Kepada Yang Terkasih,
Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy
Di JAKARTA
Shalom!
“Orang menabur kecurangan akan menuai bencana, dan tongkat amanahnya akan habis binasa” (Amsal 29:12). “Kalau pemerintah memperhatikan kebohongan, semua pegawainya menjadi fasik” (Amsal 22:8; 29:12). “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32).
Yang terhormat bapak Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy, perlu saya sampaikan bahwa orang pertama yang menyampaikan Ucapan Selamat (Congratulations) kepada Benny Wenda atas deklarasi Presiden Sementara Pemerintahan Papua Barat adalah saya yang bernama Gembala Dr. Socratez S.Yoman, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua pada 5 Desember 2020 dan saya sudah membagikan kepada media sosial (medsos), dan saya telah kirim langsung kepada Presiden Sementara Benny Wenda di Oxford, Inggris.
Yang terkasih Wakapolri, deklarasi Benny Wenda Presiden Sementara rakyat dan bangsa Papua Barat itu tidak turun sendiri dari langit. Benny tidak mendeklarasikan di rumput-rumput, bukan di pinggir jalan dan juga bukan di hutan-hutan. Deklarasi itu disampaikan dengan terhormat dan bermartabat di depan media-media internasional yang selama ini dilarang keras dan dibatasi ketat oleh pemerintah dan TNI-Polri. Jadi, semuanya ini ada akar masalah dan prosesnya.
Oleh karena itu, kami selalu siap di atas TANAH Leluhur kami apapun resikonya. Karena, PAPUA adalah TANAH kami. Papua adalah MAMA kami. Papua adalah RUMAH kami. Kami sedang membela martabat kemanusiaan kami di atas TANAH pusaka kami. Masa sukar atau masa yang baik, waktu kelaparan atau kelimpahan kami tetap hidup di atas TANAH wariasan leluhur kami.
Dari TANAH Leluhur atau TANAH Pusaka kami, kami telah ikuti komentar Wakapolri dari Jakarta dalam menyikapi Deklarasi Benny Wenda sebagai Presiden Sementara rakyat dan bangsa West Papua di Oxford, Inggris pada 1 Desember 2020 yang diliput berbagai media Internasional. Komentar Wakapolri sebagai berikut:
“Kita mengetahui bahwa Papua itu adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, setiap terjadi gangguan keamanan itu kewajiban daripada Polri-TNI dan instansi terkait untuk menjaga dan tidak boleh terpisahkan dari Negera Kesatuan Republik Indonesia. Itu kita pegang dulu. Oleh karena itu, keberadaan TNI-Polri di sana adalah untuk menjaga keamanan di Papua, dan Papua itu tidak terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
“Menyikapi deklarasi daripada Benny Wenda yang disampaikan melalui Twiter, saya ingin menyampaikan kepada siapapun, kelompok mana, mengikuti Benny Wenda untuk memerdekakan dari NKRI, kita akan melakukan tindakan tegas. Ini kita tunjukkan bahwa Negara kita Negara hukum. Papua adalah Indonesia.”
Yang terkasih Wakapolri, ada beberapa catatan pertanyaan kritis dari pernyataan bapak, sebagai berikut:
1. Apakah benar TANAH Leluhur kami ini bagian dari wilayah Indonesia?
2. Apakah benar Indonesia adalah Negara hukum? Mana bukti keadilan hukum bagi kami orang asli Papua?
3. Kalau Indonesia benar-benar Negara hukum, bagaimana dan sampai dimana proses hukum terhadap anggota TNI-Polri yang menewaskan penduduk Asli Papua? Dari banyak pelanggaran berat HAM hanya disebutkan tiga contoh kasus Paniai 4 siswa yang tewas di tangan TNI pada 14 Desember 2014. Penembakan Pendeta Yeremia Sanambani pada 19 September 2020 di Intan Jaya. Penembakan yang dilakukan TNI di Puncak pada 23 November 2020 yang menewaskan Akis Alom (34 tahun), Les Morip (19 tahun), Wenis Murip (13 tahun).
