Home / Article

Senin, 14 Oktober 2019 - 09:15 WIB

Orang Asli Pegunungan Papua Sejak Dulu Hidup Bermartabat, Terhormat, Berbudaya Tinggi Dan Cinta Kedamaian

Gembala Dr. Socratez Yoman.MA

Gembala Dr. Socratez Yoman.MA

Orang Asli Pegunungan Papua Sejak Dulu Hidup Bermartabat, Terhormat, Berbudaya Tinggi Dan Cinta Kedamaian

Oleh Dr. Socratez S.Yoman

A. PENDAHULUAN

Kita sama-sama mengutuk dengan keras pelanggaran berat HAM yang dilakukan negara berdasarkan ideologi RASISME selama 58 tahun sejak tahun 1961 dan juga pembunuhan yang terjadi terhadap kaum pendatang dan juga Orang Asli Papua pada 23 September 2019 di Wamena dalam demo melawan ujaran RASISME oleh seorang ibu guru di Wamena.

Dalam menyikapi apel besar gabungan TNI-Polri pada 14 Oktober 2019 di Tanah Agamua di depan kantor DPRD Wamena-Jayawijaya, penulis mengajukan tiga pertanyaan.

1. Siapa yang menjadi target pengejaran TNI-Polri yang menggelar apel besar-besaran di Wamena sejak 14 Oktober 2019?

2. Apakah…

[23:32, 11/6/2019] Bapa Socratez Sofyan Yoman: NILAI-NILAI LUHUR & ILAHl DALAM PERADABAN HIDUP SUKU LANI

Oleh Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Suku Lani yang menggunakan bahasa Lani adalah suku terbesar di Papua, yang hidup, tinggal/mendiami dan bermukim berabad-abad di Pegunungan West Papua di bagian Barat dari Lembah Balim. Wilayah yang didiami pemilik dan pengguna bahasa Lani meliputi: Piramit, Makki, Tiom, Kelila, Bokondini, Karubaga, Mamit, Kanggime, Ilu, Mulia, Nduga, Kuyawagi, Sinak dan Ilaga.

Kata “Lani” akan memiliki arti yang jelas, lebih dalam dan luas, jika ditambah dengan kata “Ap” berarti menjadi Ap Lani yang mengandung makna, yaitu: “Orang-orang Otonom, mandiri, independen dan berdaulat penuh.”

Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (Yoman, 2010, hal. 92) penulis menjelaskan sebagai berikut:

Kata Ap Lani artinya: ” orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya.”

Seperti Pastor Frans Lieshout, OFM mengakui:

“Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Balim yang begitu manusiawi. Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, …Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni…dan semangat kebersamaan dan persatuan…saling bersalaman dalam acara suka dan duka…” ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86).

Sumber ini dikutip pandangan seorang misionaris yang hidup lama dengan orang gunung, khusus orang Balim. Tetapi apa yang disampaikam Pastor Frans sudah merupakan representasi nilai luhur dan ilahi dalam peradaban hidup orang-orang Lani juga.

2. Orang Lani dan Perang

Dalam perang orang Lani ada norma-norma yang harus ditaati oleh kedua kelompok yang bertikai atau berperang.

Dilarang membunuh anak-anak. Dilarang membunuh perempuan. Dilarang membunuh orang tua dan juga orang lumpuh. Dilarang membunuh pemimpin. Dilarang mengambil mengambil barang-barang di medan perang sebagai barang jarahan. Dilarang memperkosa perempuan di medan perang.

Membunuh musuh harus dengan alasan yang jelas. Jangan membunuh orang tanpa dasar dan alasan yang jelas kuat. Dalam.membunuh musuh jangan hancurkan muka, kepala, jangan potong leher, potong kaki dan tangan manusia yang dibunuh. Jangan keluarkan isi perut orang yang dibunuh. Jangan membunuh orang dari bagian belakang. Manusia dibunuh dibagian dada/lambung.

