Home / Open Letter / SURAT GEMBALA DEWAN GEREJA PAPUA

Saturday, 20 February 2021 - 09:26 WIB

SURAT GEMBALA DEWAN GEREJA PAPUA DALAM RANGKA 166 TAHUN PERAYAAN INJIL MASUK DI TANAH PAPUA 5 FEBRUARI 2021

Dewan Gereja-Gereja Papua. Pdt. Dorman Wandikbo (President GIDI), Pdt. Andrikus Mofu, M.Th (Ketua Sinode GKI di Tanah Papua), Pdt. Dr. Benny Giay (Ketua Sinode Kingmi Papua), dan Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA (Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua)

Dewan Gereja-Gereja Papua. Pdt. Dorman Wandikbo (President GIDI), Pdt. Andrikus Mofu, M.Th (Ketua Sinode GKI di Tanah Papua), Pdt. Dr. Benny Giay (Ketua Sinode Kingmi Papua), dan Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA (Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua)

SURAT GEMBALA DEWAN GEREJA PAPUA Dalam rangka 166 Tahun Perayaan Injil masuk Di Tanah Papua 5 Februari 2021

“ORANG PAPUA IBARAT MONYET DALAM TAMAN NASIONAL INDONESIA BERWILAYAH SABANG MERAUKE”

Solusi Damai Setelah 60 Tahun Konflik rasisme, kriminalisasi dan Militerisme
di Tanah Papua

Ibrani 4:13
Tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi dari pandangan-Nya. Sebaliknya, segala sesuatu telanjang dan tak tersembunyi dari mata-Nya. Kepada-Nyalah kita harus memberi pertanggung-jawaban atas semua yang kita lakukan.

Efesus 6:10-20
6:10 Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya ; 6:12 karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulupenghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.

Pindahkan dua juta orang Papua ke Manado, Sulawesi Utara
Hendropriyono: OPM Pemberontak, Harusnya Masuk Daftar Teroris
CNN Indonesia | Senin, 23/12/2019 17:36 WIB

1.Pada hari ini, dari rumah kehidupan bersama kita, kami menyambut dan
menyampaikan selamat menyambut tantangan-tantangan baru, pilihan-pilihan baru dan masalah-masalah baru dalam Tahun baru 2021. Kita menaikkan puji syukur kepada Tuhan yang sudah beberapa minggu menyertai kita dalam Tahun yang baru ini. Hidup ini yang kita jalani dengan berangkat dari perjuangan dan impian generasi Gereja dan masyarakat kita pada masa lalu yang sudah mengantar sampai kita
sejauh ini dalam ziarah ‘menuju Tuhan’ Sang Kehidupan. Dalam bahasa iman Gereja ‘kita bergerak maju menuju Papua Baru’ di Tanah, yang sudah sekuat tenaga melawan ‘amunisi rasisme sistemik’ dan kriminalisasi sejak awal tahun 1960 hingga hari tahun 2021.

2.Panah Rasisme Sistematik terhadap Papua Dari Tahun ke Tahun dan Orang Papua ‘Ibarat Monyet Dalam ‘Taman Nasional Indonesia yang berwilayah Sabang Merauke’

Judul ‘Surat Gembala’ dalam rangka Perayaan 166 tahun Perayaan Injil Masuk di Tanah ini, yaitu ‘Orang Papua Ibarat Monyet Dalam ‘Taman Nasional Indonesia yang berwilayah Sabang Merauke’. Bukan ‘orang Papua ibarat ‘kerikil dalam sepatunya Kusuma Atmadja, Menlu NKRI RI’ dalam urusan Timor Leste dulu. Mengapa? Memasuki tahun 2021 ini, kami bangsa Papua ‘masih berhadapan dengan peluru ujaran-ujaran rasis’ dari petinggi Negara, yang terus melumpuhkan martabat orang Papua. terakhir melalui dua kasus berikut yang sedang ramai.

(a) Kita melihat dua program yang baru2 diangkat (awal Januari 2021) oleh petinggi Militer: Hendroprijono, mantan Kepala BIN, mantan Menteri dalam beberapa Kabinet, seorang yang berpandangan miring terhadap Papua: masing-masing melalui program: yang semaunya berniat (a1) ‘memindahkan dua juta penduduk Orang Asli Papua (OAP) ke Manado, Sulawesi Utara dan memindahkan dua juta orang Manado ke Tanah Papua; dengan begitu memutuskan ikatan kebudayaan dan etnis ke ‘Papuaan’nya dengan Pasifik. Dan (a2), program kedua antara lain: dengan memasukkan Pemberontak Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam Daftar Teroris, sementara ‘media terus memuat TNI POLRI yang ‘berjual beli senjata dan amunisi dengan OPM baik: OPM piaraan maupun OPM benaran.

