Yesus berkati dan saya kasihi.

Dalam realitas kehidupan POAP yang sangat buruk dan sudah menjadi  seperti ini luka membusuk, bernanah seperti ini, dimana posisi Gereja Baptis di West Papua? Apakah gereja Baptis diam dan membisu dan lari dari kenyataan ini?

Tuhan Yesus Kristus sudah memberikan tugas, mandat, otoritas dan tanggungjawab kepada gereja untuk menggembalakan POAP yang disebut warga gereja atau anggota jemaat.

Gembalakan domba-domba-Ku” (Yohanes 21;15-17). Mengapa? Karena ada pencuri, perampok dan pembunuh dan penipu di bumi ini. “Pencuri datang datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yohanes 10:10).

Dalam tugas menjaga, melindungi dan menggembalakan POAP agar tidak punah dari tanah leluhur mereka, maka saya sebagai Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP) merekomendasikan sebagai berikut:

  1. Dari mimbar-mimbar gereja di Tanah Papua mengubah paradigma lama ke paradigma baru, yaitu gereja-gereja mendoakan pemerintah Indonesia dan juga berdoa untuk POAP yang berjuang untuk keadilan, harkat dan martabat kemanusiaan, kesetaraan, perdamaian dan hak politik untuk Papua Barat Merdeka. Karena perjuangan POAP untuk penentuan nasib sendiri bukan diperjuangkan di rumput-rumput, di tempat tersembunyi. POAP berjuang di tempat terbuka dengan cara-cara yang bermoral, bermartabat dan terhormat di forum-forum resmi di level nasional, regional, internasional. Gereja selama ini sangat keliru dan melakukan kesalahan besar, karena gereja di mimbar-mimbar dengan setia, teratur, tekun mendoakan pemerintah dari pusat sampai pemerintah terkecil di kampung-kampung, sementara pemerintah atau penguasa itu sedang membunuh, memutilasi POAP dan mencuri sumber daya alam Papua dari waktu ke waktu sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang ini.
  2. Pijakan atau landasan untuk mendoakan semua umat Tuhan itu sangat jelas, yaitu: Tuhan Allah, atau Firman Tuhan, tidak melarang Papua Barat merdeka. Gereja tidak melarang Papua merdeka. Tetapi, yang dilarang Tuhan, Alkitab, Gereja ialah “JANGAN MEMBUNUH dan JANGAN MENCURI” (Keluaran 20: 13, 15).
  3. Dalam doa di mimbar-mimbar gereja di Tanah Papua dari Sorong-Merauke harus menebarkan nilai-nilai kasih, keadilan untuk semua umat Tuhan, yaitu mendoakan Indonesia, mendoakan POAP yang berjuang Papua Barat merdeka, ULMWP, TPN-PB, KNPB, dan organ-organ perjuangan kemanusiaan dan hak politik lainnya.
  4. Dari mimbar-mimbar Gereja Baptis dan gereja-gereja Tuhan di Tanah Papua, sudah waktunya menghentikan dan menghapus dan meniadakan stigma, label yang dialamatkan terhadap POAP seperti: anggota OPM, separatis, makar, KKB, teroris, monyet dan pandangan-pandangan rasialisme negara lain yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan POAP. Karena, label dan stigma ini belum pernah ada sebelum Indonesia menduduki dan menjajah POAP sejak 1 Mei 1963.
  5. Dari mimbar-mimbar Gereja di seluruh Tanah Papua sudah saatnya memperbaiki dan meluruskan kesalahan sejarah Papua seperti Perjanjian New York 15 Agustus 1962, Perjanjian Roma 30 September 1962, pelaksanaan PEPERA 1969 tidak demokratis yang dimenangkan ABRI. Perjanjian-Perjajian dan Pelaksanaan PEPERA telah menjadi akar konflik berkepanjangan antara Indonesia dan POAP, akibatnya mengorbankan banyak pihak, maka Gereja memainkan peran untuk mengatakan bahwa PEPERA, dari perspektif kebenaran Injil itu salah, maka harus diperbaiki supaya persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan di Papua dapat diselesaikan dengan jalan perundingan damai demi perdamaian permanen di Papua dan di Indonesia.
  6. Dewan Gereja Papua (WPCC) menyurat kepada Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB berkunjung ke Papua untuk memantau dan melihat keadaan Papua secara langsung. Dewan Gereja Papua juga meningkatkan Surat-Surat Pastoral dan Seruan Moral untuk semua orang, yaitu POAP, Penguasa Indonesia, rakyat Indonesia dan juga komuntas internasional. Karena Dewan Gereja Papua telah hadir sebagai rumah bersama, perahu bersama, dan honai bersama untuk semua umat manusia.