Setelah manusia dibunuh mayatnya dilarang keras buang dijurang. Dilarang disembunyikan ditempat tersembunyi. Orang yang dibunuh dilarang dibuat telanjang. Dilarang meletakkan mayatnya terlentang. Mayat orang yang dibunuh diatur posisi tidur menyamping kanan atau kiri, tetapi dilarang biarkan terlentang muka ke arah langit atau muka ke arah tanah.

Setelah dibunuh pihak pembunuh berkwajiban sampaikan informasi kepada keluarga korban. Supaya keluarga korban datang mengambil jenazah dan berkabung dan mengabukannya (membakarnya).

Akibat dari melanggar norma-norma perang tadi, para atau pihak pelaku mengalami musibah kutuk dan murka turun-temurun. Keturunan mereka tidak pernah selamat karena darah orang yang dibunuh itu menentut balasan.

Biasanya, musibah dan malapetaka itu berhenti ketika para pelaku kejahatan mengaku bersalah, minta maaf dan minta pengampunan dari keluarga korban.

Dilarang membunuh dan wajib lindungi pemimpin kedua pihak yang sedang berperang dan bermusuhan karena pemimpin adalah simbol pelindung dan perdamaian. Kalau pemimpin dibunuh berarti kehancuran dan malapetaka bagi rakyat kedua belah pihak yang sedang berperang.

Keyakinan, nilai luhur dan ilahi orang Lani bahwa pemimpin adalah NDUMMA sebagai pemegang kebenaran, keadilan, kasih, kejujuran, pengharapan, pembawa angin sejuk, kenyamanan, ketenangan dan harmoni hidup. Karena itu, pemimpin sebagai Ndumma harus dilindungi, dijaga dan dihormati. Kalau orang menggamggu Ndumma berarti mengganggu seluruh penduduk orang Lani.

Kedua belah pihak juga berdamai dengan cara yang unik dan bersahabat, walaupun bermusuhan. Karena pada dasarnya orang-orang Papua pada umumnya dan orang Lani lebih khusus, orang-orang paling jujur, tulus, tidak berpura-pura dan munafik. Mereka orang-orang mencintai KEDAMAIAN dan PERSAUDARAAN. Mereka berdamai dengan makan bersama dengan menyembelih beberapa ekor babi. Mereka saling bertukaran ternak babi yang mereka miliki. Adapun daun pisang yang diatasnya diletakkan daun ubi adalah simbol perdamaian antar orang Lani yang sedang berperang. Orang-orang Lani adalah bangsa Melanesia yang sangat unik ada di planet ini. Aku bangga karena aku orang Lani, aku orang gunung, aku orang Papua, aku orang Melanesia. Aku bukan orang Indonesia dan saya bukan bangsa Indonesia.

Harapan penulis supaya bagian topik ini menyadarkan orang-orang yang menganggap dan mengaku dirinya manusia beradab tapi perilaku tidak beradab dan biadab selama ini terhadap rakyat dan bangsa West Papua.

3. Orang Lani dan Kreatifitasnya

Contoh lain ialah orang Lani membangun dan membuat pagar kebun dan honai/rumah dengan bahan-bahan bangunan yang berkualitas baik. Kayu dan tali biasanya bahan-bahan khusus yang kuat supaya pagar itu berdiri kokoh untuk melindungi rumah dan juga kebun.

Orang Lani juga berkebun secara teratur di tanah yang baik dan subur untuk menanam ubi-ubian dan sayur-sayuran.

Dr. George Junus Aditjondro mengakui: “…para petani di Lembah Baliem misalnya, memiliki budaya pertanian ubi-ubian yang tergolong paling canggih di dunia, hasil inovasi dan adaptasi selama 400 tahun tanpa bantuan sepotong logam” (Cahaya Bintang Kejora, 2000, hal. 50).

Suku Lani juga dengan kreatif menciptakan api. Suku Lani dengan cerdas dan inovatif membuat jembatan gantung permanen. Para wanita Lani juga dengan keahlian dan kepandaian membuat noken untuk membesarkan anak-anak dan juga mengisi bahan makanan dan kebutuhan lain.