(b) Pak Natalis Pigay yang kembali menjadi sasaran tembak ujaran rasisme, datang dari seorang petinggi Partai Hanura berkedudukan di dalam istana Presiden Jokowi; yang meningatkan kita kepada insiden-insiden ujaran rasis sistemik sebelumnya seperti:

(b1) Penghuni asrama Mahasiswa Surabaya (16 Agustus 2019) .

(b2) Penghuni asrama mahasiswa Malang dan

(b3) Obby Kogoya (Juli 2016),

(b4) Gambar foto muka Franz Kaisepo, pahlawan Nasional yang dicap sebagai ‘Gambar Hantu’ oleh para netizen. Pada hal saat berusia muda dia aktif membantu RI menjerumuskan bangsa Papua ke dalam pangkuan NKRI. Simak sindiran rasis berikut: “Pak Jokowi. Sebenarnya gambar pada uang ini gambar siapa? Ko lancang sekali berani nyitak uang serem begini! Anak saya sampai ketakutan melihatnya, disuruh pegang aja dia nggak mau. Dia bilang “Gambar Hantu,” tulis pemilik akun Facebook Bayu Kumbara Arief.

(b5) Para korban ujaran rasis lain sebelumnya: ialah para pemain Persipura;

(b6) para mahasiswa Papua yang berkuliah di Indonesia yang menjadi ‘sasaran ejekan rasis. Di mana Negara Indonesia? Sudah terwakili dalam program Hendroprijono, petinggi Negara Indonesia? Atau saudara Ambrosius yang petinggi Partai Hanura; sama halnya dengan Ormas dan TNI dan POLRI yang ‘menghambur yel-yel rasis di depan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, tanggal 16 Agustus 2019, HUT Kemerdekaan RI yang ke 73?

3.Sejak awal 1960an, Panah Rasisme Sistemik melalui Program Pembangunan Keamanan. Generasi Papua hari ini yang memasuki tahun 2021 yang menghadapi ujaran-ujaran rasis dalam dekade ini adalah bagian dari generasi Papua tahun-tahun sebelumnya sejak 1960an. Artinya Generasi Papua hari ini sudah menghadapi: rasisme sistemik yang telah memelihara Konflik terlama Indonesia – Papua sejak awal 1960 ini. Elit
Indonesia, barangkali menyebut program ini sebagai ‘60 tahun Indonesia’
membangun Papua, mensejajarkan rakyat Irian Barat dengan ‘saudara lain dari Propinsi lain di Indonesia’. Tetapi, sekali lagi bagaimana konkritnya ‘rasisme sistemik itu?’Pemerintah Indonesia sejak menyebar propaganda ‘datang ke Irian Barat mensejajarkan rakyat Irian Barat supaya sederajat dengan suku lain di Indonesia?’ Apa Siasatnya? Menekan dan menyuntik Papua berpikir, berperilaku, berpakaian dan bersongko seperti ‘Melayu’. Acub Zainal menyebutkan beberapa cara dalam bukunya: ‘I love the Army’ antara lain:

(a) Pada tanggal 2 & 3 Mei 1963, membumi hanguskan buku tentang kebudayaan, Sejarah dan hukum antropologi Papua.

(b) Para elit itu masuk ke rumah-rumah merampok barang-barang milik elit Papua dan menggeser dan merampok semua barang-barang peninggalan Belanda dan mengangkutnya dengan kapal ke luar Papua.

(c) Memaksa rakyat Papua, membuat pernyataan ‘kami rakyat Irian Barat adalahnrakyat Indonesia dan kami sudah merdeka tahun 1945

(d) Memperkenalkan ‘operasi Koteka’ dan memaksa masyarakat memakai kain sarung dan songko, dan lainnya.

(e) Mengirim ribuan transmigran merampas tanah masyarakat atas nama
pembangunan

(f) semua siasat ini dijalankan disertai ‘operasi militer’ dan ini dilakukan untuk ‘sejajarkan rakyat Irian Barat ini dengan suku-suku lain dari Provinsi lain dari Indonesia’. Apa yang ada dibalik program NKRI ini? Apakah bagi Indonesia, Papua itu adalah kerikil dalam sepatu’ yang dia harus ambil dan buang?’ Bagaimana OAP menyiasati pandangan ini?