  7. Penguasa Indonesia diharapkan segera mengembalikan 67.000 pengungsi yang masih berada di luar dari kampung halaman mereka, supaya POAP dapat hidup yang layak di kampung halaman mereka dengan kehidupan kesehatan yang baik, ekonomi yang baik dan pendidikan anak-anak mereka yang layak.
  8. Pemerintah Indonesia segera menghentikan segala bentuk Operasi Militer di seluruh Tanah Papua, karena dalam Operasi Militer itu yang menjadi korban tiga pihak, yaitu anggota TNI, TPN-PB, KNPB dan rakyat sipil yang tidak bersalah.
  9. Ada atas Tanah Papua ini, dari ribuan kasus kejahatan kemanusiaan, dua kasus yang masih misteri yang perlu mendapat perhatian dan investigasi kredibel yang independen, yaitu tewasnya dua pemimpin besar, yaitu Kepala BIN Daerah Papua (Kabinda Papua) Brigjend TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha yang tewas di Ilaga, Puncak, 25 April 2021 dan tewasnya pejuang damai Papua Barat Merdeka, Filep Samuel Karma pada 1 Oktober 2022 di Pantai Base G, Jayapura. Dua kasus ini masih diselimuti kabut misteri, apakah benar Brigjend TNI I Gusti ditembak oleh TPN-PB? Apakah benar kematian Filep Karma adalah kecelakaan tunggal di laut?
  10. Dari mimbar-mimbar gereja di Tanah Papua harus bersuara sebagai suara kenabian dan suara gembala untuk menghentikan kriminalisasi, politisasi para pemimpin Papua, dan stigmatisasi gereja-gereja di Tanah Papua.
  11. Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP) dengan memegang dan berpedoman pada Firman Tuhan yang tidak melarang Papua Barat merdeka, maka dalam doa di mimbar-mimbar gereja Baptis tetap mendoakan perjuangan Penduduk Orang asli Papua untuk merdeka yang diperjuangkan melalui berbagai bentuk wadah, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) seperti warga Baptis mendoakan NKRI di mimbar-mimbar. Artinya, yang ada dalam NKRI dan ULMWP adalah sama-sama umat Tuhan yang digembalakan oleh Gereja Baptis.
  12. Untuk mengakhiri sejarah konflik terlama dan terpanjang di Asia Pasifik ini, penguasa Indonesia dengan POAP harus duduk setara di meja perundingan damai antara NKRI dengan ULMWP dimediasi pihak ketiga yang netral seperti pengalaman Indonesia dapat menyelesaikan persoalan GAM di Aceh pada 15 Agustus 2005 di Helsinki.
  13. Berkaitan dengan butir nomor 11, Dewan Gereja Papua (WPCC) menyampaikan Surat Terbuka pada 26 Agustus 2019 kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk meyelesaikan persoalan Papua, seperti penyelesaian konflik GAM di Aceh yang dimediasi pihak ketiga pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, dan langkah yang sama demi rasa keadilan, Pemerintah Indonesia Republik Indonesia mengadakan perundingan damai dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Dewan Gereja Papua (WPCC) juga menyampaikan Surat Terbuka pada 13 September 2019 dengan isi pesan yang sama, dan Surat Terbuka pada 7 Oktober 2020 Dewan Gereja Papua mendukung pernyataan Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 untuk mewujudkan janjinya pertemuan dengan kelompok Pro-Referendum. Menurut saya, perwakilan POAP ialah wadah resmi ULMWP.
  14. Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan empat akar persoalan yang ditemukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau sekarang Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), yaitu: (1) Sejarah dan politik penggabungan atau pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Indonesia; (2) Kekerasan negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 sampai sekarang; (3) Diskriminasi dan Marginalisasi Penduduk Orang Asli Papua di atas tanah leluhur; dan (4) Kegagalan pembangunan di Tanah Papua. Empat akar konflik Papua ini tidak dapat diselesaikan, ditutupi, dihilangkan atau dikaburkan dengan pemekaran Daerah Otonomi Baru. Karena, DOB itu operasi militer dan upaya pendudukan dan meminggirkan dan memusnahkan POAP dari Tanah leluhur mereka. DOB bukan solusi, tapi ini lebih tepat masalah baru yang menambah luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia.
