Home / Reality/Fact

Tuesday, 2 August 2022 - 17:58 WIB

TNI-POLRI Jangan Memelihara,  Mempertahankan, Dan Merawat  Sandiwara Pepera 1969  Yang  Menjadi Luka Membusuk Dan Bernanah Di Dalam Tubuh Bangsa Indonesia

Foto Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. Gembala DR. A.G. Socratez Yoman,MA

Foto Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. Gembala DR. A.G. Socratez Yoman,MA

Tulisan ini khusus untuk anggota TNI-Polri

TNI-POLRI JANGAN MEMELIHARA,  MEMPERTAHANKAN, DAN MERAWAT  SANDIWARA PEPERA 1969  YANG  MENJADI LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH DI DALAM TUBUH BANGSA INDONESIA

“Tulisan ini saya mempersembahkan dalam memperingati hari kekejaman dan kebiadaban ABRI (kini: TNI) dan tragedi kemanusiaan yang menghancurkan harapan hidup masa depan Penduduk Orang Asli Papua melalui Pepera  yang dimulai di Merauke 14 Juli  dan diakhiri 2 Agustus 1969 di Jayapura.”

“Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”(Matius 5:37)

Oleh Gembala DR. A.G. Socratez Yoman

Saya mengutip pernyataan salah satu generasi muda Papua yang dengan setia  membaca artikel dan buku-buku saya selama ini.

“Dulu waktu saya sekolah TK, SD, SMP, SMA, kuliah  Program S1 belum pernah tahu dan belajar tentang sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia.

“Tapi,  saya setelah tamat S1 dan melanjutkan S2 baru saya mulai tahu sejarah Papua yang betul-betul dari bapak Gembala punya buku-buku dan artikelnya.”

“Terima kasih banyak bapak Gembala sudah ajarin kami generasi Papua tentang sejarah Papua yang sebenarnya.”
(AE, Senin, 1 Agustus 2022).

Saya yakin, hampir 100% generasi muda orang asli Papua dan orang Indonesia tidak tahu proses penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia. Termasuk di dalamnya anggota TNI dan Polri angkatan 1970-an sampai tahun 2022 ini.

TNI dan Polri diajarkan doktrin ketaatan dan kesetiaan dengan ideologi dan nasionalisme NKRI harga mati tanpa mempelajari dan mengetahui proses sejarah penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia.

Ketidaktahuan sejarah itu sama saja dengan orang buta menuntut orang buta dan menyebabkan korban banyak pihak karena hidup dalam kegelapan sejarah. Karena dipihak penguasa yang berusaha mempertahankan/menyembunyikan yang tidak benar atau salah selalu figunakan berbagai bentuk kekerasan untuk menekan, mengintimidasi dan membunuh yang berjuang untuk sebuah kebenaran sejarah, jati diri dan identitas sejarah bangsanya.

Sikap penguasa dan TNI-Polri yang defensif dan intimidatif serta pembunuhan terhadap orang asli Papua yang memperjuangkan hak politik dan kebenaran sejarah  sejak 19 Desember 1961 dalam  mempertahankan, memelihara dan merawat sejarah Pepera 1969 yang salah ini  menghasilkan atau melahirkan LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia.

Apakah penguasa Indonesia, TNI dan Polri masih tetap memelihara, merawat, menjaga dan mempertahankan  serta menyembunyikan LUKA  MEMBUSUK DAN BERNANAH ini dengan slogan Operasi Militer, Kata Kesejahteraan yang omong kosong selama ini, Kelanjutan Otonomi Khusus Nomor 2 Tahun 2021 yang sepihak, dan pemekaran provinsi-provinsi boneka Indonesia di TANAH Papua?

Yang mengatakan persoalan konflik kekerasan dan kejahatan Negara yang menyebabkam pelanggaran berat HAM  yang melahirkan LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia, ada dua tokoh rohaniawan, ilmuwan, dan antropolog.

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan tepat mengatakan:

“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).

“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:

“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).

Penyebab LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan  dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008),  yaitu:

  1. Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
  2. Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
  3. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
  4. Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia dilandas dan disemangati dengan Rasisme, Fasisme, Kolonialisme, Imperialisme, Militerisme, Ketidakadilan, pelanggaran berat HAM, genocide, dan marginalisasi Penduduk Orang Asli Papua  (OAP).