  • OAP melawan sejak awal: Ideologi counter-separatisme Lantaran gesekan dan konflik antara Indonesia dan Papua tadi yang telah berusia
    60 tahun OPM lahir. Sekali lagi OPM tidak lahir dalam ruang hampa. Permainan politik perampokan dan penghancuran tadi, sudah melahirkan ‘Kesadaran baru di kalangan mahasiswa dan generasi muda’ yang menggugat realitas dan dinamika itu. Orang Papua tidak pasif menerima ‘paket pembangunan Indonesia yang rasis itu di Tanah Papua. Gesekan itu tidak mungkin dihindari, sehingga melahirkan ‘Pemberontakan OPM di Manokwari Juni 1965. Sejak itu, Indonesia jadikan Papua menjadi musuh yang harus dihadapi atas nama GPK. GPL, Separatis, KKB. Indonesia menerapkan ‘ideology counter separatisme’. Tanah Papua menjadi Daerah Operasi militer. Banyak masalah yang meliliti rakyat di Tanah ini, sebagai akibatnya. Harapan untuk hidup damai dari generasi lalu, tidak bisa lepas dari masalah-masalah itu. OPM, Gereja ULMWP, KNPB, semua lahir di dalam konteks tersebut. Pertanyaannya, kita Papua sebagai manusia dan Gereja apa yang kita lawan? ‘Posisi sosial yang masyarakat Indonesia modern ‘berikan
    kepada orang Papua yang memiliki DNA separatis, bodoh, kurang berbudaya’; walaupun selama 60 tahun Indonesia seperti dalam pidatonya Soekarno ‘sudah mensejajarkan rakyat Irian Barat supaya setara dengan suku-suku lain di Provinsi lain di Indonesia’. Dan itu akar soalnya.


5.Otsus 20 tahun lalu dan Harapan Damai di Bumi Papua yang tidak jelas. Saat Otsus dipaksakan awal tahun 2000, se kelompok elit Papua berpandangan ‘Otsus ini anugerah Tuhan’. Ada pendeta yang dalam tahun-tahun itu menggunakan istilah itu. Otsus ini akan mengakhiri konflik Papua, itu harapannya. Tetapi bagaimana kenyataan selanjutnya hingga hari ini?

5.1. Harapan Damai Melalui Otsus & Pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua Artinya dua puluh tahun lalu, sebagian elit Papua ‘berharap Otsus bisa ‘membawa Damai bagi Papua’. Dan ‘harapan damai’ ini bukan di ruang hampa. Impian itu didukung ‘Reformasi yang sedang terjadi; yang ditandai dengan jatuhnya Suharto’. Semua orang Papua bermimpi ‘demilitarisasi’ yang akan mengembalikan Damai di
Tanah ini. Karena Tanah Papua hingga saat reformasi itu sudah dalam status DOM: Daerah Operasi militer. Tetapi apakah demilitarisasi di Tanah Papua terjadi? Tidak. Simak bagaimana Tanah Papua: kembali menjadi ‘lahan operasi militer lagi. Mengapa dan bagaimana?

Pemerintah Pusat berdamai dengan Aceh/GAM setelah Aceh dilanda Tsunami. Pemerintah bersedia mengakhiri Konflik dengan GAM/Aceh yang dimediasi pihak ke tiga. Hasilnya: Aceh didemilitarisasi. Tetapi Militer Indonesia yang tinggalkan Aceh butuh ‘lahan konflik tadi butuh; ‘daerah konflik’ baru. Di mana, kalau bukan Tanah Papua. Tanah Papua saksikan Remilitarisasi bersamaan dengan pelaksanaan Otsus. Dan bersamaan dengan itu, Tanah Papua kembali ke ‘daerah, atau situs
pertumpahan Darah’. Simak peristiwa2 Pelanggaran HAM Berat berikut sejak Otsus di Tanah Papua.

BACA JUGA  SURAT PROTES TERBUKA Kepada Yth : Mentri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia

• Biak Berdarah, tanggal 6 Juli 1998 Rakyat yang berada di sana secara
sewenang-wenang ditangkap disertai pemukulan dan juga penembakan oleh gabungan Aparat Militer dan Polisi Indonesia. Atas tindakan brutal Aparat Indonesia itu tidak sedikit orang yang menjadi korban. Tidak berhenti di sana, rumah-rumah di sejumlah wilayah kota Biak juga tidak luput dari penggeledahan dalam aksi penyisiran. ELSHAM mencatat sekitar 150 orang menjadi korban. Sebagian dari mayat-mayat manusia tak berdosa itu dibuang begitu saja ke laut.

