Artikel
SAYA TIDAK PERNAH PROVOKASI BANGSA SAYA, TAPI SAYA MENDIDIK BANGSA SAYA UNTUK BELAJAR DAN MENGETAHUI SEJARAHÂ PERJALANAN BANGSANYA YANG GELAP DAN KELAM
Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA
Judul artikel ini penulis pilih karena ada pendapat yang disampaikan bahwa saya menulis untuk menebar provokasi kepada rakyat dan bangsa Papua. Pendapat itu membantah bahwa artikel saya tidak benar karena pemerintah Indonesia tidak pernah membakar buku-buku sejarah Papua.
Seperti Tania Herdianti menulis dalam menanggapi artikel penulis tertanggal 18 Maret 2021 yang berjudul: “PENGUASA INDONESIA & TNI MEMBAKAR BUKU-BUKU SEJARAH PAPUA SEJAK 1 MEI 1963 DAN MEMAKSA BANGSA PAPUA MENERIMA MAJAPAHIT, SRIWIJAYA, PANCASILA, 17 AGUSTUS 1945, MERAH PUTIH ADALAH SEJARAH KOLONIAL ASING INDONESIA .”
Tania Herdianti berkomentar sebagai berikut:
“Socrarez Yoman menulis untuk menebar provokasi Kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan oknum tokoh-tokoh agama terus menebarkan propaganda bahwa Pemerintah Indonesia telah membakar semua sejarah tentang Papua. Hal tersebut sangat bertentangan dengan realita di kalangan bahwa seluruh masyarakat Papua dan Papua Barat setuju bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia semenjak belum merdeka. Hal tersebut terbukti dari hadirnya delegasi Papua yang bergabung dengan Jong Celebes. Dan sejarah tersebut jangan membuat opini yang menyesatkan masyarakat Papua.”
Dalam menanggapi tulisan artikel, lebih baik dibalas dengan artikel yang disertai fakta dan data yang benar, ilmiah dan obyektif. Kalau hanya sebut “delegasi Papua bergabung dengan Jong Celebes”, bagaimana para pembaca mengerti dan belajar sejarah utuh.
Penulis menghargai dan menghormati pandangan Tania Herdianti, karena itu bagian dinamika berpendapat dalam saling memperkaya satu sama lain untuk memahami satu proses sejarah yang benar dan utuh. Karena selama ini terjadi kebuntuan sejarah bangsa Indonesia dan sejarah bangsa Papua. Sejarah kita belajar sejarah yang dimanipulasi oleh penguasa dengan kepentingan imperial mereka.
Pertanyaan penulis ialah apakah benar dan ada bukti penguasa kolonial modern Indonesia melarang dan membakar buku-buku sejarah Papua?
Pemerintah Indonesia melarang beberapa buku tentang Papua, sebagai berikut:
1. Pembunuhan Theys Eluay: Kematian HAM di Papua ( Dr. Benny Giay, 2005).
2. Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat (Socrarez S.Yoman, 2007).
3. Tenggelamnya Rumpun Melanesia (Sendius Wonda, 2007).
4. Jeritan Bangsa ( Sendius Wonda, 2009).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM memberitahukan kepada kita semua perilaku kejam dan barbar penguasa Indonesia dan TNI membakar buku-buku sejarah dan dokumen-dokumen penting tentang Papua.
“Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.” (Gembala Dan Guru Bagi Papua, 2020: hal. 593).
Kejahatan kolonial modern Indonesia terhadap orang asli Papua yang paling kejam, biadab, brutal, dan barbar serta primitif ialah membakar buku-buku sejarah dan dokumen-dokumen penting yang dimiliki penduduk asli Papua. Kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial Indonesia disemangati dari rasisme, fasisme dan militerisme. Kekejaman dan kolonialisme primitif ini wajar karena Indonesia adalah pemerintahan berkultur militer.
Menurut Amiruddin al Rahab: “Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer.” (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).
Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Juli 2020 menyatakan: “Begitu mendapat tempat di Papua (setelah UNTEA tanggal 1 Mei 1963), para elit Indonesia yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal dan semua tulisan tentang Sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan; semua dibakar di depan orang banyak di halaman Kantor DPRP sekarang di Jayapura” (Lihat, Acub Zainal dalam memoarnya: I Love the Army).
“Pembakaran besar-besaran tentang semua buku-buku teks dari sekolah, sejarah dan semua simbol-simbol nasionalisme Papua di Taman Imbi yang dilakukan ABRI (sekarang:TNI) dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Mrs.Rusilah Sardjono.”
Pastor Frans Leishout,OFM melayani di Papua selama 56 tahun sejak tiba di Papua pada 18 April 1969 dan kembali ke Belanda pada 28 Oktober 2019. Pastor Frans dalam surat kabar Belanda De Volkskrant ( Koran Rakyat) diterbitkan pada 10 Januari 2020, menyampaikan pengalamannya di Tanah Papua.
” Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.”
“Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.” (Gembala Dan Guru Bagi Papua, 2020: hal. 593).
Fakta lain ialah pada bulan April 1963, Adolof Henesby Kepala Sekolah salah satu Sekolah Kristen di Jayapura ditangkap oleh pasukan tentara Indonesia. Sekolahnya digebrek dan cari simbol-simbol nasional Papua, bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu, sesuatu yang berhubungan dengan budaya orang-orang Papua diambil. Adolof Henesby dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa dia masih memelihara dan menimpan lambang-lambang Papua” (TAPOL, Buletin No.53, September 1982).
Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno mengeluarkan Surat Larangan pada Mei Nomor 8 Tahun 1963.
“Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumulan, penyebaran, perdagangan atau artikel, pemeran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden.”
Rakyat dan bangsa West Papua tidak tahu apa itu Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya? Rakyat dan bangsa West Papua juga tidak tahu Pancasila, 17 Agustus 1945 dan bendera merah putih. Rakyat dan bangsa West Papua tidak tahu nama-nama pahlawan seperti Diponegoro dan lain-lain.
Pertanyaan yang dipertanyakan dalam tulisan ini ialah mengapa sejarah Belanda di West Papua dan Sejarah bangsa West Papua tidak pernah diajarkan dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi di West Papua? Rakyat dan bangsa West Papua sejak 1 Mei 1963 sampai tahun 2021 ini hidup dan hafal serta belajar sejarah bangsa kolonial Indonesia.
Mari, kita sadar, bangkit, bersatu dan lawan kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan, rasisme, fasisme, dan militerisme, kapitalsime, kolonialisme Indonesia yang berlangsung secara konstitusional, sistematis, terstruktur, masif dan kolektif di Tanah West Papua dan berdampak sangat buruk terhadap keberlangsungan kehidupan rakyat dan bangsa West Papua.
Doa dan harapan penulis, artikel pendek ini menjadi berkat. Waa…Waa…Wa….
Ita Wakhu Purom, 7 Agustus 2021
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP).
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Amggota: Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____