  15. Pada kesempatan ini, saya mengingatkan dan mendorong semua POAP dan juga saudara-saudara Non Papua yang lahir dan besar di Tanah Papua, dan saudara-saudara kami yang datang dari Indonesia yang tinggal, hidup, berada, bekerja dan melayani di Tanah Papua dari Sorong sampai Merauke, kita bersama-sama mengawal dan menjaga supaya akar konflik Indonesia-Papua, yaitu rasime, ketidakadilan, sejarah Pepera 1969, pelanggaran berat HAM, marginalisasi, permusnahan etnis Papua, perampokan sumber daya alam Papua tetap disuarakan dan tidak dikaburkan penguasa Indonesia dengan ramainya DOB dan berbagai bentuk siasat jahat lainnya.
  16. Dewan Gereja Papua (WPCC), dan Gereja-gereja lain yang belum menjadi anggota Dewan Gereja Papua tetap berdiri dan berperan aktif untuk melindungi tanah, hutan, sejarah, dan kebudayaan POAP. Karena, ketika tanah diambil orang, hutan dibabat, sejarah dihilangkan, kebudayaan dihancurkan, maka POAP tidak akan mempunyai pegangan, pijakan dan pedoman hidup. Kekuatan dan harapan hidup POAP ialah iman kepada Tuhan Yesus Kristus terhadap tanah, hutan, sejarah, dan kebudayaan mereka. Gereja adalah Benteng terakhir, maka Gereja memainkan peranan penting untuk harapan dan keberlangsungan masa depan POAP.
  17. Gereja-gereja di Tanah Papua harus keluar dari lingkaran cara berfikir Negara. Gereja harus menempatkan diri sebagai gereja Tuhan yang memainkan peran profetis yang aktif menyampaikan kabar gembira, kabar sukacita, kabar kedamaian, kabar perubahan ke arah yang benar, kabar harapan hidup untuk semua orang dan lebih khusus POAP. Gereja harus mengubah cara pandang penguasa pemerintah Indonesia dengan terang kekuatan Injil dan perspektif kebenaran Firman Allah, supaya persoalan ketidakadilan, rasisme, pelanggaran berat HAM, marginalisasi, pemusnahan etnis Papua diselesaikan secara berkeadilan melalui penegakan hukum yang jujur, terbuka, dan profesional. Persoalan pelanggaran berat HAM harus diselesaikan dengan mengadili pelaku di pengadilan yang memberikan keadilan bagi para korban. Persoalan rasisme harus diselesaikan dengan memandang POAP adalah setara atau kesetaraan dengan orang-orang Melayu Indonesia. Masalah marginalisasi harus diselesaikan dengan menempatkan POAP secara terhormat sebagai pemilik Tanah Papua. Persoalan kesalahan sejarah PEPERA 1969 harus diluruskan sejarahnya dengan obyektif, adil dan jujur. Gereja harus memainkan peran sentral untuk menghidupkan dan memberikan harapan kepada POAP supaya hidup dan masa depan tidak dikendalikan oleh orang dari luar, tapi POAP harus berdiri dengan keyakinan iman, ideologi, nasionalisme, sejarah dan kebudayaannya sendiri. Gereja harus berperan aktif untuk menolong POAP supaya tidak hidup dalam kepalsuan sejarah dan identitas. Gereja memberikan harapan masa depan POAP bahwa mereka berhak atas tanah leluhur mereka, tidak boleh tergusur dan tersingkir, dan tetap menjadi tuan dan pemilik tanah ini.
  18. Persoalan Papua bukan persoalan NKRI harga mati. Persoalan Papua sesungguhnya ialah ekonomi, bisnis dan tambang. Itu sebabnya, elit-elit Indonesia; pengusaha atau pemilik modal saling bahu-membahu dan saling mendukung memekarkan Daerah Otonomi Baru – boneka Indonesia di seluruh Tanah Papua. Para penguasa Indonesia, pengusaha tidak ada urusan dengan NKRI harga mati. NKRI harga mati hanya tameng atau topeng untuk membohongi rakyat Indonesia dan juga untuk menindas dan membunuh POAP yang memperjuangkan hak hidup dan hak atas tanah airnya.