• Wamena Berdarah, pada 6 Oktober tahun 2000 itu menyebabkan tujuh orang Papua dan 24 pendatang meninggal. Lebih dari 5.000 warga Wamena saat ini mengungsi di markas kepolisian dan militer menyusul kerusuhan, sementara sekitar 400 memilih pindah untuk sementara ke Jayapura hingga kondisi pulih.

• Abepura Berdarah, pecah pada 7 Desember 2000 ini berawal dari penyerangan sekelompok warga ke Polsek Abepura. Setelah penyerangan ini, polisi melakukan pengejaran dan menyasar beberapa asrama dan permukiman warga sipil. Asrama yang menjadi sasaran aparat di antaranya Asrama Ninmin (tempat korban, Pesut Lokbere), Asrama Yapen Waropen, Asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga (IMI) dan pemukiman warga di Abe Pantai, Kotaraja, Skyline. Saat penyisiran diduga sempat
terjadi penyiksaan, pengrusakan terhadap penghuni asrama. Menurut data Komnas HAM, dari 53 korban dari kasus ini empat di antaranya meninggal dunia, dan beberapa lainnya mengalami trauma dan kesehatan yang kurang baik, salah satunya adalah Pesut Lokbere.

• Wasior Berdarah, terjadi pada 13 Juni 2001 merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar dari sekian banyak tragedi berdarah yang terjadi di tanah Papua. Komnas HAM menyebutkan setidaknya terdapat jumlah korban yang banyak dengan perincian 4 warga tewas yakni Daud Yomaki, Felix Urban, Henok Maran dan Guntur Samberi, 39 orang terluka akibat penyiksaan, 5 orang dihilangkan secara paksa dan satu orang mengalami kekerasan seksual.

• Wamena Berdarah, tanggal 4 April 2003 pukul 01:00 WP, di Kota JayawijayaPapua terjadi peristiwa kejahatan kemanusiaan “Wamena Berdarah”…. Akibat pembobolan gudang senjata Kodim 1702 Wamena. Aparat keamanan mengerahkan aparat gabungan TNI dan Polri dengan titik sasaran 25 Kampung selama kurang lebih tiga bulan. Dalam insiden ini 9 orang terbunuh dan belakangan 38 orang lain; 25 warga kampung mengalami pemindaan secara paksa; 42 orang mati kelaparan karena pengungsian dan 15 orang korban karena pemaksaan atas kemerdekaannya secara sewenang-wenang. Pemkasaan penanda tanganan dan perusakaan fasilitas Gereja, Sekolah

• Paniai Berdarah, pada tanggal 8 Desember 2014 di distrik Enarotali di
Kabupaten Paniai. Empat (belakangan 5) orang pelajar tewas ditembak aparat. Semua pelanggaran HAM Berat ini terjadi dalam ‘dua decade Otsus. TNI POLRI selamanya ‘kebal hukum’. ‘Impian Damai Tanah Papua’ itu belum datang. Panah Rasisme terhadap Papua terus diarahkan ke segala aspek kehidupan Papua. Negara melalui petinggi Negara yang berpengaruh hadir saat, melalui program rasis untuk memindahkan ‘dua juta orang Papua ke Indonesia dan jutaan Indonesia ke Papua ‘melalui program Pemekaran yang dipromosikan dua tahun terakhir ini oleh
Jokowi dan Tito Karnavian, sambil remiliterisasi Papua dan menjaga api rasisme terhadap Papua tetap menyala.

5.2. Pemerintah Tidak punya Kemauan Politik Selesaikan Konflik Papua: Hasil Penelitian LIPI
Para aktivis Papua sering berkata ‘rasisme menjiwai pikiran Pemerintah ini sehingga, Indonesia hanya bisa mengandalkan ‘otot’. Para elitnya menyampingkan otak’ menyelesaikan masalah Papua. Ini kita bisa lihat dari 4 Akar Persoalan yang diangkat LIPI untuk memulai selesaikan ‘konflik Papua Jakarta yang sudah berusia 60 Tahun’ tadi. Apa saja ke 4 soal itu yang Pemerintah tidak hiraukan?

(a) Rasisme yang menyebabkan bangsa Papua mengalami marginalisasi secara sitematis.

(b) Pemerintah secara sistematis gagal dalam pembangunan,  esejahteraan, kesehatan, pendidikan

(c) sambil memelihara Perbedaan pandangan terkait ‘integrasi Papua ke dalam NKRI’ yang menurut pihak Papua: invasi ke Papua yang sudah merdeka 1 Desember 1961.

(d)Pelanggaran HAM dan Lembaga Keamanan Negara Indonesia di Tanah Papua yang kebal hukum.