Yang jelas dan pasti, suku Lani ialah bangsa yang bedaulat penuh dari turun-temurun dan tidak pernah diduduki dan diatur oleh suku lain. Tidak ada orang asing yang mengajarkan untuk melakukan dan mengerjakan yang sudah disebutkan tadi. Suku Lani adalah bangsa mempunyai kehidupan dan mempunyai segala-galanya.

Penulis dengan jujur sampaikan bahwa tulisan ini tidak sempurna. Tapi, lebih baik tulis yang tidak sempurna daripada tidak berbuat apa-apa untuk melindungi bangsaku yang dianggap tidak bermartabat dan tidak berbudaya oleh para kolonial Indonesia yang RASIS yang menduduki, menjajah dan menindas bangsaku atas nama NKRI.

Sudah saatnya nilai-nilai luhur dan ilahi yang dimatikan itu dihidupkan kembali. Dengan tepat Pastor Frans Leishout mengatakan: ” Pagar sudah rusak. Honai sudah hancur. Noken sudah rabik. Perahu sudah bocor.” Artinya semua nilai-nilai luhur budaya warisan leluhur yang merupakan bendungan hidup orang Asli Melanesia di Papua sudah dihancurkan secara sistematis oleh penguasa kolonial Indonesia selama 58 tahun sejak tahun 1961.

Walaupun demikian, We Still ALive and also Have HOPE.

ORANG ASLI PEGUNUNGAN PAPUA SEJAK DULU HIDUP BERMARTABAT, TERHORMAT, BERBUDAYA TINGGI DAN CINTA KEDAMAIAN

Oleh Dr. Socratez S.Yoman

A. PENDAHULUAN

Kita sama-sama mengutuk dengan keras pelanggaran berat HAM yang dilakukan negara berdasarkan ideologi RASISME selama 58 tahun sejak tahun 1961 dan juga pembunuhan yang terjadi terhadap kaum pendatang dan juga Orang Asli Papua pada 23 September 2019 di Wamena dalam demo melawan ujaran RASISME oleh seorang ibu guru di Wamena.

Dalam menyikapi apel besar gabungan TNI-Polri pada 14 Oktober 2019 di Tanah Agamua di depan kantor DPRD Wamena-Jayawijaya, penulis mengajukan tiga pertanyaan.

1. Siapa yang menjadi target pengejaran TNI-Polri yang menggelar apel besar-besaran di Wamena sejak 14 Oktober 2019?

2. Apakah target pengejaran TNI-Polri ialah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) atau orang-orang gunung?

3. Siapa sebenarnya yang menjadi sumber konflik, kekerasan dan kejahatan di West Papua?

Jawabannya pertanyaan nomor 3 ialah Negara dan aparat keamanan TNI-Polri-lah yang menjadi sumber konflik, kekerasan dan kejahatan di West Papua.

Amiruddin al Rahab mengaminkan bahwa “Para pembunuh Theys oleh KASAD Ryamizard Ryacudu disebut sebagai pahlawan” (Sumber: Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010, hal. x).

Pernyataan ini menyuburkan, melestarikan dan melanggengkan konflik dan kekerasan negara di West Papua.

Amiruddin al Rahab dengan sempurna, tepat dan analisis terukur mengakui:

“Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer” (hal..42).

Lebih lanjut Rahab menegaskan:

“Kehadiran dan sepak terjang ABRI, kini TNI, yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan suatu sikap yang khas Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Untuk keluar dari kekerasan, orang Papua mulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para amggota ABRI yang menjadi representasi Indonesia bertahun-tahun di Papua. …dalam pandangan orang Papua ABRI adalah Indonesia Indonesia adalah ABRI” (hal. 43).

Sangat menarik peran TNI-Polri di Papua yang diungkapkan oleh Amiruddin sebagai berikut:

“Semakin menghujamnya cengkeraman militer terhadap kehidupan sosial politik di Papua juga tidak terlepas dari potensi ekonomi di daerah ini yang begitu besar. Hal itu terlihat ketika PT Freeport mulai menanamkan investasi di Papua. Untuk melindungi PT Freeport, militer di Papua mulai mengembangkan pengaruhnya dalam politik lokal dengan cara yang lebih keras. Selain itu, militer juga memperbesar kekuasaannya dengan menempatkan diri sebagai pelindung dari mengalirnya para migran dan transmigrasi dari luar Papua” (hal. 46).