3. Apakah Indonesia menerapkan ketidakadilan hukum dan menerapkan hukum rimba “pembantaian” terhadap orang asli Papua?
Yang terhormat Wakapolri, untuk menyikapi ketidakadilan dan rasisme serta kekerasan Negara yang sedang berlangsung selama 57 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai 2020 ini, saya mengutip pernyataan iman seorang tahanan dari penguasa Apartheid di Afrika Selatan yang disampaikan kepada Arbishop Desmond Tutu yang diabadikan dalam buku Desmond Tutu yang berjudul: The Rainbow People of God:
“By the way, these are God’s children and they are behaving like animals. They need us to help them recover the humanity they have lost” (1994:124).
Terjemahan bebas sebagai berikut:
“Ngomong-ngomong, ini adalah anak-anak Tuhan dan mereka berperilaku seperti binatang. Mereka membutuhkan kita untuk membantu mereka memulihkan kemanusiaan yang telah hilang.”
Wakapolri yang mulia, selama ini, pemerintah dan TNI-Polri telah kehilangan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan, maka perilaku yang ditunjukkan kepada kami selama ini tidak mencerminkan martabat kemanusiaan dan kesamaan derajat sebagai manusia. Kutipan ini mengingatkan penguasa Indonesia dan TNI-Polri harus merefleksikannya diri untuk memulihkan diri sebagai manusia atas kekeliruan dan kesalahan selama ini terhadap kami orang asli Papua.
Wakapolri yang terhormat, Benny Wenda bersama rakyat dan bangsa West Papua berjuang karena kami tahu ada ketidakadilan yang merendahkan martabat kemanusiaan kami yang dilakukan Pemerintah dan TNI-Polri di atas TANAH leluhur kami.
Yang terhormat Wakapolri, baca dan belajarlah wajah penguasa Indonesia di West Papua yang digambarkan dengan tepat dan sempurna oleh ilmuwan dan tokoh rohaniawan Kristen Katolik Prof. Dr. Franz Magnis sebagai berikut:
“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya unuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus.”
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Pastor Frans Lieshout, OFM sebagai Gembala dan Guru Bagi Papua mengungkapkan:
“..Orang tidak mau mendengar orang Papua, apa yang ada dihati mereka, aspirasi mereka. Aspirasi itu dipadamkan dengan senjata, kita harus mengutuk itu. Pendekatan Indonesia terhadap Papua harus kita kutuk. Orang Papua telah menjadi minoritas di negerinya sendiri. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber bacaan: Pastor Frans Lieshout. Gembala Dan Guru Bagi Papua. hal.399, 601).
Ada pula fakta lain bahwa pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 1998, seluruh rakyat dan bangsa West Papua merapatkan barisan dan membangun kekuatan bersama dan menuntut kemerdekaan bangsa West Papua dengan cara damai da bermartabat dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua. Banyak korban rakyat berjatuhan di tangan TNI-Polri.
A. DELEGASI TIM 100
Delegasi Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa West Papua pertemuan dengan Prof. Dr. B.J. Habibie di Istana Negara Republik Indonesia pada 26 Februari 1999.
“….dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi.”
Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.
Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua , maka;
(1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
(2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.
B. MUSYAWARAH BESAR (MUBES) 23-26 Februari 2000.
Dari 7 butir keputusan peserta MUBES, pada butir 4 dinyatakan:
“Bahwa kami bangsa Papua Barat setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam Negara Republik Indonesia, bangsa Papua Barat mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: Pelanggaran berat HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat,maka kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961.”
C. KONGRES NASIONAL II RAKYAT DAN BANGSA PAPUA BARAT Rakyat, 26 Mei – 4 Juni 2000
Kongres yang dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, Abdulrrahman Wahid ini diputuskan beberapa butir keputusan politik sebagai berikut:
1. Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961.
2. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua.
3. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil pepera, karena dilaksanakan dibawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969.
4. Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
5. Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan Internasional.
6. PBB, AS, dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
Masalah Papua sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai hasil dari kebijakan RASISME dan KETIDAKADILAN sebagai berikut:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Penguasa Pemerintah Republik Indonesia dan TNI/Polri, mari kita bersama-sama mendukung penyelesaian persoalan Papua
dengan lebih realistis dan rasional dengan mendorong dan mendukung pernyataan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 untuk pertemuan dengan Kelompok Pro-Referendum atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Supaya kita bersama-sama menciptakan dunia yang harmoni dan perdamaian permamen.
Terima kasih. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, Sabtu, 5 Desember 2020.
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua
Gembala Dr. Socrarez Yoman,MA
Kontak Person: 08124888458