5.3. Konflik Bersenjata OPM yang terus terjadi dan dampaknya bagi kehidupan Warga Jemaat dalam dunia dengan relasi demikian, OPM dengan senjata dan amunisi yang mereka beli (dari TNI POLRI atau pihak lain yang dipakai untuk terus menjaga
konflik tadi) sering melakukan penyerangan ke Pos-pos TNI POLRI. Ini
menyebabkan begitu banyak warga Papua yang mengungsi yang meninggal /tewas
dalam operasi militer.

• Terakhir di Nduga sejak 2 Desember 2018, 400 lebih warga Nduga yang
meninggal di pengungsian

• 400 warga yang mengungsi dari Intan Jaya sejak Desember 2019 juga dinyatakan tidak jelas nasibnya; dan

• Sekitar 30 warga Amungme dari Banti, Opitawak dan kampung lain dekat Tembagapura yang menghindar dari ‘konflik OPM dan TNI POLRI’ awal Januari 2020, juga diberitakan tewas, sejak ratusan warganya mengungsi ke Mimika sejak Maret 2020. Bagaimana dampaknya?

(a) Perasaan dihina, dikriminaliasi/dilecehkan dan disingkirkan di Tanah sendiri oleh bangsa lain selama 60 tahun dan juga masalah lainnya.

(b) Kekerasan demi kekerasan yang terus terjadi, tidak menyisakan ruang dan waktu/energy untuk mengungkapkan ‘rasa kehilangan, duka, trauma dan kekosongan yang kita rasakan sehubungan dengan kepergiannya dalam tahun 2020 lalu dan tahun-tahun sebelumnya.

(c)Jumlah penduduk OAP yang terus turun drastis, mati kelaparan di depan mata di Tanahnya yang kaya, dan sementara penduduk pendatang meningkat, didukung ideologi pembangunan bias pendatang

Setelah demikian, apakah ada masih manusia yang mau ditipu oleh NKRI dengan Otsus Tahap ke dua (2020 s/d 2041? Atau produk propaganda lain yang serupa.

5.2.3. Penolakan Otsus di Provinsi Papua Barat & RDP dari MRP yang di hambat TNI POLRI Memperhatikan realitas di atas: khususnya yang berhubungan ‘perasaan terusmenerus dihina’, wajar menyatakan pandangannnya dengan hampir semua unsur masyarakat menolak Otsus tahap kedua.

(a) Penolakan pertama terhadap Otsus pertama dilakukan awal tahun 2000, oleh berbagai elemen masyarakat Papua, saat TIM Otsus UNCEN presentasikan Naskah Otsus di GOR, Jayapura sebelum diantar ke Jakarta. Seorang warga yang menolak Naskah tersebut tewas ditembak di Halaman GOR Jayapura.

(b) Penolakan kedua terhadap Otsus dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2005 ke kantor DPRP Provinsi Papua; dengan mengusung peti mati ‘alm Otsus’.

(c) Akhir tahun 2020, mahasiswa yang menggelar Demo Otsus di Kampus UNCEN, di Timika, dll berhadapan dengan TNI yang represif dan penembakan2.

(d) Para mahasiswa yang sudah menyimpan semua duka dan kematian mulai di MRP Papua Barat pertama menyepakati melalui RDP (Rapat Dengar Pendapat): semua unsur menolak Otsus tahap berikut.

(e) Bagaimana MRP Provinsi Papua? Mereka sudah ke lapangan: Kab. Jayawijaya, Nabire, Deiyai, Dggiyai dan Paniai dan Kab Merauke untuk menyelenggarakan RDP (Rapat Dengar Pendapat). Tetapi mereka (MRP) ditekan dan diteror dan dikembalikan ke Jayapura. Di Merauke, anggota MRP yang ke sana diborgol dan para pengawalnya yang berjumlah 14 orang sedang di ajukan ke PN Merauke dengan ‘tudingan makar’.

(e) Berhadapan dengan realita Otsus yang demikian para aktivis membentuk kelompok sipil yang disebut Petisi Penolakan Otsus. Mereka hingga (akhir Januari ini) sudah mengumpulkan tanda tangan dari 100 kelompok dan sekitar 500.000, lebih sudah ‘menyatakan menolak Otsus Tahab berikut’.

6.Hari ini dan Tahun 2021
Hari ini, saat kita membahas keadaan ini, kita lakukannya bukan di ruang kosong. Kita sedang renungkan keadaan ini dalam keadaan berbagai pihak sedang ‘siaga’. Bagaimana mereka memaksakan OTSUS Tahap kedua?

(a) Pembahasan perluasan perpanjangan Otsus Tahap Dua sedang terjadi di Parlemen & di tambah dengan Penambahan Provinsi baru: untuk mendatangkan lebih banyak migran. Semua tanpa konsultasi dengan Papua dan menabrak UU Otsus.