Sambutan ini dengan tema: Gereja Benteng Terakhir Bagi Perlindungan Penduduk Orang Asli Papua, artinya Gereja harus menentang dan menolak rasisme, fasisme, militerisme, kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, ketidakadilan, kekerasan negara, pemusnahan etnis dan diskriminasi POAP, perampokkan tanah, gunung, tambang, gas, hutan milik POAP. Gereja tidak boleh berada dibalik mimbar dan menghibur diri dan penguasa  perampok, pencuri, pembunuh, penipu, pemusnah dan munafik dengan ayat-ayat Alkitab. Injil harus dihadirkan dalam dunia realitas. Injil bukan berada di mimbar-mimbar dan ruang-ruang ber-AC. Injil hadir dan hidup bersama orang-orang kecil yang terabaikan, tertindas, dan tak bersuara.

Akhirnya, dalam menutup sambutan ini, saya membagikan salah satu kisah pengorbanan dari sekian banyak kisah. Ada kisah nyata yang memilukan hati yang perlu diketahui dan mengingat jasa pengorbanannya. Pilot Albert Lewis yang dikenal Al Lewis, pada 20 April 1954 menerbangkan pesawat dari Sentani menuju Lembah Balim Wamena. Ini merupakan penerbangan pertama kali dalam sejarah pekabaran Injil. Sebelum pilot Al Lewis menerbangkan pesawat di wilayah Lembah Balim, Al Lewis menyatakan imannya, sebagai berikut:

Saya tidak tahu harga yang harus dibayar untuk memasuki Lembah Balim, tetapi saya bersedia membayar harga itu.” (Sumber: Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim: Pastor Frans Lieshout OFM, 2007:21).

Sangat menyedihkan dan menyayat hati, pada tanggal 28 April 1955, Pilot Al Lewis mengalami kecelakaan dalam penerbangan menuju Lembah Balim. Ia menabrak sebuah gunung tinggi di sebelah Sekan. Pesawat dan jenazahnya ditemukan satu bulan kemudian setelah terjadinya kecelakaan itu. Kematian Al Lewis merupakan suatu kehilangan besar bagi keluarga besar AMA, masyarakat Balim, dan juga Papua.

Selamat Melaksanakan Kongres ke-19 Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP), 10-15 Desember 2022. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Hubula, Wamena, 10 Desember 2022

Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua (PGBWP)

President

Rev.DR. A.G. Socratez Yoman, MA

Share :

Baca Juga

Article

15 Alasan  Indonesia Sedang Menuju Ke Tebing Kehancuran Dan  Keterpecahan Dari NKRI Karena Kejahatan Dan Kebohongan Para Penguasa Berjalan Telanjang

Opinion

SEJARAH SINGKAT PERUBAHAN NAMA GEREJA BAPTIS PAPUA
Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA

Article

PEMEKARAN 5 PROVINSI DI PAPUA SEBAGAI MESIN DAN STATUS QUO KOLONIALISME MODEREN INDONESIA UNTUK MENDUDUKI, MENJAJAH, MENINDAS, MENJARAH, MERAMPOK DAN MEMPERCEPAT PROSES PEMUSNAHAN ETNIS ORANG ASLI PAPUA BUKAN UNTUK KESEJAHTERAAN
Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA

Article

STATUS QUO & QUO VADIS KEKUASAAN KOLONIALISME MODEREN INDONESIA DI PAPUA SELAMA 57 TAHUN SEJAK 1963
Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA

Article

Kado/Hadiah bagi anggota DPR RI dan Pemerintah Indonesia yang betelinga tuli, mata buta dan tidak punya hati nurani dan  manusia-manusia yang telah kehilangan martabat kemanusiaan
pdt-socratez-sofyan-yoman

Article

Oleh: Gembala Dr. Socratez S. Yoman, MA OTSUS LAHIR KARENA TUNTUTAN MERDEKA BUKAN KESEJAHTERAAN
pdt-socratez-sofyan-yoman

Article

Para Jenderal Berbintang  “Berperang” Melawan Lukas Enembe Gubernur Papua Kepentingan Politik Tahun 2024

Article

PAPUA MERDEKA BERGEMA DI RUANG KKR DI LAPANGAN MANDALA JAYAPURA