Saya dalam keadaan SADAR secara konsisten dan terus-menerus dari waktu ke waktu membagi tulisan tentang data-data keterlibatan militer dalam proses pelaksanaan Pepera 1969. Sejarah yang merekam atau memotret kejahatan dan kekejaman ABRI (kini: TNI) tidak boleh DILUPAKAN apalagi DIHILANGKAN. Saya promosi ini supaya semua generasi muda Papua dan Indonesia benar-benar belajar, tahu dan mengerti kekejaman, kebrutalan dan kebiadaban Indonesia terhadap Penduduk Orang Asli Papua.

Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli – 2 Agustus 1969, rakyat dan bangsa West Papua tidak ikut terlibat memilih menjadi bagian dari Indonesia.  Karena dari jumlah penduduk orang asli Papua 809.337 orang pada saat Pepera 1969. Dari jumlah penduduk ini  ABRI (kini:TNI) memilih dan menyeleksi 1 025 orang.

Berarti orang asli Papua yang tidak pernah ikut  berpartisipasi dan memilih untuk tinggal dengan Indonesia sebanyak 808.332 orang dalam proses Pepera pada 14 Juli-2 Agustus 1969. Perlu ditegaskan bahwa 1.025 orang adalah pilihan ABRI bukan pilihan orang asli Papua. Peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) berada dibawah teror, intimidasi dan tekanan moncong senjata ABRI.

Dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dan penting,  sebelum maupun dalam proses pelaksanaan dan sesudah Pepera 1969.  Berbagai dokumen militer telah menunjukkan hal ini.  Salah satunya adalah Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969.

Dikatakan di sana,   “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun  yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR”.

BACA JUGA  NILAI-NILAI LUHUR & ILAHl DALAM PERADABAN HIDUP SUKU LANI

Surat Rahasia Kolonel Infateri Soemarto yang diterbitkan Surat Kabar Nasional Belanda, NRC Handdelsblad, 4 Maret 2000. “Pada tahun 1969 Pemerintah Indonesia memanipulasi Pepera (Act of Free Choice) tentang status resmi Dutch New Guinea (Irian Jaya). Dengan seluruhnya berarti, wajar atau tidak wajar, Jakarta menginginkan untuk menghalangi orang-orang asli Papua dalam pemilihan melawan bergabung dengan Indonesia. Ini tampak dari yang disebut dengan “perintah rahasia” dalam bulan Mei 1969 yang diberikan oleh Soemarto, Komandan orang Indonesia di Merauke, bupati daerah itu…”(Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handdelsbald, March 4, 2000).

Berbagai dokumen lain bisa disebutkan termasuk pernyataan saksi mata Christofelt L. Korua, Purnawirawan Polisi  (Wawancara Penulis: Jayapura, 11 Desember 2002), Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph 189-200,  seruan Carmel Budiardjo, Direktur TAPOL, the Indonesia Human Rigths Campaign, pada 26 Maret 2002  kepada Kofi Annan Sekjen PBB dan banyak lagi.

Laporan Hugh Lunn, wartawan Australia, menyatakan,  “Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja “sendiri, sendiri”. Untuk menangani ini tentara orang-orang Indonesia menangkap dan melemparkan mereka dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak mobil. Hugh Lunn, wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh orang Indonesia sementara di mengambil foto demonstrasi orang Papua” (Dr. John Saltford: Irian Jaya: United Nations Involment With The Act of Self-Determination In West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968-1969 mengutip laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, August 21, 1999).

Menurut Amiruddin al Rahab: “Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer.” (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).

Apa yang disampaikan Amiruddin tidak berlebihan, ada fakta sejarah militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1989 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: “Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?”

(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).

“Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir…”  (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).

Tindakan yang tidak manusiawi atau tidak beradab ini dilakukan ABRI ketika rakyat West Papua mempertahankan hak hidup dan masa depan di atas tanah leluhur mereka. Mereka ditembak mati ketika berjuang nilai keadilan dan martabatnya.

Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dihancurkan dengan moncong senjata militer Indonesia, walaupun fakta bahwa pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia):  “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua”  (Sumber:  Summarey of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).

Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui:  “Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
“Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.”  (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).

Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando:

“Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka.” (2009:hal.169).

Dari fakta-fakta kekejaman dan kejahatan ini, Amiruddin menggambarkan ini dengan sangat tepat dan indah,  sebagai berikut:

“Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan satu sikap yang khas di Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Untuk keluar dari kekerasan, orang-orang Papua mulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para anggota ABRI yang menjadi repesentasi Indonesia bertahun-tahun di Papua. …Orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI.” (hal. 43).

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan: “…pandangan dan keinginan politik orang-orang Papua telah disampaikan melalui berbagai saluran media: pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan, demonstrasi-demonstrasi damai, dan dalam beberapa masalah menyatakan kegelisahan atau ketidakamanan, termasuk peristiwa-perstiwa sepanjang perrbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua New Guinea yang diurus oleh Australia” (Sumber resmi: UNGA, Annex I A/7723, 6 November 1969, paragraph 138, p. 45).

“Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman yang dikuasasi oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih dari 300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan merdeka. Namun demikian, jawaban yang diberikan oleh anggota dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka adalah sepakat tinggal dengan Indonesia” ( Sumber resmi: UNGA Annex IA/7723, paragraph 250, hal. 70).

Berhubungan dengan pelaksanaan Pepera 1969 yang manipulatif dan penuh pembohongan itu, Dr. Fenando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang mengawasi pelaksanaan Pepera 1969 melaporkan sebagai berikut.

“Saya harus menyatakan pada permulaan laporan ini, ketika saya tiba di Irian Barat pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah-masalah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI. Lebih dulu ahli-ahli PBB yang ada tinggal di Irian Barat pada saat peralihan tanggungjawab administrasi secara penuh kepada Indonesia ditiadakan, mereka tidak mengenal keadaan secara baik, mempersingkat tugas-tugas mereka.

BACA JUGA  Wajah Gereja Baptis: Siapa Itu Gereja Baptis? Apa Itu Gereja Baptis? Refleksi Iman Dalam Rangka 65 Tahun Gereja Baptis Di Tanah Papua 28 Oktober 1965-28 Oktober 2021.

Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati dan membantu dalam persiapan untuk mengadakan ketentuan-ketentuan Penentuan Nasib Sendiri tidak didukung selama masa 1 Mei 1963-23 Agustus 1968. Atas kehadiran saya di Irian Barat, untuk tujuan misi saya, saya telah memulai dengan mengumpulkan, mencoba untuk memenuhi dalam beberapa bulan dengan staf yang terbatas tidak seimbang dengan wilayah yang luas, fungsi-fungsi penting dan kompleks di bawah Perjanjian New York XVI hendaknya dilaksanakan selama 5 (lima) tahun dengan sejumlah ahli” (Sumber resmi: UN Doc. Annex I A/7723, paragraph 23, p.4)

“Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.”  ( Sumber: Laporan Resmi Hasil Pepera 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260).

Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan:

“ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber:  UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).

Yang jelas dan pasti, telah diketahui bahwa hasil Pepera 1969 itu menuai hujan kritik dan protes yang keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB.   Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan Pepera yang dianggap penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional.  Karena, hasil Pepera  1969  itu dianggap melanggar hukum internasional , maka Sidang Umum PBB hanya  mencatat “take note”.  Istilah “take note” itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.

Hasil Pepera 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat “take note” karena  perlawanan sengit dari beberapa negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana.   Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York,  Amerika Serikat, terbukti: “ …156  dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969,  dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah  netral” (Sumber resmi:  Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5).

Para pembaca perlu ketahui bahwa ada 15 Negara dari kawasan Afrika dan Karabia pernah melawan dan menolak hasil Pepera 1969 yang tidak adil dan yang dimenangkan ABRI itu.  Penulis sampaikan dua contoh.

Duta Besar Perwakilan tetap Pemerintah Gana di PBB, Mr. Akwei melawan dan menolak dengan tegas hasil Pepera 1969 yang palsu dan cacat hukum.