(b) Pasukan yang didatangkan ke Tanah Papua sejak Agustus 2019 terus dilakukan dan Tanah ini sudah penuh dengan Tentara dan Brimob, sementara Otsus akan berakhir secara formal pada tanggal 21 November 2021

(c) Menurut Laporan dalam 2 tahun terakhir Indonesia sudah membangun sekitar 30 lebih Kodim dan 1 Pangkowilham di Mimika.

(d) Ini semua sedang di lakukan sementara ‘ujaran rasisme terhadap Papua sedang memenuhi ruang2 media di Indonesia & sementara semua protes terhadap ujaran rasisme oleh aktivis Papua dituding ‘kena pasal makar’.

(e) Demikian juga protes menolak Otsus tahap kedua juga oleh Kapolda Papua Paulus sudah dibatasi oleh Maklumat Makar.

BACA JUGA  TUTUP LAPANGAN TERBANG DAN PELABUHAN LAUT SEMENTARA WAKTU BUKAN LIBURKAN KANTOR DAN SEKOLAH

(f) Kekerasan dan Penembakan2 di Intan Jaya: Penembakan terhadap seorang pendeta; Pdt.Zanambani, dua orang Gembala/Pewarta, dua orang warga yang dibakar lalu, abunya dibuang untuk menghilangkan jejak, Penembakan warga sipil lain; pesawat MAF yang dibakar tanggal 6 Januari 2021.

(g) Pemekaran 5 Provinsi Baru yang diumumkan Mendagri, yang bisa membuat masyarakat Tanah Papua yang terbagi antara: (g1) elit yang merebutkan jabatan baru/posisi baru dan penolakan Otsus yang melekat dengan pemekaran itu & (g2) dan antara : elit Papua yang merebutkan kan jabatan tadi dan & TNI POLRI yang akan merebutkan dana dana Otsus tahap II tadi. Kita, Papua ‘masih di Indonesia Papua yang penghuni dari Taman Nasional Sabang Merauke’.

7.Bagaimana kita sebagai Gereja mempertanggung-jawabkan iman kita? Bagaimana kita, Gereja kita mengangkat muka hadapi semua krisis, siasat dan masalah tadi dan dampaknya? Dari teks Kitab Suci yang kita kutib di atas, kita yakin bahwa, Gereja dan orang beriman hidup bukan dalam ruang dan waktu kosong, tetapi berhadapan dengan ‘penguasa-penguasa, melawan pemerintah-pemerintah, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara’ (Efesus 6:10-20). Selain itu kita juga dipanggil untuk meneguhkan pengakuan iman ‘bahwa Tuhan sudah memanggil kita dan telah mengutus kita ke Tanah penuh konflik ini (dan di mana saja) dengan dinamika masyarakat & kebudayaanya’. Di sana kita juga dipanggil untuk mempertanggung jawabkan iman yang Tuhan percayakan kepada kita (Ibrani 4:13). Sehingga menghadapi ‘konflik Jakarta – Papua yang sudah berusia 60 tahunan’ dalam bentuk konkritnya ini, kami sampaikan:

7.1. Kami, Gereja optimis dan percaya bahwa Konflik OPM /Papua yang telah bertahun-tahun ini bisa diselesaikan dengan damai dan perundingan. Toh, Indonesia juga bisa membaca jejak Presiden SBY, Gus Dur dan Presiden Jokowi yang sudah tinggalkan jejaknya. Mengapa Gereja kita optimis di sini?

7.1.1. Presiden SBY dan JK sudah memulai menggunakan Pendekatan Damai dan Perundingan yang dimediasi oleh Swiss: negara ketiga yang netral’. Hasilnya: Perjanjian Hensiki. Dan GAM Aceh bisa redemilitarisasi. GAM/ACEH bisa bentuk Partai Lokal dan Bendera Aceh bisa dikibarkan.

7.1.2. Apa saja sumbangan Presiden Gus Dur; pada saat menjabat Presiden RI? dia menggunakan Pendekatan Budaya: menyumbangkan Rp. 1 milyaran bagi dana Kongres Rakyat Papua Dua (Mei –Jun1 2000) dan mengijinkan BK (Bintang Kejora) dikibarkan ‘asalkan ukurannya lebih kecil dan lebih rendah.

7.1.3. Presiden Jokowi, pada tanggal 30 September 2019, sudah berjanji di depan media masa di Jakarta bahwa pihaknya ingin bertemu dengan ‘kelompok pro referendum Papua’. Sehingga kami percaya bahwa Indonesia /Jakarta pada akhirnya akan berunding dengan ULMWP. Melalui surat ini kami menagih janji tersebut.