Lebih jauh Amiruddin mengatakan:

“…Sikap pemerintah yang selalu membantah dan menutup mata atas terjadinya berbagai bentuk kekerasan yang dilancarkan oleh anggota ABRI akan merugikan Indonesia sendiri. Selain itu, sikap merasa tak pernah bersalah dari pemerintah Indonesia juga akan menjauhkan orang Papua dari Indonesia” (hal. 64).

Tulisan Amiruddin al Rahab meyakinkan kita semua, memperjelas dan membenarkan bahwa Indonesia menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua dengan KEKERASAN yang disemangati dengan dasar ideologi RASISME, KAPITALISME, IMPERIALISME KOLONIALISME, MILITERISME.

Betitik tolak dari apa yang disampaikan Amuruddin al Rahab yang dikutip ini, kalau misi pemerintah dan TNI-Polri mengkriminalisasi ULMWP dan KNPB itu sebagai sumber kekerasan dan juga ia hanya ada di wilayah Pegunungan, itu merupakan kekeliruan besar, tidak rasional dan juga tidak realistis. Karena Amiruddin al Rahab dalam bukunya dengan tegas mengatakan bahwa sumber konflik dan kekerasan di Papua adalah negara dan TNI-Polri.

ULMWP dan KNPB tidak turun sendiri dari langit. ULMWP dan KNPB tidak lahir di pegunungan. ULMWP dan KNPB lahir di Tanah Melanesia dari Sorong-Merauke. Ia lahir karena pengalaman ada kekerasan, penindasan, dan kekejaman yang brutal serta kejahatan negara yang menyebabkan pelanggaran berat HAM yang dilakukan TNI-Polri selama 58 tahun sejak tahun 1961 yang sudah dijelaskan baik oleh Amiruddin Rahab.

Terutama, ULMWP sudah diakui, diterima dan didukung oleh komunitas Internasional. ULMWP telah berada di forum-forum resmi: MSG, PIF, ACP, PBB. ULMWP juga didukung oleh Dewan Gereja Dunia (WCC) dan Dewan Gereja Pasifik (PCC). ULMWP tidak berjuang di hutan-hutan, di rumput-rumput, dan juga bukan sembunyi-sembunyi. ULMWP juga berada dalam protokoler Negara Vanuatu.

B. KAMI BANGSA YANG BERMARTABAT, TERHORMAT, BERKEBUDAYAAN TINGGI DAN CINTA KEDAMAIAN

Kami orang pegunungan Papua punya tanah yang jelas. Dusun yang jelas. Marga yang jelas. Keturunan yang jelas. Memiliki bahasa yang jelas. Mempunyai sejarah yang jelas. Kami tidak pernah pindah-pindah. Kami mampu dan sanggup buat kebun. Kami mampu dan sanggup buat honai. Kami mampu dan dan sanggup buat pagar. Kami mampu dan sanggup memimpin rakyat dan bangsa kami. Kami bangsa,otonom, berdaulat dan independen. Kami keturunan orang-orang mencintai KEDAMAIAN dan Martabat kemanusiaan.

Para pembaca yang terkasih, ijinkan saya mengutip ulang tulisan pada selasa, 9 Oktober 2019 dengan topik: “MENGENAL SIAPA SEBENARNYA ORANG PEGUNUNGAN PAPUA DENGAM WARISAN NILAI- NILAI KEBUDAYAAN.”

Jujur saja, penulis sebagai anak asli Papua yang lahir dan dibesarkan di lingkungan orang-orang pegunungan, saya tidak menerima 100%, karena selama ini penguasa pemerintah Indonesia dan aparat TNI-Polri mengkriminalisasi kami dan kami dibuat seperti tidak punya martabat dan nilai-nilai kebaikan dalam kebudayaan kami.