“…yang dilaporkan Sekretaris Jenderal PBB bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing, dimana Menteri Dalam Negeri naik mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia, dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideologi, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari Sabang sampai Merauke.”  (Sumber: Dokumen PBB A/7723, Annex 1, paragraf 195).

Sementara delegasi Pemerintah Gabon, Mr. Davin dalam perlawanan dan penolakannya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua dalam pelaksanaan Pepera 1969 di West Papua sebagai berikut.

“Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan hal-hal aneh dan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami untuk menyatakan pendapat kami tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta Sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya kebingungan yang luar biasa. Kami harus menanyakan  kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekretaris Jenderal PBB.

Contoh: Kami bertanya:

  1. Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat dan dipilih oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
  2. Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20% wakil, beberapa dari mereka bertugas  hanya sebentar?
  3. Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
  4. Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
  5. Mengapa prinsip “one man one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal PBB tidak dilaksanakan?
  6. Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
  7. Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil  (anggota Pepera) di depan umum dengan menyampaikan bahwa, ” hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
  8. Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York 15 Agustus 1962, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkumpul tidak dinikmati oleh seluruh Penduduk Asli Papua?

(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, Agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p. 42).

Pepera 1969 adalah jantung seluruh kejahatan kemanusiaan terhadap Penduduk Orang Asli Papua yang disemangati roh RASISME, Fasisme, Kolonialisme, Imperialisme, Militerisme dan Kapitalisme serta Ketidakadilan dari para penguasa Indonesia dan TNI-Polri.

Doa dan harapan saya, bahwa tulisan  ini membuka perspektif baru bagi para penguasa Indonesia, terutama anggota TNI dan Kepolisian.

Selamat membaca. Tuhan memberkati.

Ita Wakhu Purom,  2 Agustus 2022

Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3  Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____

NO HP/WA: 08124888458

Share :

Baca Juga

pdt-socratez-sofyan-yoman

Reality/Fact

Komnas Ham RI Jangan Mereduksi Dan Menghambat Kemajuan Rakyat Dan Bangsa Papua Barat Melalui Wadah Politik Resmi ULMWP Untuk Penentuan Nasib Sendiri
Foto Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua

Reality/Fact

Kejahatan Negara & Pelanggaran Ham Berat Bukan Hanya Kasus Paniai Berdarah 8 Desember 2014

Reality/Fact

Saya Sampaikan “Belasungkawa” Atau “Turut Berduka” Atas “Wafatnya” KPK Di Tangan Prof. Mahfud MD
Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA

Reality/Fact

Dalam rangka merayakan Hari Injil di Tanah Papua yang ke-168 sejak 5 Februari 1855-5 Februari 2023, saya  menulis refleksi dengan judul : APA ITU INJIL?

Reality/Fact

JUSUF KALLA BAGIAN DARI KEKERASAN DAN KEJAHATAN NEGARA DAN TIDAK LAYAK MENJADI MEDIATOR UNTUK PENYELESAIAN PERSOALAN PAPUA
Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA

Reality/Fact

INDONESIA JANGAN SIBUK URUS RENCANA PEMEKARAN PROVINSI-PROVINSI BONEKA YANG TIDAK RASIONAL DAN BUKAN KEBUTUHAN MENDESAK, TETAPI KAPAN INDONESIA MENJAWAB 18 PERTANYAAN PBB TENTANG ISU PELANGGARAN BERAT HAM DI PAPUA?
INDONESIA MENGHADAPI TANTANGAN

Reality/Fact

Indonesia Menghadapi Tantangan Solidaritas Kemanusiaan Dari ULMWP-MSG-PIF-ACP-MEDIA ASING- Rakyat Indonesia- Rakyat Papua, Dewan Gereja Papua, 57 Pastor Pribumi Papua & Masih Banyak Lagi
pdt-socratez-sofyan-yoman

Reality/Fact

PEMEKARAN 6 PROVINSI BONEKA DI PAPUA UNTUK MEMPERLUAS KOLONIALISME DENGAN 6 KODAM, 6 POLDA, 35 KODIM, 35 POLRES, 10 KOREM: TANAH PAPUA MENJADI RUMAH MILITER DAN KEPOLISIAN KOLONIAL INDONESIA