7.2. Semua ini (butir 7.1.1- 7.1.3) kami harap bisa memberi energi dan optimisme baru kepada semua pihak untuk bersama masyarakat Papua untuk mengurangi suasana’ rasisme yang meningkat terhadap Papua dan langkah ’ yang bias ‘menghancurkan manusia yang sedang terjadi dengan langkah perdamaian dengan:

7.2.1. Segera menghentikan pembahasan Otsus di Jakarta tanpa konsultasi dengan rakyat dan

7.2.2. Menghentikan/menjelaskan kepada pulik: sepak terjang pihak Negara dengan: pengiriman pasukan dan Kodim-kodim baru & Pankowilhan

7.2.3.Menghentikan pemekaran Provinsi2 Baru di Tanah Papua tanpa ’aspirasi dari rakyat Papua’

7.2.4.ini disertai upaya yang transparan dari Presiden untuk menghentikan’ serangan ujaran rasis dari masyarakat dan lembaga Negara Indonesia’. Mengapa semua program ini pada intinya sedang menutup mata kita terhadap ‘manusia Papua’ yang berharga di mata Tuhan; yang sedang dibiarkan terlantar’ demi keutuhan NKRI’. Karena itu kami mengajak semua berdiri bersama: manusia Papua’ first. Papuan’s lives Matter’.

7.3.Kami juga mengakui kehadiran ‘Hardliners’ atau ‘Kelompok garis keras’ yang ‘Jakarta-sentris’ dalam sistem pemerintahan Negara ini. Kehadiran unsur ‘garis keras ini yang tidak bisa berdialog, yang kami mendegar sendiri dari Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2012 di Istana Cikeas, Jawa Barat. Pimpinan Gereja yang hadir: Pdt. Socrates Yoman, Pdt. Jemima Krey, Pdt. Wanma, Pdt. Benny Giay, Frederika Korain, dan beberapa orang lainnya. Tahun berikutnya kami membaca: Mansour Fakih memperkuat pernyataan Presiden SBY tadi bahwa: dalam Negara RI ada unsur fasis yang menghambat demokrasi di Indoneisa. Pak Mansur Fakih: seorang pegiat LSM, pada saat itu, menulis ini, dalam
‘Kata Pengantar’ dalam buku ‘Fasisme’ .

7.4.Berhadapan dengan unsur demikian, kami telah mengusulkan pada tanggal 26 Agustus 2029 agar Pemerintah RI menunjukkan keadilan kepada Papua dengan ‘berunding dengan ULWMP/ KNPB dimediasi pihak Negara ke tiga. Tetapi bulan berikutnya (tangga; 30 September 2019), Presiden Jokowi sudah menanggapi dengan menyampaikan di depan media bahwa ‘pihaknya bersedia bertemu dengan kelompok Pro Referendum’. Hari ini kami sedang menunggu kapan ‘janji itu akan
diwujudkan/ bukan ‘menunggu pembangunan Kodim, Pemekaran Provinsi dan Pembangunan Pangkowilhan.

7.5.Mempertimbangkan semua ini, kami Dewan Gereja Papua serukan:

7.5.1.Semua jemaat/pengerja (a) mengambil waktu untuk Doa & Puasa sekali seminggu untuk mohon hikmat dan kekuatan dari Tuhan selama sebulan ke depan
mulai tanggal 10 Februari sampai 10 Mei 2021; (b) pada saat yang sama kami sampaikan terima kasih kami sampaikan kepada: teman2 di PCC yang sudah mendahului kami mengambil waktu untuk mendoakan kami dan berpuasa untuk keselamatan bagi Papua selama sebulan sejak 26 Oktober sampai 3 Desember 2020.

7.5.2. Dalam semangat yang sama: kami mendesak lembaga2 yang berwajib dari Propinsi Papua dan Papua Barat baik legislative maupun eksekutif; dan anggota DPD dan DPR RI yang mewakili Daerah Pemilihan Papua untuk mencari penjelasan dari Pemerintah Pusat terhadap langkah-langkah politik Negara dan pemerintah RI yang secara sistematis sedang menyebar ‘pesan bahwa manusia Papua, tidak penting, monyet, dan lainya; bahasa menyepelekan ‘manusia Papua dan eksistensinya’ dan (b) dengan cara2 berikut:

(b1) menutup pintu dalam mengalamatkan sumber konflik Papua – Jakarta yang disebutkan LIPI;