Dalam berbagai kesempatan di media cetak, elektronik: TV, Radio dan dalam sambutan-sambutan resmi serta pengarahan, kami orang pegunungan dikambing-hitamkan, direndahkan martabat kami dan kami dibuat manusia-manusia yang tidak ada nilai dan martabat sebagai manusia.

Dengan tepat dan sempurna Dr. George Junus Aditjondro mengaminkan dan membenarkan kejahatan penguasa penjajah Indonesia dalam menghilangkan nilai kebudayaan Papua, lebih khusus kebudayaan orang-orang pegunungan.

“Pada saat penjajah tidak bisa lagi meniadakan penduduk jajahannya secara fisik, dia kemudian mengeliminir mereka secara kultural, dengan mengatakan bahwa kebudayaan mereka lebih rendah. Jadi mitos tentang koteka, Zaman Batu dan lain-lain itu, memang senjaga dipupuk karena mendukung cara berpikir penguasa” (hal. 197). “…kekayaan kultural yang memperkuat identitas kepapuaan sengaja dimatikan dan warga pendukungnya diintimidasi dan diteror agar ia meninggalkan jati dirinya (hal.107)” (Sumber: Cahaya Bintang Kejora, 2000).

Karena masalah ini, tulisan ini merupakan pertanggugjawaban iman, moral dan ilmu penulis sebagai Orang Asli Papua yang berasal dari pegunungan. Melalui narasi ini, penulis ingin menyampaikan kepada:

“PENGUASA PEMERINTAH INDONESIA, APARAT KEAMANAN TNI-POLRI-BRIMOB HARUS BERGURU DAN BELAJAR KEPADA ORANG ASLI PAPUA, LEBIH KHUSUS ORANG PEGUNUNGAN

Mengapa saya mengatakan Penguasa Pemerintah Indonesia, TNI-Polri dan BRIMOB harus berguru dan belajar kepada Orang Asli Papua, lebih khusus Orang gunung?

Kami mempunyai kekuatan nilai-nilai ketulusan, kebenaran, kejujuran, keterbukaan, kasih, kedamaian, rela berkorban dan pengampunan serta keberanian demi nilai KEMANUSIAAN dan KESAMAAN DERAJAT.

Orang-orang Asli Papua dari pegunungan tahu, sadar dan mengerti dan percaya bahwa manusia merupakan gambar dan rupa Allah sehingga kemanusiaan dan martabat setiap manusia HARUS dihormati. Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…” (Kejadian 1:26).

Seperti Pastor Frans Lieshout, OFM mengakui:

“saya menyampaikan permohonan maaf dari dasar hati saya yang terdalam kepada saudara-saudara non Papua dan kaum Muslim yang meninggal maupun luka-luka.

Saudara-saudara, ketika Anda datang ke rumah kami, honai kami atau tanah leluhur kami di Papua, lebih khusus di Lembah Balim, kami sudah terima Anda semua dan kami sudah sambut dipaha kami. Kami hidup bersama, hidup harmoni dan damai, saling mengasihi dan saling menopang sudah bertahun-tahun. Anda adalah saksi. Anda telah mengukir sejarah hidup bersama kami. Kami tidak pernah dan belum pernah marah dan mengusir Anda. Kami kasih tanah kami dengan cara Anda membeli.

Waktu Anda ke kampung-kampung, kami makan ubi bersama, kami duduk cerita dan tertawa bersama, kami sama-sama tidur dalam honai kami. Di sana Anda tidak temukan OPM, di sana Anda tidak temukan orang jahat. Anda melihat manusia-manusia bermartabat yang penuh dengan kasih sayang dan persaudaraan. Anda disapa dan dipeluk seperti saudara-saudara kandung. Kami tidak pernah melihat Anda rambut lurus,kami belum pernah membedakan Anda Muslim. Kami melihat Anda manusia sama seperti kami.

Kadang-kadang kami bergurau dengan Anda yang Muslim: ” Hei ko (kamu) makan daging babi ini, di sini tidak ada yang lihat kau (kamu) to?” Karena gurauan segar dan tulus seperti itu, kita sudah membangun rasa persaudaraan yang kuat diantara kita.