(b2) mengenakan ‘pasal makar bagi’ para aktivis Papua yang memprotes rasisme terhadap Papua;

(b3) mendrop pasukan bertubi2 ke Tanah Papua sejak 19 Agustus 2019 hingga hari ini; di tambah dengan pembangunan Kodim dan Pangkowilhan;

(b4) langkah2 Pemerintah Pusat yang melanggar UU Otsus dengan memperpanjang Otsus secara sepihak; juga

(b5) memekarkan 3 Provinsi baru juga tanpa konsultasi
rakyat Papua. Melalui surat ini, kami sebagai sebagai Gereja meminta penjelasan dari Pemerintah Pusat dan menjelaskan kepada rakyat Papua. semua sepak terjang Pemerintah selama 2 tahun terakhir di tengah ‘rasisme terhadap Papua yang tengah menguat yang ’bisa membakar/mempengaruhi operasi militer yang tengah terjadi di Nduga,
Kab Nduga, Intan Jaya dan pembangunan Kodim dan Pangkowilhan yang tengah terjadi di Tanah Papua secara serempak.

7.5.3.Melalui surat ini kami juga mohon, saudara2 yang solidaritas dengan kami di mana saja di Indonesia, Pasifik dan di mana saja

(a) menyelidiki dan memonitor keadaan Tanah Papua yang terus dijadikan sebagai ‘lahan jualan senjata dan amunisi’ kepada OPM piaraan atau benaran oleh ‘lembaga atau aparat TNI POLRI’ yang sering kami baca di media lokal. Praktek jual beli senjata ini ditambah dengan
‘ujaran rasis yang menguat 5 sampai 6 tahun yang meningkat ini terus membuat Papua Tanah ‘berdarah-darah’ yang menjadi tontonan media sosial di sini.

 (b) Apabila mungkin bisa membentuk kelompok diskusi tertentu atau menganalisis dinamika ini situasi Papua pada hari-hari ini dan ke depan dan memberi kami nasehat mengenai kondisi yang kami sedang jalani dari ‘sudut pandangan saudara’.

(c) Kami sudah disemangat oleh jejak Gereja Sedunia yang telah pernah melawat kami (berterima kasih kepada DGD dan Gereja di Asia & Pasifik yang sudah mengunjungi ‘kondisi para Pengungsi Nduga di Wamena’: kunjungan yang luar
biasa; tidak hanya di tingkat jemaat akar rumput tetapi juga di tingkat pimpinan Sinode.

7.5.4.Dengan ketetapan hati bahwa kami ‘manusia dan bukan ‘monyet di Taman Nasional Indonesia ‘Sabang Merauke’, kami berterima kepada PM Vanuatu, PM Solomon Island dan para pemimpin Pacific Island Forum (PIF) dan Negara lain yang sudah menyerukan UNCHR untuk berkunjung ke Tanah Papua. Terlebih kepada solidaritas Papua di mana saja saudara berada.

Demikian doa, harapan dan keprihatinan atas situasi Tanah kami, yang kami berikan kepada Gereja-gereja dan masyarakat Tanah Papua dalam memaknai perayaan 166 Tahun Injil masuk di Tanah Papua. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Jayapura 05 Februari 2021

Dewan Gereja Papua

  1. Pdt. Benny Giay (Moderator)
  2. Pdt. Andrikus Mofu
  3. Pdt. Dorman Wandikbo
  4. Pdt. Socratez Yoman

=============

Share :

Baca Juga

pdt-socratez-sofyan-yoman

Open Letter

Tanggapan kepada saudara Profesor Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Open Letter

Surat Terbuka: Komandan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)
Papua Church Council

Open Letter

Surat Gembala : Dewan Gereja Papua Menyikapi Situasi Papua 27-Juni 2021

Article

REFLEKSI: HARI INJIL KE-165 DI TANAH PAPUA PADA 5 FEBRUARI 2020
pdt-socratez-sofyan-yoman

Open Letter

PASTORAL LETTER WEST PAPUA COUNCIL OF CHURCHES IN THE CONTEXT OF EASTER; REMEMBERING THE PASSION AND THE STORY THE RESURRECTION OF THE LORD JESUS CHRIST

Open Letter

SURAT TERBUKA PERIHAL: RAKYAT INDONESIA BUKAN KELINCI PERCOBAAN

Open Letter

Dewan Gereja Papua (WPCC) mengutuk Presiden Jokowi dalam surat terbuka News | 15 Juni 2021

Open Letter

Saat ini orang Papua disibukkan dengan persiapan pesta politik 2024 dan sibuk untuk mengisi posisi penting di tiga pemekaran Propinsi baru