Sering Anda bilang malam-malam mau kembali ke Wamena dari kampung kami, kami ijinkan Anda kembali ke Wamena kota. Tetapi, Anda tidak pernah ketemu OPM dan orang-orang jahat. Anda terlindung dan terjaga sampai tiba di Wamena.

Pada saat pagi hari Anda kembali datang menjemput kami, kami bertanya, apakah ada OPM tahan, interogasi dan siksa Anda? Anda menjawab dan mengatakan: “Di sini tidak ada OPM. Semua orang baik dengan saya kok.”

Kalau tulisan ini dibaca oleh anak-anak Non Papua, terutama Muslim yang lahir dan besar di Pegunungan, penulis meminta untuk tambahkan dan juga membagikan secara luas. Supaya Anda dan kami sama-sama sampaikan kepada penguasa Indonesia, aparat TNI-Polri dan semua orang Indonesia bahwa Anda semua salah dan keliru menilai dan merendahkan martabat kami.

Harapan penulis, sebenarnya saudara non Papua yang Muslim dan Kristen harus bersuara untuk mengungkapkan dan menyapaikan kebaikan-kebaikan dan nilai-nilai luhur yang diwarisi orang pegunungan Papua. Karena ada yang hidup 30-50 tahun dan anak-anak dan juga cucu-cucu lahir dan besar di pegunungan. Tapi, sayang, teman-teman non Papua yang kami pernah terima di paha kami, di rumah kami, di tanah kami, semua memilih diam dan mengalami “demam ketakutan moncong senjata” kalau buka mulut bersuara sisi baik orang pegunungan Papua. Karena penguasa pemerintah Indonesia, TNI-Polri bekerja sekuat tenaga, dengan cara wajar atau tidak wajar mau kriminalkan kami orang-orang Papua gunung.

Tetapi, minta maaf, kami masih ada di atas tanah warisan leluhur kami. Kami ada bersama roh leluhur kami. Kami hidup dengan martabat kami. Kami hidup dengan kuasa Tuhan Yesus Kristus. Kami hidup dan berdiri di atas otoritas Alkitab kami. Kami bediri dengan sejarah kami. Kami berdiri dengan nilai kebudayaan kami. Kami berhak membela martabat dan kehormatan kami.

D. Memang sungguh Aneh, tapi memang kenyataan yang terjadi

Norma-norma/nilai-nilai kebudayaan Orang Asli Papua, terutama orang pegunungan ialah dilarang keras membunuh anak-anak, perempuan, orang-orang tua, orang-orang lumpuh dan dilarang membunuh pemimpin. Pembunuhan terjadi harus dengan dasar yang jelas, dilarang keras dan tidak boleh membunuh orang sembarang tanpa ada dasar atau alasan kuat.

Dalam buku berjudul: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri digambarkan dengan jelas.

“Orang Lani dalam hidupnya tidak boleh membunuh orang secara sembarangan. Membunuh orang harus mempunyai alasan yang jelas dan dasar yang jelas pula.” (Yoman, 2010, hal. 94).

Apa yang terjadi pada 23 September 2019 adalah perbuatan terkutuk, biadab dan tindakan tidak manusiawi. Memang diakui jujur, di Tanah ini sepertinya banyak Orang Asli Papua yang dibantai penguasa pemerintah Indonesia, TNI-Polri selama 58 tahun sejak tahun 1961. Pembantaian dan pembunuhan keji terhadap OAP jarang dan tidak pernah ada reaksi keras dari saudara kita Indonesia. Mereka membisu dan diam 1000 bahasa. Namun, ketika saudara-saudara kita dari luar Papua dibunuh, langitpun ikut runtuh. Tetapi, itu realitas hidup Orang Asli Papua yang dianggap MONYET menurut ukuran Indonesia, tetapi bukan menurut ukuran TUHAN Allah.

E. Sebanyak 1.315 Orang Non Papua dan Mayoritas Muslim Dilindungi dan Diselamatkan

Nilai-nilai luhur kebudayaan seperti : Kebaikan, ketulusan, kejujuran, kebenaran kebersamaan, kedamaian, kasih, dan rela berkorban, nilai kemanusiaan dan kesamaan derajat yang dimiliki dan diwariskan oleh Orang Asli Papua yang berasal dari gunung dan Gereja-gereja di Papua terbukti pada demonstrasi melawan RASISME yang terjadi pada tanggal 23 September 2019 di Wamena. Aksi demonstrasi damai ini dilakukan oleh siswa dan pelajar di Wamena karena adanya ucapan RASISME oleh salah seorang ibu guru SMA PGRI Wamena.

Beberapa orang bersaksi bahwa aksi tanggal 23 Sepetember 2019 itu terjadi secara spontanitas dan murni dari siswa dan pelajar, tidak ditunggangi dari pihak manapun. Dan kekacauan ini meledak secara tiba-tiba dan tak terencana, karena semua orang terutama masyarakat umum tidak tahu dan tidak mendengar informasi tentang aksi demo damai oleh siswa dan pelajar ini.

Dalam peristiwa ini terjadi pembakaran ruko, kios, mobil, motor, bengkel dan beberapa tempat usaha.

Warga pendatang ditolong, dilindungi dan dijamin kenyamanan oleh Orang Asli Papua dan para pendeta. Mereka dilindugi di rumah, di dalam gedung gereja, di kandang atau ternak babi.

Tempat usaha seperti ruko, kios dan beberapa rumah juga dikarang untuk dibakar. Sebagai tanda larang, Orang Asli Papua memotong daun pisang dan menempelnya di gedung tersebut bahkan beberapa pendeta dan masyarakat berdiri di pintu rumah para pendatang sehingga anak-anak sekolah tidak membakar gedung atau ruko atau kios itu.

Berikut jumlah pendantang atau Non Papua yang dilindungi oleh pendeta dan Orang Asli Papua.

1. Bapak Namigak Kogoya, anggota jemaat gereja Baptis Wesaroma Pikhe melindungi dan selamatkan 15 orang warga Muslim, tidak termasuk anak-anak kecil. Mereka di sembunyikan di kamar rumah dan kamar mandi beberapa jam.

2. Bapak Pendeta Des Tabuni (Gembala Sidang Gereja GKII “Allah Ninom” ia selamatkan dan melindungi 20 orang dewasa, tidak termasuk anak-anak kecil. Mereka disembunyikan di rumahnya dan di kamar mandi.

3. Bapak Yason Yikwa ( Gembala Sidang gereja baptis Panorama Pikhe, selamatkan dan melindungi saudara/i nonpapua sebanyak 250 orang, tidak termasuk dengan anak-anak kecil. Mereka dilindungi di kompleks dan di dalam gereja Baptis panorama pikhe.

4. Ibu Anike Gombo, selamatkan dan sembunyikan saudara/i nonpapua di rumahnya sebanyak 20 orang.

5. Bapak Epius Yigbalom, anggota jemaat baptis Wesaroma Pikhe sembunyikan sebanyak 100 orang dewasa termasuk dengan anak-anak kecil. Mereka di lindungi dan disembunyikan di rumahnya.

6. Bapak Simet Yikwa, S.Th, selamatkan dan melindungi 230 orang nonpapua (pendatang). Mereka di lindungi dan diamanakn di dalam Gereja Baptis Wesaroma Pikhe, tidak termasuk dengan anak-anak kecil.

7. Bapak Nakason Yikwa dan Hengky Yikwa selamatkan dan melindugi 150 orang nonpapua. Mereka diamankan dan disembunyikan di rumahnya.

8. Ibu Alfrida Hubi selamatkan dan lindungi 30 orang nonpapua atau pendatang di rumahnya. Mereka di sembunyikan di kandang atau ternak babi. Alfrida Hubi adalah seorang perempuan anak dari kepala Desa/Kampung Dokopku.

9. Gembala, Badan Pelayan Jemaat dan Anggota Jemaat Gereja Baptis Walani Yafet Wakur selamatkan dan lindungi di rumah da dikompleks gereja Baptis.

10. Jemaat dan gembala gereja baptis Agamua selamatkan dan lindungi hampir 500an orang ( data lengkap akan menyusul). Mereka di sembunyikan di Halaman Kepala kampung. Mereka dilindungi beberapa titik, sebagian di gereja Katolik dan sebagian besar di Pak Marian.

11. Ada keluarga Muslim yang dimasukkan dan disembunyikan dalam gedung Gereja GKI Wamena.

12. Laporan lengkap sedang diolah dan disusun dan akan dipublikasi kepada publik.

Mereka yang disembunyikan dan dilindungi itu diungsikan di Polres Jayawijaya dan Kodim 1702 Jayawijaya.

Melihat dari tulisan ini, penulis merekomendasikan kepada teman-teman Muslim yang tergabung dalam Jihad ke Papua, lebih baik, lebih terhormat, lebih adil dan lebih bermartabat TANYAKAN kepada Saudara-Saudara MUSLIM yang sudah lama hidup dan tinggal di Papua dan lebih khusus di pedalaman. Supaya Anda mendapat informasi yang benar, jujur dan bertanggungjawab. Anda jangan menerima informasi dari orang-orang atau lembaga yang mempunyai kepentingan di Papua.

F. Kesimpulan

1. Orang Asli Papua dari gunung adalah orang-orang cinta damai, pejuang keadilan, kesamaan hak dan martabat manusia.

2. Penguasa pemerintah Indonesia, TNI-Polri dan Brimob selama ini sangat keliru dengan melabelkan orang gunung radikal. Tapi, fakta pada 23 September 2019 MERUNTUHKAN semua penilaian miring selama ini.

3. Saudara-saudara Kaum Muslim di seluruh Indonesia, kami Orang Asli Papua bukan musuh Saudara-Saudara Muslim. Kami sudah membuktikan bahwa kami Pelindung dan Penjaga Saudara-Saudara Muslim. Kami Sahabat, Teman dan Saudara Anda. Kami bukan MUSUH Anda.

5. Gereja-gereja di Papua, termasuk Gereja Baptis Papua adalah tempat yang paling aman, nyaman, damai dan adil bagi Saudara-saudara Muslim. Anda tidak menjadi Kristen ketika dilindungi oleh Gereja-gereja. Kami hargai agama Anda. Kami menjaga dan melindungi Saudara-Saudara Muslim karena KEMANUSIAAN.

Doa dan harapan penulis, supaya semua orang mengerti dengan benar dan jujur, siapa sesungguhnya orang Papua pegunungan.

Tuhan Yesus memberkati kita semua..

Ita Wakhu Purom, Senin, 14 Oktober 2019.

Penulis: Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Pap

Share :

Baca Juga

Gembala Dr. Socratez Yoman.MA

Article

Kasihilah Musuhmu Tanpa Mengorbankan Iman, Ideologi Dan Nasionalisme
Gembala Dr. Socratez Yoman.MA

Article

4 Negara Boneka Ala Peter W.Botha Di Afrika Selatan Dan 5 Provinsi Boneka Ala Ir. Joko Widodo Di Tanah Papua
Gembala Dr. Socratez Yoman.MA (Auckland University’s Fale Pasifika. May 20, 2016)

Article

Status Quo & Quo Vadis Kekuasaan Kolonialisme Moderen Indonesia Di Papua Selama 62 Tahun Sejak 1963

Article

Saya Optimis Dan Percaya Prabowo Akan Menyelesaikan Konflik Papua Barat

Article

Kita Berbeda Dalam Pandangan Ideologi Dan Keyakinan Iman, Tapi, Kita Tetap Bersaudara Dalam Nilai Kemanusiaan & Kesamaan Derajat
Gembala Dr. Socratez Yoman.MA

Article

Saya Orang Lani Bukan Orang Indonesia
Gembala Dr. Socratez Yoman.MA

Article

West Papua Merupakan Wilayah Pasar Kekerasan Militer Dan Kepolisian Indonesia
Gembala Dr. Socratez Yoman.MA

Article

Dulu Saya Bangsa Merdeka/Berdaulat Penuh Di Negeri Sendiri, Kini Menjadi Bangsa Budak & Tertindas Bangsa Kolonial Moderen Indonesia